
Republik Indonesia sebentar lagi akan mencapai usia 78 tahun sebagai negara yang merdeka dari kolonialisme. Seperti perayaan-perayaan sebelumnya, tema peringatan kemerdekaan kali ini bertajuk “Terus Melaju Untuk Indonesia Maju” sebagaimana yang telah dirilis oleh Kementerian Sekretariat Negara (Kemensetneg) Republik Indonesia dalam Pedoman Identitas Visual 78 Tahun Kemerdekaan Indonesia.
Tema kali ini menggambarkan pencapaian yang telah menjadikan posisi Indonesia menguntungkan dalam meneruskan gerak pembangunan negara. Melalui tema tersebut, ada harapan agar dapat menjadi dorongan bagi bangsa Indonesia untuk terus bergerak maju. Pada momentum sekarang, setidaknya Republik ini telah menampilkan aksi nyata progresif dan muncul pengharapan adanya “tongkat estafet” dalam melanjutkan pembangunan.
Pada perayaan hari kemerdekaan kali ini beriringan dengan perjalanan menuju transisi kekuasaan per lima tahun sekali. Hari demi hari suasana masyarakat Indonesia baik secara nyata maupun dunia maya kian “panas” yang membahas siapa yang paling pantas menjadi orang nomor 1 dan 2 di republik ini. Penulis merasa kondisi yang demikian tentu tidak terhindarkan lagi. Karena sudah menjadi fenomena dalam lima tahun sekali sepanjang Konstitusi tak diubah seperti hari ini.
Dalam suasana euforia bulan kemerdekaan kali ini, Penulis ingin mengajak pembaca untuk memaknai kembali dari naskah Proklamasi kita yang menjadi peletakan batu pertama merdekanya Republik Indonesia dari penjajahan. Terlebih dengan semakin cepat informasi yang silih berganti era ini, acapkali narasi untuk merenungi atau pengingat bagi generasi hari ini untuk mengenal dan meresapi semangat naskah tersebut kian pudar bahkan buta sama sekali. Perkenankan Penulis untuk merangkainya dalam tulisan kali ini.
Naskah proklamasi merupakan satu kesatuan apabila ingin diinterpretasikan. Proklamasi itu mencerminkan tindakan politik yang menciptakan hukum atau istilahnya Rechtscheppen, sedangkan naskahnya berfungsi sebagai pembuktian hukum (Rechtsvastellen) atas terjadinya. Sehingga pemahaman atas Naskah Proklamasi tidak boleh dikotomi antara satu sama lain karena telah menjadi satu kesatuan yang tak terpisahkan antara dua unsur yang dimaksud.
Proklamasi yang dikumandangkan pada 17 Agustus 1945 bagai gunung api yang meletus dari keinginan besar bangsa Indonesia, yang mengeluarkan gumpalan teks peradaban bernama Konstitusi. Kala itu, proklamasi kemerdekaan adalah sebuah tindakan treatikal separatis yang oleh pihak pemerintah Belanda sungguh dibenci. Sehingga tokoh pergerakan nasional pun dicap sebagai nasionalis fanatis, dituduh nelakukan makar oleh pemerintahan Belanda dan tuduhan-tuduhan lainnya.
Terkadang kita tidak menyadari begitu sakralnya naskah proklamasi yang dibacakan kala itu. Naskah tersebut menjadi pernyataan yang jelas terhadap dekolonialisasi Indonesia dari negara kolonial Belanda. Meskipun pernyataan kemerdekaan ini tidak termasuk dari syarat-syarat yuridis dari keberadaan suatu negara sebagaimana yang dimuat dalam Konvensi Montevideo tentang Hak dan Kewajiban Negara tahun 1933. Dalam Konvensi itu menyebutkan persyaratan suatu negara diakui keberadaan apabila mempunyai: 1. Penduduk, 2. Wilayah, 3. Pemerintah, 4. Pengakuan dari negara lain.
Namun, proklamasi kemerdekaan Indonesia itu memiliki makna yuridis bagi proses dekolonialiasasi Negara Indonesia. Tahukah pembaca kalau ternyata naskah proklamasi tahun 1945 ini menjadi produk hukum pertama yang menandai berdirinya Negara Indonesia sekaligus mengakhiri kolonialisme di Indonesia.
Penulis mengutip tafsiran dari salah seorang tokoh pendiri bangsa kita, Muhammad Yamin memberikan penafsiran terhadap naskah proklamasi secara ringkas dan padat. Bagi M Yamin, Proklamasi Kemerdekaan adalah “suatu alat hukum Internasional untuk menyatakan kepada rakyat dan seluruh dunia, bahwa bangsa Indonesia mengambil nasib ke dalam tangannya sendiri untuk menggenggam seluruh hak kemerdekaan yang meliputi bangsa, tanah air, pemerintahan, dan kebahagiaan masyarakat.”
Makna Proklamasi bagi Yamin lebih berorientasi pada lingkup pengertian hukum (dalam arti hukum internasional), yaitu proklamasi kemerdekaan menjadi payung hukum untuk memberitahukan kepada dunia kalau Indonesia telah menjadi bangsa/negara yang merdeka. Konsekuensi dari lahirnya naskah itu, negara Indonesia telah berdiri dan berdaulat baik secara De Facto maupun De Jure, serta telah menjadi subjek hukum yang mempunyai derajat sama tinggi dengan negara merdeka di belahan dunia lain.
Dalam catatan sejarah bangsa kita, pasca naskah proklamasi itu diucapkan banyak pertempuran yang terjadi silih berganti agar mempertahankan proklamasi kemerdekaan kita, antara lain: Pertempuran 10 November di Surabaya, Bandung Lautan Api, Pertempuran Medan Area, Pertempuran lima hari di Semarang, Pertempuran Ambarawa, dst.
Oleh karena itulah, Penulis pun mengajak dan mengingatkan kembali tentang jati diri bangsa ini yang telah gagah berani merebut kemerdekaan bangsanya sendiri kepada para pembaca semua. Yamin menyebutkan bahwa proklamasi adalah awal dari revolusi sosial dan nasional Indonesia. Dengan adanya revolusi, meningkatlah persatuan dan kesatuan rakyat Indonesia menjadi bangsa-bangsa Indonesia yang merdeka.
Dalam menutup tulisan ini, Penulis ingin mengucapkan selamat merayakan hari kemerdekaan kita yang ke-78 seperti ucapan Bung Karno yang menggertakan hati bangsa ini dengan berucap “Kemerdekaan hanyalah didapat dan dimiliki oleh bangsa yang jiwanya berkobar-kobar dengan tekad, “MERDEKA ATAU MATI!”. Dan teruntuk Bangsaku yang berusia 78 tahun kini, teruslah melaju untuk Indonesia maju.