OLEH : MASTIKA WATI. SE (Ibu Rumah Tangga dari Batola)
Anggota DPRD Kalimantan Selatan (Kalsel) Athaillah Hasbi atau yang akrab dengan sapaan Bang Atak mensosialisasikan Peraturan Daerah Nomor 11 Tahun 2018 dalam konteks menurunkan “stunting” (terhambatnya pertumbuhan Balita) di provinsinya.
“Karena stunting erat hubungannya dengan pertumbuhan dan perkembangan generasi bangsa,” ujar wakil rakyat kelahiran Barabai (165 kilometer utara Banjarmasin) ibukota Kabupaten Hulu Sungai Tengah (HST) Kalsel itu melalui telepon seluler.
Sosialisasi peraturan daerah (Perda) atau Sosper Kalsel Nomor 11 Tahun 2018 tentang Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (P3A) itu di Desa Mandingin Kecamatan Barabai, 23 Februari lalu.(www.antara.kalsel)
Ada yang berpendapat , tingginya angka pernikahan dini dalam beberapa tahun terakhir dinilai memicu kenaikan jumlah kasus stunting di Kalimantan Selatan.
Hal tersebut disampaikan Kepala BKKBN Kalsel, Ramlan. Ramlan menyebut, pernikahan dini yang dilakukan anak di bawah umur bisa menyebabkan anak lahir dengan gangguan gizi kronis.
Untuk membangun keluarga yang berkualitas dibutuhkan perencanaan yang matang, baik finansial, pengetahuan, hingga usia orang tua yang mapan.
BKKBN Kalsel kini terus melakukan sosialisasi dampak yang ditimbulkan dari pernikahan dini ke masyarakat.
Selain itu, BKKBN Kalsel juga berharap adanya dukungan dari Kantor Urusan Agama dalam mencegah terjadinya pernikahan dini di Kalsel.(Banjarmasin.Duta TV)
Menurut World Health Organization (WHO), stunting adalah gangguan perkembangan pada anak yang disebabkan oleh gizi buruk, infeksi yang berulang, dan simulasi psikososial yang tidak memadai. Apabila seorang anak memiliki tinggi badan lebih dari -2 standar deviasi median pertumbuhan anak yang telah ditetapkan oleh WHO, maka ia dikatakan mengalami stunting.
Masalah stunting di Indonesia adalah ancaman serius yang memerlukan penanganan yang tepat. Berdasarkan data Survei Status Gizi Balita Indonesia (SSGBI) pada tahun 2019, prevelensi stunting di Indonesia mencapai 27,7%. Artinya, sekitar satu dari empat anak balita (lebih dari delapan juta anak) di Indonesia mengalami stunting.
Angka tersebut masih sangat tinggi jika dibandingkan dengan ambang batas yang ditetapkan WHO yaitu 20%.
Dalam upaya penanganan stunting di Indonesia, pemerintah sendiri sudah menargetkan Program Penurunan Stunting menjadi 14% pada tahun 2024 mendatang.
Memenuhi target tersebut merupakan sebuah tantangan besar bagi pemerintah dan rakyat Indonesia. kondisi ekonomi di Indonesia setelah pandemi berlangsung sedang tidak baik-baik saja. Di tengah angka kemiskinan dan pengangguran yang kian meningkat, tak dapat dipungkiri bahwa peningkatan terhadap prevelensi stunting di Indonesia mungkin saja terjadi. Faktor ekonomi keluarga berkaitan erat dengan terjadinya stunting pada anak. Hal ini karena kondisi ekonomi seseorang memengaruhi asupan gizi dan nutrisi yang didapatkannya. Jika dilihat dari latar belakang munculnya kasus stunting, dapat kita tarik garis kesimpulan bahwa stunting disebabkan kurangnya gizi, yang berkait erat dengan kemiskinan.
Hal ini dibuktikan dengan tingginya kasus stunting di negara-negara miskin semisal Afrika. Sedangkan kemiskinan tercipta oleh sistem kapitalisme. Karena dalam sistem ini, ekonomi sebagai basis kesejahteraan dijalankan berdasar hukum rimba, yang kuat menguasai yang lemah. Sehingga yang terjadi, segelintir orang kaya yakni para kapital, menguasai masyarakat luas. Ketergantungan masyarakat pada para kapital (pengusaha) begitu tinggi, lewat upah kerja yang diberikan. Terciptalah disparitas yang begitu tinggi antara si kaya dan si miskin.
Oxfam, sebuah organisasi nirlaba Inggris, melaporkan jumlah miliarder dunia meningkat sebanyak dua kali lipat dalam satu dekade terakhir.
Sementara itu, harta milik 2.153 orang terkaya di dunia jika diakumulasikan, sepadan dengan uang yang dimiliki oleh 4,6 miliar orang termiskin di seluruh negara dunia pada 2019. Di Indonesia, tahun 2017 Oxfam menyebutkan harta total empat orang terkaya di Indonesia, yang tercatat sebesar 25 miliar dolar AS, setara dengan gabungan kekayaan 40% penduduk miskin, atau 100 juta orang termiskin. Dari gambaran ini terlihat jelas bagaimana kapitalisme telah menciptakan kemiskinan secara sistemik.
Adapun solusi stunting dengan perbaikan gizi keluarga dan pendampingan keluarga beresiko sebagaimana diprogramkan oleh BKKBN, nyatanya tidak sejalan dengan realitas di lapangan. Sempitnya lapangan pekerjaan yang tersedia, terlebih di masa pandemi, membuat jutaan keluarga tidak mampu mengakses makanan bergizi.
Kondisi ini diperparah dengan tingginya impor bahan pokok yang membuat harga kebutuhan tidak stabil, cenderung mengikuti permainan pasar.
Di sisi lain, ekspor barang-barang konsumsi tetap berjalan tanpa memprioritaskan kecukupan kebutuhan dalam negeri. Aksi ekspor-impor dimainkan oleh para pengusaha.
Penguasa tidak berbuat banyak untuk mengendalikan, karena tata kelola negara bercorak kapitalisme tentu lebih berpihak pada kepentingan para kapital. Muaranya, masyarakat kembali menjadi korban.
Maka bagaimanapun program penanganan stunting digiatkan, selama kapitalisme masih menjadi sistem kehidupan, stunting takkan mampu terselesaikan. Karena persoalan stunting bukan semata karena kurangnya akses makanan bergizi, melainkan sistem yang menaungi kehidupan itulah yang telah menciptakan kemiskinan sistemik.
Islam Solusi Tuntas Atasi Stunting
Berbeda dengan kapitalisme, Islam justru secara alami mampu menciptakan kesejahteraan. Lewat penerapan ekonomi Islam, meniscayakan pengurusan umat dilakukan secara berkualitas dan maksimal.
Daulah Islam memiliki pos-pos pendapatan yang telah ditetapkan syara’, tersimpan di baitul mal dan dipergunakan sesuai dengan pos-pos pengeluaran dalam rangka memberikan pelayanan pada umat.
Daulah juga tidak akan membiarkan terjadinya monopoli ekonomi oleh segelintir individu.
Karena syariah telah menetapkan sebab-sebab kepemilikan individu, kepemilikan umum dan kepemilikan negara.
Harta milik umum semisal sumber daya alam akan dikelola oleh daulah dan dipergunakan dalam pembiayaan pengurusan masyarakat.
Dengan kuatnya anggaran yang ada, kesejahteraan bukan sesuatu yang sulit untuk diwujudkan.
Adapun impor dan ekspor maka daulah akan melaksanakannya berdasar ketetapan syara terkait jenis komoditi, dengan tetap memprioritaskan kecukupan dalam negeri. Tidak akan menyerahkan aktifitas ini kepada pihak swasta untuk menghindari hal-hal yang dapat merugikan masyarakat.
Islam tidak memandang kesejahteraan dengan tercapainya deretan angka dalam data pendapatan perkapita penduduk, sebagaimana pandangan kapitalisme.
Namun Islam memandang kesejahteraan adalah terpenuhinya kebutuhan dasar individu per individu.
Dari landasan syara inilah, Khalifah sebagai pemimpin daulah akan berusaha keras merealisasikan kesejahteraan bagi seluruh individu masyarakat.
Tercermin dalam kisah mahsyur tentang Khalifah Umar bin Khattab yang memikul dengan kedua tangannya sekarung gandum untuk diberikan pada keluarga wanita miskin yang memasak batu untuk anak-anaknya.
Sang khalifah menolak tawaran dari pengawal untuk sekedar membawakan karung gandum, demi memenuhi kewajibannya meriayah (mengurusi) kebutuhan per individu rakyat.
Maka jelaslah, penerapan sistem Islam lewat sistem ekonominya akan mampu menciptakan kesejahteraan. Masyarakat mendapatkan pelayanan pendidikan, kesehatan juga kebutuhan dasar lainnya hingga ketenangan hidup dapat dirasakan.
Kondisi ini pernah berlangsung saat sistem Islam tegak selama kurang lebih 13 abad. Tentu kita sangat rindu kondisi demikian dapat kita rasakan hari ini.
Menjadi jelas pula, problem stunting yang mendunia hanya bisa diatasi dengan penerapan sistem Islam yang mensejahterakan. Sistem kapitalisme jelas gagal mengatasi stunting, karena justru sistem inilah yang menjadi akar persoalan.
Wallahu a’lam bisshawab