
Oleh: Astri (Ibu Rumah Tangga)
Pulau Kalimantan adalah salah satu paru-paru dunia, hal ini disebabkan karena luas hutan di Pulau Kalimantan mencapai 40,8 hektar. Maka untuk itu sudah sepatutnya Pemerintah melindungi salah satu paru-paru dunia ini untuk tetap menjaga keseimbangan kehidupan dunia.
Sayangnya laju deforestasi di Kalimantan demikian cepat. Menurut data yang dikeluarkan Departemen Kehutanan, angka deforestasi di Kalimantan pada tahun 2000 sampai dengan tahun 2005 mencapai sekitar 1,23 juta hektare.
Kebakaran hutan dan lahan (karhutla) menjadi salah satu permasalahan deforestasi yang terjadi berulang kali di wilayah Pulau Kalimantan ini. Tercatat di wilayah Kota Palangkaraya tertinggi di Bulan Agustus 2023 terjadi 67 kejadian karhutla dengan luas wilayah 47,68 ha. (Palangkaraya.go.id., 26/08/2023).
Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Kabupaten Tapin, Kalimantan Selatan juga menyatakan bahwa karhutla sudah merambat hingga ke pinggir jalan dan berdampak menimbulkan kabut asap sehingga mengganggu mobilitas barang dan masyarakat serta mengancam Kesehatan Masyarakat. (Antar.news.com, 26/08/2023).
Tidak hanya di Kota Palangkaraya dan Kabupaten Tapin, karhutla di Kalimantan juga terjadi di wilayah Kalimantan Barat, Luas karhutla di wilayah Kalimantan Barat tahun 2023 sampai dengan Juli seluas 1.962,59 Ha. Angka ini masih 13% lebih rendah jika dibandingkan tahun 2022 sepanjang periode yang sama. Namun demikian, luasan karhutla tahun 2023 masih sangat mungkin meningkat seiring dengan adanya pengaruh El-Nino, sehingga perlu kewaspadaan bersama,” terang Thomas dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK).
Masih banyak karhutla di kota-kota lain wilayah Pulau Kalimantan dengan jumlah titik api mencapai ribuan. Lantas apa yang menyebabkan terjadinya karhutla dan efek yang ditimbulkan ? beberapa faktor yang menyebabkan ini terjadi berasal dari faktor alam hingga faktor manusia yang sengaja membakar hutan untuk pembukaan lahan. Hal ini sangatlah membahayakan manusia, sebab asap yang dihasilkan bisa menimbulkan polusi udara. Dampak lainnya adalah ancaman pemukiman warga, selain itu asap dari karhutla juga membayakan jalur penerbangan yang tentu beresiko terhadap keselamatan penumpang.
Permasalahan kebakaran hutan sejatinya tidak terlepas dari buruknya penanganan lahan hutan oleh pemerintah baik pusat maupun daerah. Pasalnya selama ini pembukaan lahan hutan melalui pembakaran memang diperbolehkan jika memenuhi syarat yang ditetapkan Undang-Undang. Disisi lain negara juga gagal memberikan sanksi yang tegas pada para pelaku pembakaran hutan secara liar.
Hal ini bisa terjadi karena hutan dan lahan dipandang sebagai milik negara bukan milik rakyat, karena itu negara dipandang berwenang untuk menyerahkan kepemilikannya kepada pihak swasta atau korporasi dalam mengelola dan memanfaatkan hutan dan lahan yang ada. Tentunya mindset korporasi sebagai pemilik modal adalah untuk mendapatkan keuntungan sebesar-besarnya tanpa modal yang besar. Sementara, aktivitas membakar hutan dalam pembukaan lahan adalah cara termudah dan sesuai target bisnis para korporat. Karena itu akar persoalannya adalah penerapan sistem Kapitalisme yang membiarkan kaum Kapitalis mengeruk untuk terjadinya kebakaran hutan. Sementara, Negara hanya bertindak sebagai regulator yang memuluskan penguasaan lahan oleh para korporat melalui kebijakan negara.
Untuk itu bencana karhutla hanya bisa diakhiri secara tuntas dengan Sistem Islam. Hutan memiliki fungsi ekologis dan hidrologis termasuk sebagai paru-paru dunia yang dibutuhkan oleh puluhan juta jiwa. Rasulullah SAW bersabda yang artinya: “Kaum muslimin berserikat dalam tiga perkara, yaitu padang rumput/hutan, air dan api” (THR. Abu Dawud).
Para ulama terdahulu sepakat bahwa air sungai, danau, laut, saluran irigasi, padang rumput (hutan) adalah milik bersama dan tidak boleh dimiliki/dikuasai seseorang atau hanya sekelompok orang. Dengan demikian berserikatnya manusia dalam ketiga hal pada hadist tersebut bukan karena zatnya tetapi karena sifatnya sebagai sesuatu yang dibutuhkan oleh orang banyak (komunitas) dan jika tidak ada maka mereka akan berselisih atau terjadi masalah dalam mencarinya. Oleh karena itu, Islam menetapkan bahwa negara adalah pihak paling bertanggung jawab menjaga kelestarian fungsi hutan.
Rasulullah SAW bersabda yang artinya: “Imam adalah ibarat penggembala dan hanya dialah yang bertanggung jawab terhadap gembalaannya (rakyatnya).” (THR. Muslim). Artinya apapun alasannya, negara haram bertindak sebagai regulator bagi kepentingan korporasi dalam mengelola hutan, sebaliknya negara wajib bertanggung jawab langsung dan sepenuhnya dalam pengelolaan hutan termasuk pemulihan fungsi hutan yang sudah rusak serta antisipasi pemadaman bila terbakar. Selain itu, penyerahan pengelolaan hutan pada pihak korporasi hingga berujung aktifitas pembakaran dan perusakan fungsi hutan akan menjadi sumber bencana bagi jutaan orang adalah sesuatu yang diharamkan dalam Islam.
Islam juga tidak mengenal hak konsesi karena pemanfaatan secara istimewa (himmah) hanyalah pada negara dengan tujuan untuk kemaslahatan Islam dan kaum muslimin.
Rasulullah SAW bersabda yang artinya: “Tidak ada himmah (hak pemanfaatan khusus kecuali bagi Allah dan Rasul-Nya.” (HR. Abu Daud). Jika ternyata masih terjadi kebakaran hutan dan lahan maka wajib segera ditangani oleh pemerintah. Karena pemerintah wajib memperhatikan urusan rakyatnya dan memelihara kemaslahatan mereka. Namun, tentu saja hal ini didukung oleh pendidikan untuk membangun kesadaran masyarakat dalam mewujudkan kelestarian hutan. Semua ini hanya bisa diwujudkan dengan penerapan Syariah Islam secara menyeluruh dibawah institusi Khilafah Islamiyyah.