Ilustrasi (Foto:mb/web)
Oleh : Baiq Lidia Astuti S.Pd (Pemerhati Masalah Sosial Kemasyarakatan)
Jelang Bulan Puasa ada fenomena yang kerap terjadi yakni kenaikan harga pangan. Lagi dan lagi, sepertinya sudah menjadi tradisi setiap jelang ramadhan dan hari hari besar harga harga kebutuhan pokok terus naik.
Beberapa bahan pangan pokok meningkat harganya karena permintaan yang melonjak. Komoditas pangan tersebut di antaranya adalah cabai, telur, ayam, daging, hingga minyak goreng. Pemerintah juga melakukan monitoring harga pokok pangan tersebut. Kenaikan harga pangan jelang puasa menjadi fase pertama melonjaknya harga pangan setiap tahun menuju Ramadan.
Harga pangan akan naik terus, menurut Ikatan Pedagang Pasar Indonesia (IKAPPI) harga tertingginya akan terjadi selalu pada tiga hari menjelang Puasa.
Fase kedua adalah kenaikan harga pangan menjelang Lebaran, juga karena permintaan yang tinggi. Masyarakat akan berbondong-bondong membeli harga pangan untuk menyambut Hari Raya Lebaran. Kemudian fase ketiga adalah setelah Lebaran. Hal itu terjadi karena pasokan dari petani atau para pedagang minim.
Logika ekonomi kapitalis, permintaan dan penawaran, masa-masa menjelang puasa dan hari raya pasti kebutuhan pokok lebih tinggi, tapi penawaran atau supply barang tidak bertambah banyak. Ketika peningkatan permintaan lebih tinggi dari penawarannya, harganya terdongkrak naik.
Begitulah pemahaman dalam sistem kapitalisme terkait perekonomian. Kondisi seperti ini dianggap sebagai permasalahan ekonomi karena harga ditentukan berdasarkan penawaran dan permintaan terhadap barang tersebut.
Selama ini, ketika harga pangan melambung, maka pemerintah memasok barang untuk memenuhi stok ketersediaan bahan di pasar. Namun sebab lemahnya managemen produksi pangan menyebabkan pemerintah bergantung pada impor pangan. Sungguh ironis, mengingat bahwa potensi lahan di negeri ini begitu besar namun tidak terkelola maksimal.
Di sisi lain aspek distribusi yang juga lemah menyebabkan pedagang besar yang jelas punya modal lebih dengan leluasa menentukan harga komoditas pasar.
Dalam Islam, jika melambungnya harga karena faktor “alami” yang menyebabkan kelangkaan barang, maka di samping umat dituntut bersabar, Islam juga mewajibkan negara untuk mengatasi kelangkaan tersebut dengan mencari suplay dari daerah lain. Jika seluruh wilayah dalam negeri keadaannya sama, maka bisa diselesaikan dengan kebijakan impor dengan masih memperhatikan produk dalam negeri.
Namun jika melambungnya harga disebabkan pelanggaran terhadap hukum-hukum syariah, maka penguasa harus mengatasi agar hal tersebut tidak terjadi. Rasulullah SAW sampai turun sendiri ke pasar untuk melakukan ‘inspeksi’ agar tidak terjadi ghabn (penipuan harga) maupun tadlis (penipuan barang/alat tukar), beliau juga melarang penimbunan (ihtikar).
Selain itu, masalah distribusi juga merupakan hal penting untuk mencegah kelangkaan produk yang dapat memicu terjadinya kenaikan harga pangan. Adapun kebijakan pengendalian supply (penawaran) dan demand (permintaan) dilakukan untuk mengendalikan harga. Hal ini dibantu dengan selalu mengupayakan ketersediaan stok cadangan untuk mengantisipasi terjadinya kelangkaan pangan sedini mungkin baik akibat pengaruh cuaca maupun permainan curang para spekulan.
Inilah cara Islam mengatasi problematika kenaikan harga kebutuhan pokok. Semua itu pernah dilakukan ketika tegaknya islam lebih dari 13 abad lamanya. Seyogianya hanyalah sistem islam yang mampu menyelesaikan semua problematika kehidupan. Yakni bersumber dari Al Qur’an dan As Sunnah yang berasal dari Allah SWT. Oleh karena itu marilah ubah kehidupan rusak ini dengan menerapkan aturan Islam secara kaffah dalam bingkah Khilafah Islam. Wallahu ‘Alam