Kamis, Juli 3, 2025
  • Headlines
  • Indonesiana
  • Pemprov Kalsel
  • Bank Kalsel
  • DPRD Kalsel
  • Banjarmasin
  • Daerah
    • Martapura
    • Tapin
    • Hulu Sungai Utara
    • Balangan
    • Tabalong
    • Tanah Laut
    • Tanah Bumbu
    • Kotabaru
  • Ekonomi Bisnis
  • Ragam
    • Pentas
    • Sport
    • Lintas
    • Mozaik
    • Opini
    • Foto
  • E-paper
No Result
View All Result
Mata Banua Online
No Result
View All Result

Budaya Flexing dan Thrifting, Impor Gaya Hidup Negara Maju

by matabanua
14 Mei 2023
in Opini
0

Oleh: Nor Faizah Rahmi, S.Pd.I(Praktisi Pendidikan & Pemerhati Remaja)

Pemerintah Provinsi (Pemprov) Kalimantan Selatan (Kalsel) terus berupaya menanggulangi peredaran pakaian bekas impor atau thrifting. Bukan tanpa alasan. Pasalnya, semakin hari penjualan thrifting di Kalsel justru makin marak. Dari kalangan muda hingga dewasa terus berburu pakaian bekas impor dengan harga yang lebih murah. Terlebih, larangan bisnis thrifting juga diatur Kementerian Perdagangan sesuai dengan perintah Presiden Joko Widodo.

Artikel Lainnya

D:\2025\Juli 2025\3 Juli 2025\8\master opini.jpg

Berantas Narkoba Selamatkan Masyarakat

2 Juli 2025
Beras 5 Kg Tak Sesuai Takaran

Kampus Bentuk Satgas Perlindungan Perempuan, Sudah Cukupkah?

2 Juli 2025
Load More

Larangan itu mengacu pada Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 40 Tahun 2022 tentang Perubahan atas Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 18 Tahun 2021 tentang Barang Dilarang Ekspor dan Barang Dilarang Impor. “Untuk menanggulangi maraknya pembelian baju atau barang bekas, kami selalu bersinergi dengan kebijakan dari pemerintah pusat,” kata Kepala Dinas Koperasi dan UKM Kalsel, Gusti Yanuar Rifai, Senin (24/4/2023).

Pemprov Kalsel juga terus bersinergi dengan jajaran instansi memberikan program khusus sebagai insentif bagi UMKM lokal untuk meningkatkan produktivitas serta pemasaran melalui platform digital. Menurut Rifai, pemanfaatan digitalisasi tentu sebagai pilihan untuk mengikuti perkembangan zaman, sehingga pemasaran dapat diperluas target serta jangkauan pasarnya.

Lebih lanjut, thrifting ini berpotensi besar merugikan pendapatan negara sebab banyak barang bekas yang masuk ke Indonesia tanpa membayar bea dan cukai. Selain permasalahan ekonomi, banyaknya baju-baju bekas yang diimpor ke tanah air dianggap dapat memicu kerusakan lingkungan. Ini karena baju-baju bekas tersebut berpotensi menjadi sampah baru yang menumpuk di TPA.

Budaya konsumtif lahir dari peradaban Barat sekuler kapitalistik. Lihatlah negara-negara maju yang masyarakatnya “gila belanja” atau dikenal dengan shopaholic. Mereka hobi berbelanja dan memakai barang-barang mewah. Sebut saja AS, Jepang, Singapura, Korea Selatan yang penduduknya gemar berbelanja, lalu membuang barang-barang bekasnya ke negara-negara berkembang, termasuk Indonesia.

Barang bekas yang sejatinya sudah menjadi sampah, bertemu dengan kebutuhan masyarakat miskin terhadap barang bermerek yang murah, jadilah memunculkan fenomena thrifting. “Biar bekas asal terlihat berkelas,” begitulah prinsip anak muda yang setiap harinya memikirkan outfit of the day (OOTD), mulai dari pakaian, tas, sepatu, ikat pinggang, HP, dsb. harus bermerek.

Penegakan aturan yang memihak para pemilik modal yang mengakibatkan masyarakat sulit mengakses ekonomi, budaya korupsi dan suap akibat adanya kesempatan, serta merosotnya moral dan lemahnya pengawasan, memicu fenomena ini. Thrifting adalah aktivitas menjual dan membeli produk bekas yang masih layak pakai, umumnya pakaian.

Pemerintah begitu khawatir masuknya 27.420 ton baju bekas yang pada 2021 bernilai hampir 32 juta dolar AS itu merusak tatanan industri tekstil dalam negeri. (Kompas, 20-3-2023).

Alih-alih mengkhawatirkan keselamatan gaya hidup generasi muda, pemerintah justru fokus pada kekhawatiran ekonomi akibat thrifting. Mengatasnamakan melindungi produk UMKM, industri tekstil dalam negeri, serta dampak kesehatan, pemerintah kembali mempertegas larangan impor baju bekas ilegal. Bahkan, Presiden Jokowi buka suara mengenai impor pakaian bekas yang kian marak belakangan ini.

“Itu mengganggu industri tekstil di dalam negeri, sangat mengganggu. Jadi yang namanya impor pakaian bekas mengganggu, sangat mengganggu industri kita,” katanya dalam Business Matching Penggunaan Produk Dalam Negeri (P3DN), Rabu (15-3-2023). Thrifting memang merupakan gaya hidup generasi muda untuk tampil mewah dengan harga murah. Banyak yang mengandalkan thrifting sebagai pilihan untuk mematut diri dalam berbusana.

Ini diakui oleh Menteri Koperasi dan Usaha Kecil Menengah (Menkop UKM) Teten Masduki bahwa maraknya bisnis thrifting yang menjual pakaian bekas, termasuk impor, salah satunya disebabkan adanya peminat. Menurutnya, ada banyak peminat pakaian dan barang bekas impor ilegal, terutama kalangan muda. Thrifting pun menjadi polemik, bahkan ada yang berkomentar bahwa thrifting tidak sekadar gaya hidup rakyat kecil untuk menyiasati mahalnya harga busana, melainkan juga bentuk perlawanan terhadap kaum kaya dan pejabat yang tega mengumbar kekayaan di media sosial.

Pedagang kecil makin sulit, rakyat pun makin tidak terpenuhi kebutuhan sandangnya lantaran kemiskinan yang kian akut. Ditambah budaya hedonistik yang melekat dalam kehidupan masyarakat, terutama anak muda, menjadikan makna kebahagiaan hanya pada perolehan kepuasan materi belaka. Oleh karena itu, jika akar persoalannya terletak pada absennya negara dalam mengurusi sandang umat dan melekatnya budaya hedonisme dari Barat, semua itu berpangkal dari kepemimpinan ideologi kapitalisme saat ini.

Sistem kehidupan kapitalisme telah mengerdilkan fungsi negara sebatas regulator saja, yang tidak bertanggung jawab terhadap ketersediaan kebutuhan umat, termasuk sandang. Sistem kapitalisme pun telah menjadikan manusia keluar dari fitrahnya. Gaya hidup hedonistik yang memunculkan fenomena shopaholic menjadikan manusia hanya diperbudak oleh materi; tidak mengerti makna hidup sesungguhnya dan makna kebahagiaan hakiki seorang manusia.

Ini semua membuktikan bahwa penguasa yang menerapkan kapitalisme tidak mampu mewujudkan kesejahteraan rakyatnya, hingga rakyat untuk memenuhi kebutuhan hidupnya menggunakan barang bekas, padahal kekayaan alam negerinya melimpah ruah.

Sebenarnya, membeli barang bekas bukan satu persoalan jika dilihat dari level individu karena ajaran Islam pun tidak melarangnya. Namun, menjadi satu persoalan jika dilihat dari level masyarakat dan negara. Ini karena fenomena thrifting tidak bisa dilepaskan dari budaya konsumtif yang bukan ciri khas masyarakat Islam. Masyarakat Islam akan lebih gemar bersedekah daripada berbelanja barang mewah. Walaupun berbelanja untuk memuaskan diri, boleh-boleh saja.

Oleh karena itu, menjawab fenomena ini adalah dengan menggantinya dengan kepemimpinan Islam. Islam akan menghadirkan negara yang benar-benar menjamin kebutuhan pokok rakyatnya, termasuk sandang. Pemimpinnya akan menjadi garda terdepan dalam melindungi pedagang lokal sebab mereka adalah bagian dari rakyatnya sehingga kebijakan akan senantiasa berputar pada kemaslahatan umat. Negara sebagai perisai umat berkewajiban menjaga rakyatnya senantiasa dalam rida Allah Swt. sehingga akan melahirkan kebahagiaan bagi rakyatnya.

Rasulullah saw. bersabda,”Sesungguhnya seorang imam (kepala negara) laksana perisai, rakyat di belakangnya dan dia menjadi pelindung bagi rakyatnya.” (HR Bukhari dan Muslim).

Terjaganya keimanan individu dan masyarakat merupakan tanggung jawab negara. Terciptanya kondisi pemerintahan yang bersih dari segala bentuk kemaksiatan, seperti gaya hidup berfoya-foya, korupsi, suap, dan sebagainya adalah dengan melaksanakan penerapan syariat Islam secara kafah. Negara juga melindungi masyarakat dari segala propaganda yang merusak rakyat, dan segala bentuk liberalisasi budaya.

Rakyat akan diarahkan pada aktivitas yang produktif dan bermaslahat bagi umat Islam, serta sesuai tuntutan syariat. Negara juga akan menegakkan hukum peradilan yang adil dan berefek jera bagi pelaku kemaksiatan. Dengan mekanisme tersebut, kebahagiaan hakiki akan terwujud di tengah masyarakat. Inilah keunggulan masyarakat Islam.

Seluruh kebutuhan pokoknya akan terjamin oleh negara sehingga akan tercipta dari sana masyarakat yang sejahtera. Begitu pun gaya hidup yang menjadikan makna kebahagiaan adalah rida Allah Taala, akan menjadikan keseharian mereka penuh dengan ibadah, bukan pemenuhan nafsu dunia semata. Sungguh, jika syariat Islam diterapkan secara kafah (keseluruhan), mampu mewujudkan kebahagiaan (rahmat) bagi seluruh alam. Dalam QS Al-Anbiya: 107, Allah Swt. berfirman,

“Dan Kami tidak mengutus engkau (Muhammad) melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi seluruh alam.”

 

 

Tags: Flexinggaya hidupNor Faizah RahmiPraktisi Pendidikan & Pemerhati RemajaThriftin
ShareTweetShare

Search

No Result
View All Result

Jl. Lingkar Dalam Selatan No. 87 RT. 32 Pekapuran Raya Banjarmasin 70234

  • Redaksi
  • Pedoman Media Siber
  • SOP Perlindungan Wartawan

© 2022 PT. CAHAYA MEDIA UTAMA

No Result
View All Result
  • Headlines
  • Indonesiana
  • Pemprov Kalsel
  • Bank Kalsel
  • DPRD Kalsel
  • Banjarmasin
  • Daerah
    • Martapura
    • Tapin
    • Hulu Sungai Utara
    • Balangan
    • Tabalong
    • Tanah Laut
    • Tanah Bumbu
    • Kotabaru
  • Ekonomi Bisnis
  • Ragam
    • Pentas
    • Sport
    • Lintas
    • Mozaik
    • Opini
    • Foto
  • E-paper

© 2022 PT. CAHAYA MEDIA UTAMA