
Nasib buruh kian keruh. Di tengah terjadinya gelombang pemutusan hubungan kerja (PHK), buruh harus menghadapi pemotongan upah. Pemerintah telah mengeluarkan regulasi yang mengizinkan pengusaha berorientasi ekspor untuk memangkas upah pekerja/buruh maksimal sebesar 25%. Izin ini tertuang dalam Peraturan Menteri Ketenagakerjaan (Permenaker) No. 5/2023 tentang Penyesuaian Waktu Kerja dan Pengupahan pada Perusahaan Industri Padat Karya Tertentu Berorientasi Ekspor yang Terdampak Perubahan Ekonomi Global yang diundangkan serta berlaku mulai 8 Maret 2023.
Penjelasan pasal 7 ayat 1 Permenaker tersebut berbunyi, “Perusahaan industri padat karya tertentu berorientasi ekspor yang terdampak perubahan ekonomi global dapat melakukan penyesuaian besaran upah pekerja/buruh dengan ketentuan upah yang dibayarkan kepada pekerja/buruh paling sedikit 75% dari upah yang biasa diterima.” Berdasarkan aturan ini, negara mengizinkan perusahaan tekstil dan pakaian jadi, alas kaki, kulit dan barang kulit, furnitur, serta mainan anak untuk melakukan pembatasan kegiatan dan menyesuaikan pembayaran upah.
Menurut Kemenaker, regulasi ini bertujuan untuk memberikan perlindungan dan mempertahankan kelangsungan bekerja pekerja/buruh, serta menjaga kelangsungan usaha perusahaan industri padat karya tertentu berorientasi ekspor dari dampak perubahan ekonomi global yang mengakibatkan penurunan permintaan pasar. (CNBC Indonesia, 18-3-2023). Dengan kata lain, menurut pemerintah, Permenaker ini bertujuan menyelamatkan perusahaan dari maraknya PHK massal. Aturan ini sudah disetujui oleh Presiden Jokowi dan akan berlaku selama enam bulan.
Peraturan Menteri Ketenagakerjaan (Permenaker) 2/2022 tentang Tata Cara dan Persyaratan Pembayaran Manfaat Jaminan Hari Tua (JHT) menyebutkan bahwa manfaat JHT akan dibayarkan kepada peserta jika mencapai usia pensiun, mengalami cacat total tetap, atau meninggal dunia. Artinya, karyawan yang terkena PHK baru bisa mengambil manfaat JHT saat berusia 56 tahun. Sontak penolakan pun datang dari mana-mana, mulai dari petisi penolakan kebijakan tersebut hingga ancaman demonstrasi besar-besaran jika kebijakan ini tidak dibatalkan.
Ibarat kanker, Permenaker tersebut makin merusak kehidupan masyarakat yang sedang terzalimi saat ini. Pasalnya, JHT adalah pertahanan terakhir para buruh. Dengan uang JHT, mereka bisa sedikit bernapas untuk menyambung hidup kembali jika tiba-tiba di-PHK. Entah itu untuk membuka usaha atau untuk biaya hidup selama mereka menganggur. Namun kini, JHT yang awalnya bisa diambil satu bulan setelah PHK, dengan beleid baru berarti harus menunggu hingga umur mereka 56 tahun. Padahal, potensi mereka di-PHK makin besar, begitu pun ancaman tidak mendapat pesangon dari perusahaan dengan alasan produksi menurun kian meningkat.
Banyak pihak mengkritik kebijakan ini. Dari sisi buruh, jelas aturan ini merugikan mereka karena upah yang diterima akan berkurang. Selain itu, aturan ini dinilai tidak akan mampu menyolusi gelombang PHK yang tengah melanda negeri ini. Koordinator BPJS Watch Timboel Siregar menyatakan bahwa kebijakan ini bukanlah solusi efektif untuk menekan angka PHK. Alasannya, saat ini hubungan kerja di industri padat karya berorientasi ekspor umumnya merupakan pekerja kontrak dan outsourcing.
Oleh karenanya, perusahaan tetap bisa melakukan PHK dengan mudah. (Kumparan, 19-3-2023). Selain itu, Permenaker No. 5/2023 dianggap akan menyebabkan upah pekerja di sektor padat karya industri berorientasi ekspor dibayar di bawah ketentuan UMK yang berlaku (investor[dot]id, 17-3-2023). Permenaker No. 5/2023 makin menambah panjang daftar permasalahan yang mendera kaum buruh.
Kaum buruh telah mengalami berbagai kezaliman, mulai dari kenaikan upah minimum yang di bawah tingkat inflasi, polemik jaminan hari tua (JHT) yang baru bisa dicairkan pada usia 56 tahun, sistem outsourcing yang minim kesejahteraan hingga gelombang PHK yang tengah mendera. Disahkannya UU 11/2020 tentang Cipta Kerja justru makin menzalimi buruh. Kini, pemerintah lagi-lagi menzalimi buruh dengan mengeluarkan regulasi yang melegalkan pengusaha kapitalis untuk memotong upah buruh.
Padahal, tanpa adanya izin untuk memotong upah saja, banyak buruh yang diupah di bawah UMK. Apalagi sekarang ketika pemotongan upah tersebut dilegalkan, jelas upah buruh yang sudah tipis akan makin tipis. Kebijakan pemerintah ini menunjukkan bahwa penguasa lebih berpihak kepada pengusaha kapitalis daripada kaum buruh. Demi membela para kapitalis, penguasa mengeluarkan regulasi yang menzalimi buruh. Buruh diperdaya dengan dalih menyolusi maraknya PHK, padahal sejatinya penguasa tengah membela pengusaha.
Pangkal persoalan perburuhan adalah penerapan sistem ekonomi kapitalisme. Sistem ini menjadikan penguasa berpihak pada pengusaha kapitalis dan abai terhadap rakyatnya. Pemerintah berlepas tangan dalam pemenuhan kesejahteraan rakyat, termasuk kaum buruh. Padahal, tugas seorang pemimpin adalah mengurusi rakyatnya. Sayangnya, tugas ini tidak dijalankan oleh penguasa. Akibatnya, beban kesejahteraan rakyat tertumpu pada satu aspek, yaitu upah.
Rakyat harus bekerja untuk mendapatkan upah yang cukup guna memenuhi kebutuhan dasarnya berupa sandang, pangan, papan, pendidikan, dan kesehatan. Sementara, pemerintah justru membuat kebijakan yang mengakibatkan harga sandang, pangan, dan papan serta biaya pendidikan dan kesehatan terus meningkat dari tahun ke tahun. Sebagai imbas, kebutuhan upah pun terus meningkat. Hal inilah yang menjadi sumber sengketa antara buruh dan pengusaha.
Ini karena negara ini tunduk pada sistem kapitalisme yang menjadikan para penguasa sebagai pelayan pengusaha kapitalis. Para kapitalis itulah yang telah membiayai penguasa tersebut untuk sampai ke tampuk kepemimpinan sehingga setiap kebijakan penguasa akan menghamba pada kepentingan kapitalis. Dalam kapitalisme, penguasa hanya berperan sebagai regulator (pembuat regulasi) sehingga kekayaan alam mereka serahkan pada korporasi kapitalis.
Tegaknya kapitalisme di negeri ini akan terus memproduksi perbudakan modern. Buruh akan terus berada dalam nestapa dan bahkan kondisinya akan makin buruk karena tuntutan ekonomi yang makin berat. Sementara, pengusaha kapitalis mendominasi perekonomian sehingga leluasa untuk mengeksploitasi buruh demi meraup keuntungan berlimpah. Para kapitalis itu mempekerjakan buruh dengan upah rendah. Tampak bahwa perbudakan modern ini adalah hasil penerapan kapitalisme.
Dengan demikian, buruh seolah terjepit dari dua arah, yaitu tekanan pekerjaan yang mengeksploitasi mereka dan tekanan kebutuhan yang harus dipenuhi secara mandiri. Apalagi, negara juga makin kapitalistik, berbagai layanan publik dikapitalisasi sehingga beban hidup rakyat makin berat. Rakyat hanya bisa gigit jari karena selalu diperdaya dengan berbagai aturan buatan penguasa. Selama negara ini masih bertahan dengan sistem kapitalisme, buruh akan selalu berada dalam nestapa.
Sebenarnya yang menjadi permasalahan dasar dari polemik JHT adalah bahwa pemerintah di bawah sistem demokrasi kepitalisme tidak memiliki peran untuk menjamin kesejahteraan warganya. Itulah mengapa untuk menjamin hidup di hari tua yang tidak berdaya, harus dihimpun dari upah pekerja yang itu sangat kecil. Sebab, upah dihitung dari KFM, jangankan disisihkan untuk hari tua, kebutuhan harian pun harus berjuang keras untuk memenuhinya.
Berbeda dengan Islam yang memosisikan penguasanya sebagai penjamin kebutuhan dasar bagi kehidupan rakyat. Tidak harus ada tunjangan berupa jaminan hari tua atau jaminan kehilangan pekerjaan karena semua itu dijamin oleh negara. Dalam Islam, dibedakan pembahasan upah dan jaminan atas terpenuhinya kebutuhan hidup. Pembahasan upah hanyalah berbicara akad antara majikan dan pegawai.
Pemerintah tidak berhak ikut campur menentukan besaran upah, kecuali memilihkan pakar untuk menentukan besaran upah, itu pun jika ada pertikaian di antara kedua belah pihak. Besaran upah dihitung bukan berdasarkan KFM ataupun perhitungan biaya produksi karena besaran upah dalam Islam ditentukan oleh jasa tenaga yang diberikan oleh pekerja pada majikan, atau sering disebut upah sepadan. Inilah yang menghilangkan potensi eksploitasi pada buruh.
Sedangkan jaminan atas kebutuhan hidup bukan tanggung jawab majikan, tetapi tanggung jawab pemerintah. Pemerintah lah yang akan menjamin kebutuhan dasar umat agar terpenuhi. Baik itu sandang, pangan, papan, pendidikan, kesehatan maupun keamanan. Dengan demikian, jika upah mereka tidak mencukupi untuk menghidupi diri dan keluarganya karena cacat atau lainnya maka itu urusan pemerintah, bukan majikan.
Sistem pengupahan yang adil hanya ada dalam sistem Islam. Dalam pandangan Islam, buruh dan pengusaha memiliki posisi setara, yaitu sama-sama sebagai hamba Allah Swt. Keduanya harus taat pada aturan Allah Swt., tidak ada privilese bagi siapa pun untuk kebal aturan. Buruh wajib mengerjakan pekerjaannya secara baik sehingga dia berhak atas upahnya. Pengusaha berhak mendapatkan hasil pekerjaan yang baik sehingga dia wajib memberi upah yang layak pada pekerja dan menyegerakan pembayaran upah tersebut.
Negara memastikan adanya upah layak yang disepakati pekerja dan pengusaha, termasuk menunjuk adanya lembaga profesional yang berisikan para ahli di bidang pengupahan untuk profesi tertentu. Negara menjadi pemutus ketika ada ketaksepakatan antara pekerja dan pengusaha terkait upah, pekerjaan, hari libur, dan lain-lain. Negara menyediakan hakim/kadi sebagai pihak yang memberikan keputusan adil atas konflik yang terjadi. Dengan pengaturan ini, urusan antara pengusaha dan pekerja sebenarnya hanya terkait akad pekerjaan.
Sepanjang pekerja sudah mendapatkan upah yang sesuai dengan kinerjanya, persoalan sudah selesai. Sedangkan urusan kesejahteraan pekerja bukan tanggung jawab pengusaha, melainkan tanggung jawab penguasa. Negara wajib menjamin pemenuhan kebutuhan dasar rakyat, termasuk buruh. Baik kebutuhan dasar individual yaitu sandang, pangan, dan papan maupun kebutuhan dasar komunal yaitu pendidikan, kesehatan, dan keamanan.
Untuk pemenuhan kebutuhan dasar individual, negara memfasilitasi kemampuan tersebut kepada para laki-laki balig untuk bekerja mencari nafkah. Negara memberikan pelatihan keterampilan dan bantuan modal nonriba bagi rakyat yang membutuhkan. Ketika ada kelemahan, misalnya sakit, tua, dan cacat maka negara turun tangan memberikan bantuan berupa santunan. Jika ada laki-laki yang mampu bekerja, tetapi malas maka negara akan memaksanya untuk bekerja.
Tentu kebijakan tunjangan seperti ini hanya bisa dilakukan oleh sistem pemerintahan Khilafah yang memiliki aturan administrasi yang kuat pada baitulmal. Baitulmal sebagai kas negara tahan dari defisit anggaran sehingga mampu memberikan stimulus. Tidak seperti APBN negara demokrasi kapitalisme yang selalu defisit anggaran. Dengan sistem yang adil ini, Khilafah mampu mewujudkan kesejahteraan bagi buruh. Khilafah juga mampu mewujudkan iklim usaha yang kondusif sehingga tidak terjadi konflik antara buruh dan pengusaha.
Keduanya mampu bersinergi untuk mewujudkan kemaslahatan bersama. Hal ini menjadikan ekonomi negara Khilafah tumbuh membesar dan terwujud kemakmuran bersama. Oleh karena itu, berharap akan ada jaminan hidup sejahtera baik di masa tua maupun di masa muda dalam tata kelola demokrasi kapitalisme bagai punuk merindukan rembulan. Inilah satu dari sekian banyak derita yang dialami oleh umat manusia saat tidak adanya Khilafah. Umat tidak terjamin kehidupannya dan tidak terlindungi muruahnya.