Jagat dunia maya Indonesia akhir-akhir ini dihebohkan oleh viralnya video TikTok yang mengkritik pemerintah Lampung. Video kritikan tersebut diunggah oleh Bima Yudho, TikToker asal lampung yang sedang mengenyam pendidikan di Australia. Dalam video tersebut, Bima melakukan presentasi online “Alasan Kenapa Provinsi Lampung tidak maju-maju” dalam akun TikTok (@awbimaxreborn) miliknya. Bima mengkritik beberapa hal, mulai dari infrastruktur yang terbatas seperti banyaknya jalan yang rusak hingga Sistem pendidikan yang lemah akibat maraknya kasus suap masuk universitas negeri di Provinsi Lampung. Sontak video Tiktok yang berisi kritikan tersebut menjadi viral di jagat dunia maya Indonesia. Dengan adanya video tersebut mendapat respon yang positif dari Netizen, khususnya Netizen asal Lampung yang membenarkan kritikan yang disampaikan oleh Bima. Video itu juga mendorong Netizen asal lampung turut serta mengkritik pemerintah Provinsi Lampung dengan beramai-ramai mengunggah video yang menunjukan buruknya jalan di Provinsi lampung.
Namun sayangnya, Bima Yudho dalam menyampaikan kritikan pedasnya dengan pembawaan yang “ceplas-ceplos”. Bima menyebut provinsi lampung dengan sebutan “Dajjal” sehingga video tersebut mendapatkankan respon negatif oleh sebagian kalangan, khususnya dari pemerintah lampung. Akibatnya, seorang pengacara bernama Gindha Ansori Wayka melaporkan Bima ke Polda Lampung pada 13 April 2023. Bima diduga telah melanggar pasal 28 Ayat 2 UU ITE terkait ujaran kebencian yang mengandung SARA. Tak hanya itu, melalui pernyataan Bima dalam Instagram pribadinya, orang tua Bima yang bekerja sebagai PNS di Lampung sempat dipanggil oleh Wakil Bupati Lampung Timur. Pada pertemuan tersebut, Wakil Bupati Lampung Timur ditelpon oleh Gubernur Lampung untuk berbicara dengan orang tua Bima. Orang tua Bima mendapatkan intimidasi dari Gubernur Lampung dengan menyebut orang tua Bima tidak bisa mendidik anak.
Penulis berpendapat bahwa respon negatif dari pemerintah Lampung terhadap kritikan Bima dinilai mencederai hak Bima untuk bebas berpendapat. Kebebasan berpendapat (freedom of speech) sudah diatur dalam konstitusi Indonesia dalam Pasal 28 dan Pasal 28E ayat (3) UUD 1945 yang menyatakan setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul dan mengeluarkan pendapat. Berdasarkan pasal tersebut terlihat jelas bahwa kebebasan pendapat merupakan salah satu hak asasi manusia (HAM) yang dijamin oleh konstitusi Indonesia, sehingga negara wajib hadir untuk memenuhi dan melindungi hak tersebut. Selain itu, kebebasan berpendapat juga tertuang dalam UU No.39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. Sehingga, penulis dapat menyimpulkan bahwa secara konstitusional Bima memiliki hak untuk berpendapat, termasuk hak untuk mengkritik dan negara harus menjamin hal tersebut. Argumen penulis ini sejalan dengan pernyataan Menko Polhukam, Mahfud MD yang menyebut Bima memiliki hak konstitusional untuk menyatakan itu (kritikan).
Ditinjau dari perspektif Hubungan Internasional, intimidasi yang didapatkan oleh Bima setelah berpendapat dinilai sebagai suatu pelanggaran HAM. Mengingat hak-hak dasar yang dimiliki Bima sebagai sebuah entitas manusia seutuhnya telah diatur dalam Universal Declaration of Human Rights (UDHR). Dikutip dari laman resmi PBB, UDHR merupakan sebuah dokumen hak asasi manusia (HAM) yang menetapkan hak asasi manusia untuk dilindungi secara universal dan menjadi dasar perjanjian HAM di tingkat global dan regional. UDHR sudah diakui sejak 10 Desember 1948 setelah maraknya terjadi pelanggaran HAM pada Perang dunia kedua. UDHR terdiri dari 30 pasal yang bersifat anjuran bagi setiap negara untuk diadopsi agar terbentuknya kesamaan pandangan setiap negara terhadap Hak Asasi Manusia.
Berdasarkan UDHR, bima memiliki hak bebas berpendapat yang telah diatur dalam Pasal 19 UDHR tentang Kebebasan berpendapat dan berekspresi yang berbunyi “setiap orang berhak atas kebebasan untuk berpendapat dimuka umum dan berekspresi; hak ini termasuk kebebasan untuk memiliki pendapat tanpa gangguan dan untuk mencari, menerima dan menyampaikan informasi dan gagasan melalui media apa pun dan tanpa memandang batas.” Sehingga, dapat disimpulkan bahwa apa yang dialami Bima ini dapat dinilai sebagai suatu tindakan yang menciderai Hak Asasi Manusia yang telah dianjurkan oleh PBB melalui UDHR. Kemudian argumen penulis semakin diperkuat dengan pernyataan John Locke yang menyatakan bahwa semua orang itu diciptakan sama dan memiliki hak-hak alamiah yang tak dapat dilepaskan. Hak alamiah itu meliputi hak atas hidup, hak kemerdekaan, hak milik, dan hak kebahagiaan. Dari pernyataan bapak liberalisme tersebut, dapat ditarik kesimpulan bahwa setiap orang memiliki hak yang sama sebagai sebuah entitas manusia dan hak tersebut tidak bisa dicabut oleh siapapun.
Dalam konteks pelanggaran hak-hak asasi manusia, semua pihak memiliki tanggung jawab moral untuk menjamin dan melindungi setiap hak seorang manusia, termasuk hak kebebasan berpendapat yang dilakukan Bima ini. Penulis melihat Bima mendapat dukungan moral dari Netizen Indonesia yang bersimpati kepadanya, termasuk dari pengacara kondang, Hotman Paris. Melalui postingan Instagram pribadinya, Hotman Paris meminta Bima untuk menghubungi dia untuk menghadapi kasus yang sedang dialaminya. Selain itu, Australia negara tempat Bima mengenyam pendidikan juga memiliki regulasi “protection Visa” dimana memungkinkan Bima untuk mendapatkan perlindungan dari pemerintah Australia sebagai seorang pengungsi. Hal ini dapat dilakukan Bima dengan cara membuktikan kepada pemerintah Australia bahwa ia akan sangat dirugikan dan keselamatan nya akan terancam jika kembali ke negara asal akibat adanya perbedaan Ras, Agama hingga Opini Politik. Namun, menurut pernyataan Bima dalam akun Tiktoknya, ia mengaku belum mau meng-apply visa tersebut.
Dari kasus Bima ini penulis ingin menegaskan bahwa setiap orang memiliki hak untuk berpendapat dan negara harus menjamin serta menjaga hal tersebut agar tidak dilanggar. Membungkam dan mengintimidasi orang yang berpendapat adalah suatu tindakan pelanggaran HAM, baik secara konstitusi Indonesia maupun Deklarasi HAM milik PBB. Oleh sebab itu, kita sebagai masyarakat awam juga harus memiliki tanggung jawab moral untuk memenuhi hak-hak dasar satu sama lain, termasuk hak kebebasan pendapat. Meskipun begitu, berpendapatlah dengan tutur kata yang baik dan benar, bak kata pepatah “Mulutmu Harimaumu”.