
JAKARTA – Mahkamah Konstitusi (MK) mengabulkan permohonan uji materi Undang-undang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang diajukan Wakil Ketua KPK Nurul Ghufron, terkait masa jabatan pimpinan KPK.
Dengan demikian, masa jabatan pimpinan KPK diubah dari semula empat tahun menjadi lima tahun.
“Mengabulkan permohonan untuk seluruhnya,” kata hakim konstitusi Anwar Usman, dalam sidang terbuka yang disiarkan secara daring, Kamis (25/5), seperti dikutip cnnindonesia.com.
Anwar menyatakan, gugatan tersebut beralasan menurut hukum. Karena itu, MK mengabulkan seluruh gugatan Ghufron.
Hakim MK dalam pertimbangannya menyatakan pengaturan masa jabatan pimpinan KPK yang berbeda dengan masa jabatan pimpinan atau anggota lembaga independen lainnya telah melanggar prinsip keadilan, rasionalitas, dan diskriminatif. Hakim menilai hal tersebut bertentangan dengan ketentuan Pasal 28D ayat 1 UUD I945.
Menurut hakim, masa jabatan KPK seharusnya disamakan dengan masa jabatan komisi dan lembaga independen yang termasuk dalam rumpun komisi dan lembaga yang memiliki constitutional importance, yakni lima tahun.
Ghufron mengajukan uji materi UU KPK terkait masa jabatan pimpinan KPK ke MK pada Oktober 2022.
Mulanya ia menggugat pasal yang mengatur soal batas usia pimpinan KPK. Namun, dalam perjalanannya, ia memperbaiki permohonan dengan mempermasalahkan masa jabatan empat tahun pimpinan KPK.
Ghufron menyebut niatnya memperpanjang masa jabatan pimpinan KPK itu untuk menyesuaikan dengan lembaga-lembaga lainnya.
Adapun masa jabatan Ghufron sebagai pimpinan KPK akan berakhir pada tahun ini. Ia berencana maju kembali sebagai pimpinan KPK, tetapi terkendala aturan batas usia.
Revisi UU KPK
Anggota Komisi III DPR Arsul Sani menghormati MK yang memutuskan menerima gugatan Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Nurul Ghufron, soal perpanjangan masa jabatan pimpinan KPK. Namun, ia menilai putusan tersebut mempunyai konsekuensi hukum terhadap Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Sebab, masih ada perdebatan apakah putusan MK tersebut berlaku pada pimpinan KPK saat ini atau periode berikutnya. Putusan ini juga tentu membuka peluang kembali direvisinya UU KPK, khususnya yang berkaitan dengan masa jabatan pimpinan KPK.
“Terkait putusan MK itu, saya melihat berarti perlu segera ada revisi UU KPK lagi. Selain tentunya kami harus mendiskusikan apakah putusan MK ini berlaku untuk KPK periode sekarang atau periode ke depan,” ujar Arsul saat dihubungi republika.co.id, Kamis (25/5).
Di samping itu, putusan tersebut juga memiliki konsekuensi terhadap Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2020 tentang MK. Khususnya yang berkaitan dengan masa jabatan hakim MK, yang diatur dalam Pasal 87.
Pasal 87 UU MK Nomor 7 Tahun 2020 menjelaskan, seorang hakim MK bisa menjabat sampai dengan 15 tahun sepanjang usianya tidak melebihi 70 tahun. Sedangkan dalam putusan MK tentang masa jabatan pimpinan KPK ini, MK menekankan prinsip-prinsip keadilan terkait dengan masa jabatan pada lembaga-lembaga negara independen yang dinilai constitutional importance.
Secara implisit, maka MK mempertimbangkan masa jabatan pimpinan atau komisioner lembaga-lembaga negara semacam ini selama lima tahun. Maka atas dasar prinsip keadilan, masa jabatan pimpinan KPK itu dibuat sama via putusan tersebut.
Selain itu MK menganggap bahwa penetapan masa jabatan pimpinan KPK yang hanya empat tahun itu dianggap sebagai penyalahgunaan wewenang pembuat undang-undang. Dalam hal ini DPR dan pemerintah selaku yang membahas UU 19/2019.
“Nah, agar prinsip keadilan dan kemudian tidak dinilai sebagai penyalahgunaan wewenang pembuat UU, maka DPR dan pemerinah yang saat ini sedang membahas RUU perubahan keempat UU MK juga harus menyesuaikan masa jabatan hakim MK ini dengan mengembalikan kepada UU awalnya, yakni lima tahun dan dapat dipilih kembali untuk sekali lagi dengan masa yang sama,” ujar Arsul.
Karenanya, ini memerlukan koreksi terhadap UU MK agar konsisten dengan pertimbangan hukum dan prinsip keadilan bagi pejabat pimpinan lembaga negara yang independen. Di mana mereka diseleksi secara terbuka, sebagaimana hakim MK dan komisioner lembaga-lembaga negara lainnya, seperti KPK. web