Oleh: Nor Faizah Rahmi, S.Pd.I (Praktisi Pendidikan & Pemerhati Remaja)
Dalam sistem kapitalisme rakyat dipaksa bekerja keras kepada para kapitalis pemilik perusahaan-perusahaan besar. Kemudian, mendapatkan gaji dan dibelanjakan lagi untuk membeli produk para kapitalis tersebut. Ketika ingin meredakan stres karena pekerjaan yang penuh tekanan, misalnya, dilakukan dengan cara bersenang-senang menonton konser. Uangnya masuk kembali ke para kapitalis.
Terbayang betapa berkuasanya para kapitalis itu menyedot dana Masyarakat. Walhasil, di dalam sistem kapitalisme, para kapitalislah yang paling diuntungkan. Wajar saja mereka menjadi crazy rich. Sementara itu, selepas menonton konser, para penonton kembali pulang ke rutinitas penuh tekanan dan kembali stres. Bahkan, ada yang lebih stres karena harus membayar cicilan utang.
Oleh karenanya, jika memang peduli pada orang miskin dan serius menyelesaikan problem kemiskinan, seharusnya program yang dilakukan adalah memberi makanan, pakaian, tempat tinggal, dan pekerjaan pada orang-orang miskin. Dengan demikian, dana APBN dan dana masyarakat akan membuat 110 juta orang miskin kembali tersenyum. Harus disadari, ekonomi Indonesia sangat timpang. Menurut World Inequality Report 2022, dalam 20 tahun terakhir, kesenjangan ekonomi di Indonesia tidak ada perubahan signifikan.
Selama periode 2001-2021, sebanyak 50% penduduk Indonesia hanya memiliki kurang dari 5% kekayaan rumah tangga nasional. Sementara itu, 10% penduduk lainnya memiliki sekitar 60% kekayaan rumah tangga nasional. (Katadata, 30-6-2022). Walhasil, perekonomian nasional dikuasai oleh segelintir kapitalis. Harta empat orang miliarder di Indonesia setara dengan gabungan harta 100 juta warga termiskin. (DW, 23-2-2017).
Fenomena ini sungguh memprihatinkan karena menunjukkan budaya hedonisme sekaligus buruknya prioritas amal para remaja tersebut. Padahal, uang jutaan tersebut lebih bermanfaat jika digunakan untuk biaya pendidikan ataupun keperluan lainnya yang lebih urgen. Antusiasme masyarakat (terutama remaja) terhadap konser ini merupakan cermin kondisi generasi muda kita hari ini, terlebih para remaja muslimah.
Konser dan yang sejenisnya, sungguh berbahaya karena mengusung gaya hidup Barat yang memuja kebebasan. Aturan agama diabaikan, yang penting happy. Para muslimah yang seharusnya menjaga kehormatan dan kemuliaannya, justru menanggalkan rasa malunya dan berlenggak-lenggok mengikuti idolanya. Ini adalah fenomena realitas generasi muda kita hari ini. Para pemuda muslim yang Allah Taala kabarkan sebagai ‘khairu ummah’ nyatanya malah larut dalam budaya hedonis yang jelas-jelas jauh dari ajaran Islam.
Tidak hanya jauh dari Islam, mereka bahkan menjadi pengekor budaya asing, baik Barat maupun Timur. Sungguh menyedihkan. Gambaran hadis bahwa umat Islam seperti buih, terjadi hari ini. Umat Islam benar-benar lemah, tidak punya kekuatan untuk melawan. Imam Al-Qari di dalam Mirqat al-Mafatih menyatakan, umat Islam disebut seperti buih karena tidak memiliki keberanian alias penakut, tidak berkualitas, dan tidak memiliki mimpi tinggi.
Umat Islam terus terombang-ambing mengikuti arus yang ada. Ke mana arus bergerak, umat Islam ikut ke sana, tanpa mengetahui kebaikan maupun keburukannya. Padahal, hari ini, kapitalisme tengah bergerak menuju kehancurannya. Kita bisa menyaksikan, kehancuran generasi di Barat sudah tampak terang benderang. Mulai dari resesi generasi, maraknya aborsi, hingga budaya kekerasan pada generasi muda. Sungguh menyedihkan.
Serangan budaya dari luar diterima dan difasilitasi dengan biaya besar, sedangkan ikhtiar sebagian pihak memberi pemahaman yang benar pada generasi muda melalui dakwah amar makruf nahi mungkar justru dilarang dan dikriminalisasi. Jika hal ini diteruskan, para remaja akan makin jauh dari Islam. Berbagai kerusakan generasi, seperti pergaulan bebas, aborsi, kenakalan remaja, kriminalitas, narkoba, dsb. akan makin parah.
Sungguh kita tidak layak untuk bersukacita di atas penderitaan orang lain sebab sesungguhnya kaum mukmin itu bersaudara. Ketika ada yang merasakan kemiskinan dan kesulitan hidup, selayaknya mukmin lainnya memberikan pertolongan. Allah Taala berfirman dalam QS Al-Hujurat: 10, “Sesungguhnya orang-orang mukmin itu bersaudara.”
Adapun Rasulullah saw. bersabda dalam hadis yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Muslim, “Perumpamaan orang-orang mukmin dalam hal saling mencintai, menyayangi, dan mengasihi adalah bagaikan satu tubuh. Apabila ada salah satu anggota tubuh yang sakit, maka seluruh tubuhnya akan ikut terjaga dan demam.”
Ini karena tujuan hidup seorang muslim adalah meraih rida Allah Taala. Hidupnya bukan sekadar untuk bersenang-senang di dunia. Kesenangan di dunia bersifat semu dan sementara, sedangkan kesenangan di surga itu hakiki dan selamanya. Dengan demikian, seorang muslim akan berlomba-lomba untuk berbuat kebaikan demi meraih rida Allah Swt. yang merupakan “tiket” ke surga. Inilah “tiket” yang layak untuk kita perjuangkan dengan segenap raga, harta, dan jiwa.
Agar berbuah surga, hendaknya pula kita membelanjakan harta untuk yang wajib dan sunah. Boleh saja berbelanja untuk yang mubah, tetapi sekadarnya. Nah, untuk hal yang haram, jangan sampai ada harta kita untuknya, meski sepeser saja. Negara dalam Islam, yakni Khilafah, tidak akan mengizinkan aktivitas yang ada keharaman di dalamnya, seperti ikhtilat, misalnya. Khilafah tidak akan “mendidik” warganya untuk hura-hura.
Khilafah akan menjadi junnah (perisai) yang melindungi generasi dari serangan pemikiran, tsaqafah, dan gaya hidup asing. Berbagai tayangan, konten, kegiatan, bacaan, dll. yang mengusung gaya hidup tidak islami akan dilarang. Khilafah justru fokus dan sibuk untuk me-riayah (mengurusi) rakyatnya, yaitu memenuhi kebutuhan dasar mereka, baik sandang, pangan, papan, maupun pendidikan, kesehatan, dan keamanan. Rakyat pun akan sejahtera secara merata.
Demikianlah, Allah Taala memerintahkan kita untuk menjaga akidah agar senantiasa menuju syariat kafah, kendati iman dan ketaatan kita mungkin masih dalam keadaan ala kadarnya. Oleh karenanya, teruslah berusaha membongkar borok sistem sekuler, tetapi jangan pernah sekalipun melepaskan tali agama-Nya. Pembatalan pengajian jelas-jelas merupakan persekusi terhadap bentuk kegiatan keislaman dan akan terus menemukan gaya barunya.
Persekusi pengajian sejatinya cenderung untuk menutupi kebobrokan rezim sekuler sehingga umat menjadi sibuk dengan persekusi itu. Padahal, di luar sana, kezaliman mereka kian menggurita. Tugas kita adalah membuat rakyat cerdas sehingga tidak mempan dengan bualan mereka agar kezaliman mereka terbongkar. Dengan demikian, persekusi itu menjadi blunder, berbalik menyerang penyerangnya sendiri. Satu-satunya kunci adalah dengan berusaha berislam secara kafah dan terus menggencarkan dakwah, termasuk berjuang menegakkan sistem pemerintahan Khilafah Islamiah.