Oleh: Nor Faizah Rahmi, S.Pd.I (Praktisi Pendidikan & Pemerhati Remaja)
Ikatan Dokter Indonesia Provinsi Kalimantan Selatan ikut serta dalam Aksi Damai Nasional dengan mengusung tema Selamatkan Kesehatan Bangsa di Jakarta, Senin (8/5/2023). Ketua IDI Kalsel Sigit Prasetia Kurniawan, menjelaskan, kegiatan aksi ini dilakukan oleh lima organisasi profesi, yakni IDI, PDGI, PPNI, IBI dan IA. Dijelaskannya, hal ini merupakan bentuk penyampaian aspirasi dan kebebasan berpendapat yang dilakukan sebagai satu kesamaan sikap dan langkah terhadap Rancangan Undang-Undang (RUU) Kesehatan yang akan dilakukan pembahasan oleh Panja Komisi IX DPR-RI.
Menurutnya, jika RUU Kesehatan Omnibus Law ini disahkan akan berpotensi menimbulkan polemik dan permasalahan dalam sistem pendidikan dan pelayanan kesehatan. Tentunya, akan berdampak pada keselamatan dan kesehatan masyarakat. Jaminan Kepastian Perlindungan Hukum Konkrit bagi Profesi Kesehatan dan Penguatan Eksistensi serta Kewenangan Organisasi Profesi Kesehatan.
Tak hanya itu, bebernya sebagai bentuk soliditas dan solidaritas perjuangan, secara serentak dilakukan doa bersama dan mengheningkan cipta oleh seluruh tenaga medis dan tenaga kesehatan se Indonesia. Termasuk di seluruh kabupaten kota se Provinsi Kalimantan Selatan. Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin mengatakan terdapat enam pilar transformasi yang diinisiasi Kemenkes melalui RUU Kesehatan.
1.Transformasi layanan primer yang berfokus pada layanan promotif dan preventif.
2.Transformasi layanan rujukan, berkaitan dengan bagaimana mengelola kuantitas dan akses rumah sakit.
3.Transformasi sistem ketahanan kesehatan, baik obat-obatan, vaksin, dan alat kesehatan.
4.Transformasi sistem pembiayaan kesehatan, yaitu memastikan BPJS selalu mampu menanggung beban kesehatan masyarakat.
5.Transformasi SDM kesehatan, yaitu memastikan dokter, dokter spesialis, perawat, perawat spesialis cukup jumlahnya dan baik kualitasnya untuk melayani 270 juta rakyat Indonesia yang tersebar di 17.000 pulau.
6.Transformasi teknologi kesehatan, yaitu memastikan layanan kesehatan masyarakat Indonesia adalah layanan kesehatan paling berkualitas dan modern yang dilakukan secara efektif dan efisien.
Setidaknya ada empat dari Ikatan Dokter Indonesia (IDI) dan organisasi profesi kesehatan lainnya terkait sebab RUU ini layak ditolak.
Pertama, RUU ini dinilai cacat formil sebab tidak transparan dan tidak sesuai ketentuan perundang-undangan yang berlaku. Tidak ada naskah akademik yang dibicarakan bersama pemangku kepentingan, seperti organisasi profesi Kesehatan dan juga masyarakat untuk melihat dasar filosofis, sosiologis, dan yuridis. Walhasil, RUU ini dianggap sarat kepentingan pribadi atau golongan tertentu.
Kedua, RUU ini dinilai cacat materiil sebab dinilai sarat akan liberalisasi dan kapitalisasi kesehatan yang akan mengorbankan hak Kesehatan rakyat selaku konsumen kesehatan. Selain itu, substansinya berpotensi mengancam perlindungan dan keselamatan masyarakat atas pelayanan yang bermutu, profesional, dan beretika.
Ketiga, RUU ini pun dianggap melemahkan peran profesi Kesehatan karena tidak diatur dengan UU tersendiri. Substansinya terlihat seperti ada upaya untuk menghilangkan peran-peran organisasi profesi yang selama ini telah berbakti bagi negara dalam menjaga mutu dan profesionalisme anggota profesi demi keselamatan dan kepentingan pasien.
Keempat, terdapat upaya-upaya mengabaikan hal-hal yang telah mendapatkan putusan MK seperti Putusan Nomor 14/PPU-XII/2014, Putusan Nomor 82/PPU-XII/2015, dan Putusan Nomor 10/PPU-XV/2017 dan Nomor 80/PPU-XVI/2018.
Pro dan kontra mengiringi perjalanan pembahasan RUU Kesehatan. IDI, PDGI, YLKI, dan organisasi profesi lainnya menolak RUU ini dengan beberapa alasan. Di antaranya, mempermudah tenaga kesehatan asing masuk tanpa kualifikasi dan kompetensi, memicu sentralisasi kewenangan Menkes, dan mengebiri peran organisasi profesi (IDI dan PDGI). IDI menilai permasalahan kekurangan tenaga kesehatan dan adanya mala-administrasi bukanlah kesalahan organisasi profesi, melainkan kegagalan pemerintah selaku penyelenggara sistem kesehatan.
Sementara itu, menurut beberapa pengamat pendidikan dokter, kewenangan dan dominasi organisasi profesi seperti IDI dan PDGI memang harus dipangkas agar tidak memonopoli sektor kesehatan yang menyangkut hajat hidup orang banyak. Saling bantah dan tuduh memang kerap terjadi setiap kali ada RUU masuk pembahasan di DPR. Ada banyak kepentingan yang dipertaruhkan dalam RUU yang disusun, tidak terkecuali RUU Kesehatan.
Lebih dari sekadar mempersoalkan regulasi yang cacat formil dan materiil. Seharusnya yang menjadi pembahasan berbagai kalangan adalah akar persoalan yang ada di sektor Kesehatan. Tidak ada yang membantah bahwa persoalan utama kesehatan di negeri ini adalah akses kesehatan yang tidak merata bagi seluruh warga. Fasilitas kesehatan dan nakes yang terbatas dan tidak merata menjadikan hak sehat tidak dirasakan oleh setiap warga.
Lihatlah betapa faskes dan nakes bertumpuk di kota, tetapi minim di pedesaan. Di perkotaan pun sama, pelayanan kesehatan yang prima hanya diberikan kepada warga kaya, kesenjangan tampak begitu nyata. BPJS yang dianggap solusi malah penuh polemik. Fakta ini menunjukkan kegagalan negara dalam menjamin kesehatan warganya. Alih-alih berfokus kepada terpenuhinya kebutuhan warganya, negara kapitalis malah menyerahkannya pada swasta.
Lihat saja, bisnis kesehatan terasa makin menjanjikan di negeri ini. Berbagai rumah sakit milik swasta bertengger memenuhi kota-kota besar. Jika kendali sektor kesehatan sudah di tangan swasta, penyediaan faskes dan nakes bukan lagi berdasarkan pada kebutuhan warga, melainkan pada keuntungan bisnis mereka. Inilah akar persoalan sektor kesehatan sehingga RUU ini seharusnya membahas hal yang demikian.
Hanya saja, jika tata Kelola negara masih kapitalistik, mustahil akan terlahir aturan yang berfokus kepada maslahat umat. Negara kapitalis akan selalu menjadikan kebutuhan rakyat sebagai komoditas yang diperdagangkan. Negara kapitalis akan selalu menggandeng swasta dalam memenuhi kebutuhan umat. Hubungan yang terjalin antara rakyat dan penguasa adalah hubungan bisnis, penguasa sebagai penjual dan rakyat sebagai pembeli. Selayaknya penjual, ia akan mencari keuntungan dalam setiap transaksi. Inilah persoalan kesehatan yang tidak kunjung usai.
Dalam Islam, fungsi negara sebagai pe-riayah akan mereduksi kelalaian negara dalam sistem kapitalisme. Dalam perspektif Islam, penyelenggara sistem kesehatan bertumpu pada negara sebagai penjamin kebutuhan dasar masyarakat. Berikut ini konsep jaminan kesehatan dalam Khilafah.
Pertama, kesehatan adalah kebutuhan pokok pelayanan publik, sebagaimana sabda Rasulullah saw.,
“Siapa saja yang ketika memasuki pagi hari mendapati keadaan aman kelompoknya, sehat badannya, memiliki bahan makanan untuk hari itu, maka seolah – olah dunia telah menjadi miliknya.” (HR Bukhari). Artinya, tidak boleh ada komersialisasi di bidang kesehatan dalam bentuk apa pun dan dengan cara apa pun.
Kedua, negara bertanggung jawab penuh dalam mewujudkan jaminan kesehatan setiap individu rakyat. Mulai dari aspek pembiayaan kesehatan, penyedia dan pelayanan kesehatan, penyelenggaraan pendidikan SDM kesehatan, penyedia sarana dan fasilitas kesehatan (alat kesehatan, obat-obatan, dan teknologi kesehatan), serta sarana lainnya yang penting bagi terselenggaranya pelayanan kesehatan (instalasi listrik, air bersih, transportasi, dan tata kelola infrastruktur publik lainnya yang berkaitan dengan terlaksananya sistem kesehatan).
Ketiga, pembiayaan sektor kesehatan. Semua pembiayaan di sektor ini bersumber dari pos-pos pendapatan negara, seperti hasil hutan, barang tambang, harta ganimah, fai, kharaj, jizyah, ‘usyur, dan pengelolaan harta milik negara lainnya.
Keempat, kendali mutu sistem kesehatan. Konsep kendali mutu jaminan kesehatan Khilafah berpedoman pada tiga strategi utama, yakni administrasi yang sederhana, segera dalam pelaksanaan, dan dilaksanakan oleh individu yang kapabel. Khilafah juga memiliki empat prinsip dalam pelayanan kesehatan.
1) Universal, artinya semua warga negara berhak mendapat layanan kesehatan. 2) Masyarakat mudah mengakses layanan kesehatan tanpa terhalangi kondisi geografis atau lokasi pelayanan kesehatan yang jauh. 3) Bebas biaya, yang berarti setiap warga berhak mendapat layanan kesehatan secara gratis tanpa dipungut biaya. 4) Pelayanan mengikuti kebutuhan medis dan selalu tersedia.
Kelima, upaya promotif dan preventif berbasis sistem. Artinya, Islam diterapkan secara keseluruhan dalam setiap aspek kehidupan. Mulai dari penerapan sistem ekonomi yang menyejahterakan, sistem pendidikan yang berbasis akidah Islam, sistem sosial yang mencegah perilaku maksiat, sistem sanksi yang tegas, dan kebiasaan yang diajarkan dalam Islam, seperti makanan sehat dan halal, tidak ada budaya konsumtif berlebihan, dll.
Dengan demikian, akan terwujud masyarakat dengan kontrol emosi yang sehat, pola makan dan hidup sehat, lingkungan bersih, dan pergaulan yang sehat dan syar’i. Demikianlah jaminan kesehatan Khilafah yang terlaksana secara solutif dan aplikatif.