Oleh: Nor Aniyah, S.Pd (Pemerhati Masalah Sosial dan Generasi.)
Sempat viral seorang tiktokers asal Lampung sempat dilaporkan ke pihak kepolisian oleh seorang advokat Lampung. Hal ini buntut dari unggahan sang tiktokers yang mengkritik infrastruktur jalan di kampung halamannya. Dalam unggahan video berjudul “Alasan Lampung gak maju-maju” tiktokers tersebut menyebut Provinsi Lampung ‘Dajjal’ sebagai provinsi yang tertinggal karena banyak infrastruktur tertinggal, mangkrak, kondisi jalan yang rusak dan banyak jalan yang tambal sulam. Diksi ‘Dajjal’ inilah yang digunakan sebagai delik pelaporan dengan tuntutan menyebar berita hoaks tentang Lampung (republika.co.id).
Lalu ternyata tidak hanya individu tiktokers yang terkena imbas. Keluarganya pun akhirnya diperiksa, sang ayah yang seorang PNS dimintai keterangan dari mana biaya kuliah anaknya di Australia. Postingan di instagram stories @awbimax sang tiktokers menjelaskan bahwa 99 persen biaya kuliahnya diberi oleh sang ibu. Sementara sang ayah hanya PNS golongan biasa.
Tidak aneh jika saat ini masukan dianggap sebagai kritikan dalam konotasi negatif. Sebab, seperti itulah ciri penguasa kapitalisme. Sistem kapitalisme yang hanya mengedepankan untung rugi membuat negara jadi perhitungan dengan rakyatnya. Penguasa juga sangat mudah menjadi anti kritik, dan hal ini adalah realita. Hal tersebut bisa dipahami dari pengesahan UU ITE yang sering dijadikan alat untuk membungkam pengkritik dan menguatkan arogansi penguasa. Padahal sebuah kritikan terlebih yang membangun sejatinya sangat dibutuhkan. Hal tersebut mencerminkan kontrol masyarakat. Terlebih bagi penguasa yang mendapatkan amanah mengurusi rakyat.
Jika disimak fakta-fakta yang, irasionalitas memang kian menggejala. Bagaimana mungkin, rakyat dikejar-kejar untuk membayar pajak, sementara uangnya dibuat untuk memperkaya diri. Juga bagaimana katanya pemimpin yang merakyat, tapi justru menyengsarakan rakyat dengan berbagai kebijakannya. Bagaimana tega pejabat pamer kekayaan sementara rakyat susah cari makan?
Sangatlah berbeda dengan penguasa dalam sistem Khilafah. Ketika menanggapi kritikan dari rakyatnya. Dalam Islam, kritik adalah ajaran Islam yakni upaya amar makruf nahi mungkar yang banyak disinggung di dalam ayat Al-Qur’an, salah satunya dalam surah Ali Imran ayat 110. Aktivitas amar makruf nahi mungkar merupakan salah satu ciri umat terbaik. “Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang makruf dan mencegah dari yang mungkar dan beriman kepada Allah.”
Bahkan dalam hadist Rasulullah Saw, dikatakan bahwa mereka yang melakukan koreksi (muhasabah) kepada penguasa termasuk bagian jihad. Al-Thariq menuturkan sebuah riwayat, “Ada seorang laki-laki mendatangi Rasulullah Saw seraya bertanya, “Jihad apa yang paling utama?” Rasulullah Saw menjawab, “Kalimat hak (kebenaran) yang disampaikan kepada penguasa yang zalim.” (HR. Imam Ahmad).
Dari dalil-dalil tersebut menunjukkan bahwa aktivitas kritik ataupun muhasabah (koreksi) kepada sesama termasuk kepada para penguasa adalah aktivitas yang wajib. Hal ini dilakukan dalam rangka menjaga agar syariat Islam tetap tegak sehingga dapat memberi keberkahan dan kemaslahatan umat bukan untuk kepentingan pribadi atau kelompok.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah dalam kitab al-Fatawa mengatakan, “Wajib bagi setiap orang yang memerintahkan kebaikan dan mengingkari kemungkaran berlaku ikhlas dalam tindakannya dan menyadari bahwa tindakannya tersebut adalah ketaatan kepada Allah. Dia berniat untuk menegakkan kebenaran bukan untuk mencari kedudukan bagi diri dan kelompok tidak pula untuk melecehkan orang lain.”
Batasan muhasabah kepada penguasa adalah pada kebijakan yang diterapkan. Bukan mengkritik, bahkan menghina pribadi penguasa. Sebab, semua yang terkait fisik adalah ciptaan Allah SWT yang tidak boleh dihina. Misalnya, fisiknya hitam, putih, kurus, gemuk, keriting dan sebagainya. Karena itu dalam sistem Khilafah sangat wajar aktivitas kritik atau pun muhasabah (koreksi) terjadi. Bahkan sudah menjadi tradisi sebagaimana yang disampaikan oleh Imam Ghazali dalam kitab Ihya Ulumuddin. Beliau menyatakan tradisi intelektual masa lalu adalah mengoreksi penguasa untuk menerapkan hukum Allah Ta’ala.
Adapun mekanisme, muhasabah dilakukan dari dalam maupun luar kekuasaan. Dari luar kekuasaan, Khilafah memberi fasilitas kepada rakyat untuk menyampaikan aspirasi terkait kebijakan negara melalui Majelis Umat. Fungsi Majelis Umat ini adalah sebagai lembaga untuk menyampaikan aspirasi rakyat kepada negara. Maka dalam Khilafah terdapat Majelis Umat kaum muslimin yang berfungsi untuk melakukan muhasabah atas penunaian hukum syara, pengaturan urusan umat, dan sejenisnya.
Di samping itu, juga ada anggota Majelis Umat yang anggotanya bukan kaum muslimin, yang fungsinya terbatas hanya memberikan muhasabah atas pengaturan urusan umat saja. Adapun muhasabah dari dalam dilakukan oleh Mahkamah Mazhalim yang merupakan salah satu struktur dalam Khilafah. Mahkamah Mazhalim bertugas untuk menghilangkan kezaliman oknum penguasa mulai dari Khalifah sampai pejabat negara terendah.
Salah satu bukti Khilafah menjamin aspirasi rakyatnya ialah ketika masa kepemimpinan Khalifah Umar bin Khaththab. Pada saat itu beliau menerima kritikan seorang wanita terkait pernyataan Umar yang melarang memahalkan mahar. Umar membatasi mahar tidak lebih dari 12 uqiyah atau setara dengan 50 dirham. Wanita tersebut membacakan firman Allah Ta’ala: “Dan jika kamu ingin mengganti istrimu dengan istri yang lain, sedang kamu telah memberikan kepada seseorang di antara mereka harta yang banyak. Maka janganlah kamu mengambil kembali dari padanya barang sedikit pun. Apakah kamu akan mengambilnya kembali dengan jalan tuduhan dusta dan dengan (menanggung) dosa yang nyata?” (QS. An-Nisa’: 20).
Demikian cara Khilafah menanggapi kritikan warganya. Dalam sistem yang shahih ini, kritikan tidak dianggap sebagai beban bahkan menjadi sarana kontrol masyarakat. Namun, di dalam sistem yang batil, kritikan akan dianggap sebagai serangan atas individu yang itu melanggar privasi seseorang.
Alhasil, mengembalikan semua urusan kepada Allah SWT dan Rasul-Nya adalah kewajiban bagi kaum Mukmin. Artinya, Al-Qur’an dan as-Sunnah wajib kita jadikan rujukan kehidupan. Konsekuensinya adalah semua urusan kehidupan wajib diatur dengan syariah Islam. Apalagi urusan yang mengatur kehidupan banyak orang.[]