Oleh: Nor Aniyah, S.Pd (Pemerhati Masalah Sosial dan Generasi)
Stunting masih menjadi persoalan serius yang belum terselesaikan. Berbagai ide dilontarkan pemerintah untuk mengatasi problem stunting. Baru-baru ini Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia (Menko PMK) mengatakan bahwa pemerintah daerah perlu terus menggencarkan kampanye untuk mengajak masyarakat gemar makan ikan guna mencegah dan menurunkan prevalensi stunting. Karena itu, katanya kampanye, sosialisasi, dan edukasi yang gencar mengenai manfaat makan ikan dan protein hewani lainnya diharapkan akan meningkatkan pemahaman dan kesadaran masyarakat akan pentingnya pola makan bergizi seimbang untuk mencegah stunting.
Ia juga mengingatkan bahwa titik fokus pencegahan stunting pemenuhan gizi seimbang untuk balita dan ibu hamil. Diketahui prevalensi stunting saat ini berdasarkan Survei Status Gizi Indonesia (SSGI) adalah 21,6 persen (wwwborneonews.co.id). Mirisnya, Ambon yang memiliki potensi ikan yang melimpah malah mencatatkan angka stunting di atas rata-rata nasional (wwwbkkngo.id).
Saat ini beberapa daerah tingkat Provinsi mulai menggencarkan sosialisasi gemar makan ikan kepada masyarakat. Pemerintah Kota Serang melalui Dinas Ketahanan Pangan Pertanian dan Perikanan kota Serang menggelar acara Safari Gerakan Memasyarakatan Makan Ikan (Gemarikan) pada Kamis 9 Maret 2023. Sementara Wakil Gubernur Provinsi Kepulauan Riau mengatakan Indonesia memiliki 96 persen laut, yang di dalamnya banyak ikan. Menurutnya ini adalah potensi yang harus dimanfaatkan untuk mewujudkan generasi sehat dan cerdas (antaranews.com).
Sungguh miris, di tengah seruan gemar makan ikan untuk atasi stunting pemerintah seolah lupa tentang kemiskinan yang terjadi di tengah masyarakat. Jangankan akses mengkonsumsi protein hewani yakni ikan, membeli beras saja sangat sulit mereka wujudkan. Dalam Safari Gemarikan memang tersedia ikan, namun mencegah stunting tidak semudah membalik telapak tangan. Mencegah stunting perlu waktu yang cukup lama dan perbaikan sistematis karena memberikan asupan gizi menuntut kemudahan dalam mengakses makanan bergizi termasuk ikan.
Sementara pada saat yang sama, kondisi masyarakat yang mengalami stunting masih jauh dari kesejahteraan. Jangankan untuk memenuhi gizi seimbang, untuk makan sehari-hari saja belum tentu mampu. Badan Pusat Statistik mencatat tingkat kemiskinan Indonesia per September 2022 sebesar 9,57 % atau sebanyak 26,36 juta orang. Mereka hidup di bawah garis kemiskinan dengan pendapatan kurang dari 535,547.00 rupiah per kapita per bulan.
Oleh karena itu, seruan dalam bentuk apapun untuk perbaikan gizi masyarakat tidak akan pernah menyelesaikan masalah stunting selama problem kemiskinan tidak diselesaikan. Sementara kemiskinan struktural adalah perkara yang mutlak terjadi dalam penerapan sistem ekonomi kapitalis dan sistem politik demokrasi sebagaimana yang berlaku di negeri ini. Sistem ekonomi kapitalisme yang berorientasi pada materi, yakni untung rugi sangat diskriminatif karena pro pada kepentingan modal sedangkan rakyat hanya dianggap beban dan faktor produksi. Dan rakyat menjadi sasaran empuk untuk dijadikan sapi perah. Adapun penerapan sistem demokrasi telah menjadikan pemerintah hanya berperan sebagai regulator untuk memenuhi seluruh kepentingan pemilik modal yang telah menyokong mereka meraih kursi kekuasaan.
Negeri ini tidak dalam kondisi baik-baik saja. Angka stunting atau gizi buruk pada anak-anak ternyata cukup tinggi. Ini menandakan sebagian masyarakat hidup dalam kondisi jauh dari kecukupan. Kalaulah anak saja dalam kondisi seperti itu, apatah lagi orang tuanya. Sebab, orang tua mana yang tega makan enak jika anak-anak mereka kekurangan makanan bergizi.
Fakta ini sekaligus menjadi gambaran riil bahwa meski pendapatan per kapita tinggi, ternyata itu hanya angka di atas kertas. Tak mungkin angka pendapatan tinggi tapi kekurangan gizi. Angka-angka yang terpublikasi hanyalah angka rata-rata dari akumulasi pendapatan dibagi jumlah penduduk. Makin banyak orang kaya, makin banyak orang yang miskin terkatrol secara angka. Tapi, di lapangan tetap miskin.
Berbeda dengan Islam, Islam tidak memandang problem stunting hanya sebagai angka. Tetapi Islam memandang ini adalah problem yang harus diselesaikan tanpa ada sisa satu orang pun, satu individu anak pun yang tidak mendapatkan hak untuk memiliki asupan gizi sesuai kebutuhannya untuk terpenuhinya kebutuhan dasar mereka, karena Islam menjamin kebutuhan dasar itu harus dipenuhi orang per orang. Bukan hanya proses persentase dan sesuai yang ditargetkan atau yang dianggap sebagai prevalensi standar yang ditoleransi PBB.
Karena sejak angka itu ditemukan ada anak yang tidak terpenuhi gizinya, ada orang yang tidak bisa makan, maka pada saat itu pula Allah SWT memerintahkan kepada keluarganya, tetangganya, pemimpinnya, kepala negaranya atau Khalifahnya untuk mencukupi kebutuhannya. Rasulullah Saw bersabda dalam sebuah hadis riwayat Bukhari, “Tidak dikategorikan sebagai seorang Mukmin kalau ada orang yang lambungnya kenyang sementara masih ada tetangganya yang dalam keadaan lapar ada di sisinya.”
Tentu problem stunting tidak bisa diselesaikan hanya dengan memberikan makan kepada masing-masing orang, karena ini adalah problem yang lahir dari pemberlakuan sistem ekonomi kapitalis. Karena itu, justru hari ini kesadaran kita terhadap bobroknya sistem kapitalisme dan kesadaran pemahaman terhadap bagaimana solusi Islam, akan menjadi kunci lahirnya sebuah solusi tuntas terhadap problem stunting baik yang ada di negeri ini maupun di tingkat global.
Islam dengan berbagai mekanisme yang ada peduli terhadap generasi. Negara menjadikan generasi sebagai calon pemimpin umat sehingga negara menyediakan berbagai macam kebijakan untuk mencetak generasi berkualitas termasuk mencegah terjadinya stunting. Alhasil, hukum-hukum Allah SWT harus diimplementasikan, dan sistem Islam kembali hadir di bumi ini dan sistem ekonomi Islam diberlakukan yang akan menghapus kemiskinan global dan akan menghilang problem stunting global maupun nasional. Allah SWT berfirman dalam Al-Qur’an surah ar-Ruum ayat 41: “Telah tampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia, Allah menghendaki agar mereka merasakan dari (akibat) perbuatan mereka agar mereka kembali (ke jalan yang benar).”[]