Tak bisa dipungkiri bahwa peran kiai dalam perang kemerdekaan tidak hanya dalam laskar Hizbullah-Sabilillah, akan tetapi banyak di antara mereka yang menjadi anggota tentara PETA (Pembela Tanah Air). Sebagaimana kita ketahui, bahwa sebagian besar dari tentara kita berasal dari PETA. Dan, menurut Agus Sunyoto, salah seorang sejarawan dan tokoh Nahdlatul Ulama, dari 60 bataliyon tentara PETA, hampir separuh dari komandannya adalah terdiri dari para kiai. Ini merupakan sebuah catatan dan tinta sejarah emas bagi para kiai, pesantren khususnya.
Dan, dalam catatan sejarah, terdapat beberapa kiai yang menjadi pahlawan nasional. Di antaranya adalah Kiai Zainul Arifin dengan keputusan Presiden Republik Indonesia nomor 35 tahun 1963, Kiai Abdul Wahid Hasyim dengan keputusan Presiden Republik Indonesia nomor 260 tahun 1964, Kiai Hasyim Asy’ari dengan keputusan Presiden Republik Indonesia nomor 294 tahun 1964, dan Kiai Zainal Mustafa dengan keputusan Presiden Republik Indonesia nomor 64 tahun 1972.
Tentu saja, selain dari itu, jumlah terbesar dari gerakan pemberontakan melawan kekuasaan Belanda, sebagaimana tercatat dalam sejarah, juga dimulai dan dilakukan oleh pemimpin keagamaan, yaitu adalah para kiai. Itu sebabnya, dalam ketentaraan Indonesia, ada kehadiran kaum santri Muslim yang perannya sangat berarti. Walaupun saat itu ada banyak juga orang Kristen yang bergabung ke dalam tentara Indonesia, misalnya seperti bekas tentara kolonial, hingga wilayah internal ketentaraan terjadi dikotomi yang kentara.
Namun demikian, ciri khas angkatan darat yang sebagian berasal dari kaum santri, berbeda dengan angkatan laut dan angkatan udara. Para perwira dua angkatan yang disebut terakhir ini, juga bawahannya, umumnya berlatar belakang lebih sekuler. Misalnya berpendidikan sekolah menengah negeri dan dibekali latihan khusus di Amerika Serikat. Perbedaan suasana dalam tubuh TNI terus terasa sampai tragedi 30 September 1965, dan juga peristiwa setelahnya.
Syahdan, dalam pandangan Indonesianis AS, William Liddle, apa yang menjadi gerakan NU dalam konteks Resolusi Jihad 1945, adalah sebagai bentuk gagasan Islam substansialis yang berbeda dengan gagasan Islam skripturalis. Rupanya, William Liddle menerjemahkan Islam substansialistik dengan yang lebih mementingkan dasar, berupa substansi atau kandungan iman dan amal dari pada bentuknya.
Tak hanya itu, lanjut William, pesan al-Qur’an dan hadits juga tidak mengalami perubahan karena perubahan zaman dan esensinya bersifat universal, sikap toleran terhadap sesama Muslim dan non-Muslim, al-Qur’an tidak memaparkan atau bahkan menyebutkan negara Islam sehingga syariat Islam tidak bisa dijadikan hukum positif.
Sementara itu, yang dimaksud Islam skripturalis adalah para penulis media dakwah yang dari teksnya lebih banyak memperhatikan dakwah Islam, dan banyak mengirim para da’i ke seluruh pelosok tanah air. Ini ditujukan pada fenomena gerakan Islam di Indonesia.
Meski demikian, apapun yang telah diberikan negara terhadap warga NU atas jasa-jasa para pahlawannya, tentu saja belumlah sebanding, masih jauh. Karena, justru banyak hal yang menodai, dan bahkan terdapat beberapa kebijakan politik yang coba meminggirkan peran NU dari panggung politik.
Ini sebagaimana pernyataan Bruinessen, salah seorang antropolog yang pada tahun 1981 ia mendapat beasiswa dari KITLV sebagai peneliti muda tentang Islam di Indonesia, bahwa perang suci (Resolusi Jihad) berdampak besar untuk mengobarkan semangat 10 November 1945. Namun sayangnya, menurut Bruinessen, Resolusi Jihad ini tidak mendapatkan perhatian yang layak dari para sejarawan.
Itu artinya, bahwa kontribusi NU yang begitu besar dalam mempertahankan kedaulatan NKRI ternyata dipandang sebelah mata oleh pemerintah dari zaman kemerdekaan sampai hari ini. Catatan penting, bahwa sebagian besar penduduk Indonesia yang beragama Islam, kurang lebih empat puluh jutanya, berafiliasi kepada jam’iyyah NU. Kontribusi NU bagi negara sebenarnya sangat besar, baik secara kualitatif maupun kuantitatif. Oleh karena itu, sudah seharusnya kebijakan politik berpihak kepada NU, yang menjadi mayoritas dalam rakyat Indonesia.
Akan tetapi, sayangnya, fakta mengatakan hampir sebagian besar warga NU yang tradisionalis-agraris, menjadi kuli di negeri sendiri. Bahkan, akses pendidikan generasi NU begitu terbatas, kehidupan ekonomi lemah, peran politiknya selalu terpinggirkan dan sengaja dipinggirkan dari sejarah, serta kearifan budayanya sengaja digerus agar semakin hilang.
Lebih parahnya lagi, orang-orang NU yang sudah menjaga tradisi lokal sejak berabad-abad yang lalu, harus menerima tuduhan ahli bid’ah, ahli takhayul, ahli khurafat dan lainnya. Masjid- masjid dari wakaf nenek moyang orang NU juga sekarang mulai direbut oleh kelompok-kelompok Islam yang mengatasnamakan gerakan dakwah pemurnian akidah.
Akibat karena tuduhan mereka selama ini, ajaran Islam yang didakwahkan orang NU tidak murni, bercampur bid’ah dan syirik. Hemat penulis, harusnya yang begini tidak boleh dibiarkan oleh negara, mengingat jasa-jasa NU dari dulu sampai sekarang sudah banyak bagi negara ini. Dalam konteks ini, bukan berarti NU harus menagih bayaran atas kontribusinya terhadap bangsa.
Namun, sudah selayaknya, bangsa ini sendirilah yang patut menempatkan pahlawannya di tempat mulia. Oleh karena Islamnya orang NU adalah Islam yang Indonesia, maka bagi NU menjadi Islam seratus persen berarti menjadi nasionalis seratus persen.
Rumusan ini senada dengan ungkapan Kiai Wahab Hasbullah ketika menjawab pertanyaan Presiden Soekarno. Ketika itu, Soekarno bertanya, “Pak Kiai, apakah nasionalisme itu ajaran Islam?” Kiai Wahab menjawab, “Nasionalisme ditambah bismillah itulah Islam. Kalau Islam dilaksanakan dengan benar pasti umat Islam akan nasionalis.” Begitulah pernyataan pendiri NU yang mendukung Presiden Soekarno.
Pertanyaanya adalah, andaikan Resolusi Jihad tidak ada, juga laskar Hizbullah dan Sabilillah bersama laskar-laskar rakyat lain tidak lahir untuk menentang sekutu, mungkinkah Indonesia yang merdeka bisa kita nikmati sampai hari ini? Inilah yang seharusnya menjadi perhatian para pengambil kebijakan, juga para sejarawan untuk memosisikan peran NU secara proporsional. Saatnya sejarah harus menampilkan peristiwa-peristiwa yang sebenarnya terjadi, bukan justru menutupi dan memanipulasinya.
Rasanya sudah tak asing bahwa munculnya hari pahlawan, kota pahlawan, dan peristiwa 10 November serta para pahlawan yang gugur adalah bagian dari ruh Resolusi Jihad yang ditiupkan oleh para kiai dan santri. Berapa pengorbanan jiwa dan raga yang harus dibayar oleh mereka untuk membayar kecintaanya pada bangsa.
Tetapi, yang menjadi pertanyaan sekarang adalah apa balasan pemerintah bagi mereka (warga NU)? Meminggirkan pendidikan pesantren, menuduh pesantren sarang teroris, menyingkirkan alumni pesantren di dunia kerja? Hari, jam dan detik ini, sudah saatnya pemerintah membalas jasa-jasa itu semua.
Bagi penulis, penobatan “Hari Santri Nasional” misalnya yang diberikan oleh Presiden masih belum cukup untuk dianggap membalas jasa-jasa para kiai dan santri. Dalam hal ini, perlu langkah-langkah progresif untuk membalas jasa budi, misalnya (hemat penulis) dengan menggratiskan atau menanggung semua biaya pendidikan pesantren dan santri-santrinya. Ringkasnya, pemerintah dalam membalas jasa-budi kiai dan santri jangan tanggung, mengingat waktu Resolusi Jihad adalah nyawa taruhannya.
Yang tak kalah pentingnya untuk dicatat dan ingat adalah, bahwa tanpa Negara dan kemanusiaan memanggil pun, kaum sarungan telah terpanggil dan bahu-membahu merebut kemerdekaan dengan keringat, darah, air mata dan doa. Tidak ada yang lebih berani menyabung nyawa sebagai martir untuk kemerdekaan dan kedaulatan melawan kekejaman penjajah selain santri.
Bahkan, setelah kemerdekaan, khususnya ketika Orde Baru melakukan kanalisasi untuk memperkecil peranan santri, mereka tetap bertahan dengan prinsip dan falsafah hidup mereka, Pesantren justru kian berkembang dan mandiri.
Catatan Pinggir
Gus Dhofir Zuhri pernah mengatakan, para kiai, selain terlibat langsung di tengah-tengah pertempuran, hari ini tugas kiai (selain mengajar) adalah menyembuhkan luka dan trauma penjajahan Belanda, Jepang, maupun penjajahan lainnya. Bahkan, yang paling penting menetralisir kegilaan zaman (now), di mana mabuk agama dan kekuasaan hampir sulit dibedakan. Sebab itu, tak heran jika modernitas, pada gilirannya, membawa manusia pada kemajuan (saintek) di satu sisi, dan kemunduran (pekerti) di sisi lain.
Lebih-lebih, zaman sekarang, dengan bantuan media sosial dan internet murah meriah, banyak orang yang merasa sudah sampai pada level tertentu padahal ia baru memulai. Tak sedikit pula yang merasa telah memulai padahal ia belum berbuat apa-apa. Kesombongan intelektual semacam ini mulai sangat marak-menyeruak di depan hidung kita. Dalam bahasa Gus Dhofir, Ketika kebanyakan sekolah modern telah mencabut akar-akar kemanusiaan, justru Pesantren mengembalikan kemanusiaan kita.
Syahdan, apapun itu, Pesantren adalah matahari dalam sistem tata surya kehidupan dan keindonesiaan. Bahwa dalam jagad galaksi kehidupan yang lebih luas ini masih terdapat banyak sekali matahari-matahari yang lain, hal itu tidak membuat matahari bernama Pesantren menjadi redup dan padam. Wallahu a’lam bisshawaab.