oleh : Jaga Rudi, SH. (Mahasiswa Magister Ilmu Hukum Universitas Gadjah Mada)
Dewan Perwakilan Rakyat mengesahkan Undang-undang Nomor 17 Tahun 2023 Tentang Kesehatan (Selanjutnya disebut dengan UU Kesehatan) pada 11 Juli 2023. Gonjang ganjing UU Kesehatan bahkan sudah dimulai sebelum UU ini disahkan. Publik banyak menyorot apa urgensi UU ini dihadirkan bahkan mengapa menggunakan metode Omnibus law dalam pembentukannya. Tentu pertanyaan-pertanyaan ini berdasarkan apa yang sudah terjadi sebelumnya yang dinilai kurangnya partisipasi Masyarakat didalam pembentukan UU, sebut saya Omnibus Law Tentang Cipta Kerja. mengutip Media Indonesia (MI), Ketua Koordinasi BPJS Watch Timboel Siregar mengatakan bahwa kehadiran UU Kesehatan masih diskriminatif terhadap tenaga medis dan tenaga Kesehatan yang masih sebagai peserta didik. Berdasarkan Pasal 219 Ayat (1) huruf C disebutkan bahwa peserta didik dibidang Kesehatan hanya diberikan jaminan Kesehatan. Sebagai tenaga Kesehatan tentu jaminan dibidang ketenagakerjaan juga diperlukan oleh peserta didik, dikarenakan resiko yang dihadapi pun sama seperti kecelakaan kerja dsb.
Selanjutnya diskriminasi juga terlihat pada penyandang disabilitas. Mengutip media Kompas, Koalisi Organisasi Penyandang Disabilitas dan Organisasi Penyakit Kronis dan Langka menyorot adanya Tindakan diskriminatif yang akan diterima para penyandang disabilitas jika UU Kesehatan disahkan. Mereka menilai ada sejumlah pasal yang bermasalah diantaranya adalah Pasal 4 Ayat (3) UU Kesehatan dimana orang dengan gangguan jiwa berat tidak berhak mendapatkan fasilitas Kesehatan sebagaimana yang disebutkan pada ayat 1 nya seperti: mendapat pelayanan Kesehatan yang aman, bermutu dan terjangkau agar mendapatkan derajat Kesehatan yang setinggi-tingginya, mendapat perawatan Kesehatan sesuai dengan standar pelayanan Kesehatan, mendapatkan akses atas sumber daya Kesehatan dll. Tentu hal ini sangat merugikan para penyandang disabilitas seperti kesehatan mental yang terganggu. Pertentangan norma juga dapat terlihat pada Pasal 76 Ayat (3) UU Kesehatan yang mengatakan bahwa orang yang beresiko dan orang dengan gangguan jiwa mempunyai hak yang sama sebagai warga negara. Tentu berdasarkan hal itu publik menjadi kebingungan atas ketidak konsistenan yang ada. Berdasarkan hal tersebut dapatlah dikatakan bahwa UU Kesehatan masih banyak mengabaikan hak-hak Masyarakat. menurut hemat penulis setidaknya ada beberapa hal yang menjadi sorotan diantaranya adalah:
PEMBENTUKAN YANG TERGESA-GESA
Pembentukan UU Kesehatan dinilai terlalu tergesa-gesa, apalagi UU ini menggunakan metode Omnibus law dalam pembentukannya. Banyak UU yang dilebur menjadi 1 UU sehingga seharusnya pembahasannya pun sangat hati-hati apalagi menyangkut Kesehatan yang berdampak langsung kepada Masyarakat. Sejak digulirkan kepublik UU ini sudah menuai pro dan kontra. Menurut Koalisi Masyarakat Sipil untuk Keadilan Akses Kesehatan pada media Indonesia Coruption Watch (ICW) bahwa terlalu tergesa-gesa yang dilakukan oleh DPR apalagi UU ini merupakan inisiatif dari DPR. Hanya jelang setahun UU ini langsung disahkan. Apabila melihat materi muatan yang terdapat bahwa Daftar Inventarisasi Masalah (DIM) yang disampaikan oleh Menteri kesehatan adalah bahwa dari 478 pasal dalam RUU Kesehatan, total DIM batang tubuh sebanyak 3020: sebanyak 1037 tetap, 399 perubahan redaksional, dan 1584 perubahan substansi. Akan tetapi DIM yang dibahas sejak Agustus 2022 baru diketahui publik sekitar Maret 2023. Kemudian selang beberapa bulan kemudian yaitu tepatnya pada 1 Juli 2023 DPR mengesahkan RUU Kesehatan menjadi UU Kesehatan.
PENGGUNAAN METODE OMNIBUS LAW
Omnibus law merupakan metode pembentukan peraturan perundang-undangan dengan memasukan banyak materi kedalam satu UU. Menurut Kamus Hukum Duhaime omnibus law adalah “A draf law before a legislature which contains more than substantive matter, or several minor matters which have been combined into one bill, ostensibly for the sake of convenience”. UU Kesehatan merupakan salah satu UU yang dibentuk menggunakan metode omnibus law. Tampaknya pemerintah Bersama DPR saat ini sedang melakukan transformasi dibidang peraturan perundang-undangan sebut saja sebelumnya sudah ada omnibus law dibidang cipta kerja dan juga dibidang keuangan. Penggunaan metode ini memiliki dampak positif dan negatif. Menurut louis massicote ada 2 manfaat yang didapatkan ketika penggunaan metode omnibus law sebagai cara pembentukan UU yaitu: pertama, Teknik omnibus law dapat mempersingkat waktu dalam proses legislasi artinya tidak perlu merubah banyak undang-undang dengan membahasnya satu persatu akan tetapi bisa langsung mengubah UU dengan materi muatan yang banyak hanya dalam satu UU saja. Kedua, membuat partai oposisi didalam parlemen memiliki kesempatan yang sama dengan partai pemenang, artinya dengan materi muatan yang banyak tentu adanya perdebatan untuk menyetujui materi substansi yang ada sehingga ada yang ditolak dan ada yang diterima. Akan tetapi metode ini jika tidak dijalankan dengan baik apalagi mengabaikan proses demokrasi maka tentu sangat merugikan sehingga tidak terciptanya kesejahteraan dan ketertiban ditengah Masyarakat.
MINIMNYA PARTISIPASI PUBLIK YANG BERMAKNA (Meaningful Participation)
Rezim Undang-undang Nomor 13 Tahun 2022 Tentang perubahan kedua Undang-undang Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (UU PPP) menjelaskan bahwa pembentukan Peraturan Perundang-undangan harus melibatkan partisipasi publik didalam pembentukannya. Tahapan yang dilaksanakan mulai dari perencanaan sampai dengan pengesahan dinilai masih kurangnya melibatkan partisipasi publik yang bermakna. Mahkamah Konstitusi melalui Putusan Nomor 91/PUU-XVIII/2020 memberikan perluasan makna keterlibatan Masyarakat didalam pembentukan UU yaitu dengan istilah partisipasi public secara bermakna (meaningful participation). Berikut pendapat MK terhadap hal tersebut:
“Partisipasi masyarakat perlu dilakukan secara bermakna (meaningful participation) sehingga tercipta/terwujud partisipasi dan keterlibatan public secara sungguh-sungguh. Partisipasi masyarakat yang lebih bermakna tersebut setidaknya memenuhi tiga prasyarat, yaitu: pertama, hak untuk didengarkan pendapatnya (right to be heard); kedua, hak untuk dipertimbangkan pendapatnya (right to be considered); dan ketiga, hak untuk mendapatkan penjelasan atau jawaban atas pendapat yang diberikan (right to be explained). Partisipasi public tersebut terutama diperuntukan bagi kelompok masyarakat yang terdampak langsung atau memiliki perhatian (concern) terhadap rancangan undang-undang yang sedang dibahas.”
Melihat dari UU Kesehatan berdasarkan pasal-pasal yang dijelaskan sebelumnya bahwa sudah terlihat kurangnya partisipasi Masyarakat yang bermakna dalam pembentukannya.