
Baru-baru ini pemerintah telah mengeluarkan Perppu No. 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja. Undang-Undang Cipta Kerja yang sebelumnya mendapat banyak penolakan oleh masyarakat seakan-akan pemerintah tetap memaksakan untuk menghadirkan Kembali Undang-Undang Cipta Kerja yang sudah mengalami cacat formil. Sejak diundangkannya Perppu pada tanggal 30 Desember 2022 sudah terindikasi telah menghianati dari amanah putusan Mahkamah Konstitusi 91/PUU-XVIII/2020 yang menyatakan bahwa Undang-Undang No. 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja Inkonstitutional bersyarat dan hakim Mahkamah Konstitusi memberi waktu DPR selaku pemilik kewenangan untuk memperbaiki dan diberi waktu selama dua tahun jika selama dua tahun tidak diperbaiki maka Undang-Undang tersebut dinyatakan tidak berlaku.
Hadirnya Perppu ini menurut menteri keuangan Sri Mulyani merupakan sikap pemerintah sebagai langkah antisipatif untuk menghadapi ketidakpastian perekonomian pada tahun 2023, karena di tahun 2023 perekonomian Indonesia diprediksi akan mengalami resesi sehingga Indonesia mengalami ketidak pastian. Maka langkah untuk mengantisipasi terjadinya resesi ekonomi global maka pemerintah hadir untuk mengeluarkan Perppu sebagai bentuk menjamin kepastian hukum serta untuk manjamin kepastian usaha ditengah-tengah masyarakat paska Pandemi Covid-19.
DPR selaku pemilik kekuasaan legislatif seharusnya mampu menyelesaikan Undang-Undang Cipta Kerja sebagai bentuk tindak lanjut dari putusan Mahkamah Konstitusi. Namun justru pemerintah mengeluarkan Perppu yang materi muatannya sama dengan Undang-Undang Cipta Kerja, yang awalnya Mahkamah Konstitusi memberikan kesempatan DPR untuk memperbaiki namun justru pemerintah mengambil sikap dengan mengeluarkan Perppu dengan alasan bahwa ada kegentingan yang memaksa dimana banyaknya infestor asing yang enggan untuk berinfestasi ke Indonesia.
Perppu Sebagai Hukum Tatanegara Darurat
Sebagaimana yang tertuang dalam Pasal 22 Ayat (3) UUD 1945 bahwa Perppu merupakan hak prerogratif Presiden sebagai langkah upaya hukum yang diekeluarkan karena adal hal ihwal kegentingan yang memaksa yang sifatnya subjektif Presiden yang kemudian perppu itu akan di objektifkan oleh DPR dalam pembahasan sidangan paripurna terdekat, lalu apakah Perppu tersebut layak disahkan menjadi undang-undang atau dibatalkan?
Mengenai pemaknaan hal ihwal kegentingan yang memaksa alasan dikeluarkannya Perppu Cipta Kerja ada beberapa indikator yang digunakan Pemerintah untuk mengeluarkan Perppu tersebut (1) adanya pemenuhan hak warga negara atas adanya pekerjaan dan penghidupan yang layak setelah adanya PHK besar-besaran akibat Cocid-19. (2) Penyerapan tenaga kerja yang kurang maksimal serta adanya tantangan krisis ekonomi global yang bisa mengganggu perekonomian nasional. (3) Perlunya penyesuaian berbagai aspek yang mengatur berkaitan dengan cipta kerja. (4) Adanya kebutuhan hukum untuk percepatan cipta kerja. (5) Perlunya terobosan baru serta perlunya kepastian hukum untuk mendapatkan penyelesaian sejumlah permasalahan tumpang tindih perundang-undangan sehingga perlu merampingkan menjadi satu undang-undang dengan menggunakan metode omnibus law. (6) Mahkamah konstitusi telah membatalkan undang-undang Cipta Kerja sebelumnya.
Alasan Perlunya Perppu Dicabut
Ada beberapa alasan yang mendasri kenapa perlunya pencabutan perppu No. 2 Tahun 2022 diantaranya adalah:
1. Perppu tidak mendapatkan persetujuan DPR di Sidang Paripurna sampai di persidangan III Tahun sidang 2022-2023
Sebagaimana yang kita ketahui bahwa Perppu akan berlaku jika Perppu disetujui oleh DPR dalam persidangan paripurna. DPR hanya memiliki dua opsi yaitu menolak atau mengesahkan Perppu menjadi Undang-Undang. Namun yang terjadi adalah sampai tutup masa sidang ke 3 setelah perppu dikeluarkan Presiden dan telah disampaikan kepada DPR pada tanggal 9 Januari 2023 hingga rapat paripurna terkahir tanggal 16 Februari 2023 tidak ada agenda rapat paripurna untuk menyetujui Perppu Cipta Kerja. Sehingga dapat dikatakan bahwa Perppu ini tidak mendapatkan persetujuan oleh DPR.
Maka jika tidak mendapatkan persetujuan DPR maka perppu tersebut harus segera dicabut. Sebagaimana dalam Pasal 22 UUD 1945 yang menyatakan bahwa (1) Dalam hal ihwal kegentingan yang memkasa, Presiden berhak menetapkan peraturan pemerintah sebagai pengganti undang-undang. (2) Peraturan Pemerintah itu harus mendapatkan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat dalam persidangan yang berikut. (3) Jika tidak mendapat persetujuan, maka peraturan pemerintah itu harus dicabut.
2. DPR gagal melaksanakan kekuasaannya sebagai penyeimbang kekuasaan eksekutif (Presiden)
DPR adalah cabang kekuasaan legislatif sebagai penyeimbang kekuatan eksekutif agar eksekutif tidak berkuasa secara berlebihan. DPR yang salah satunya fungsinya sebagai legislasi namun kenyataannya gagal melaksanakannya dengan baik sehingga Undang-Undang Cipta Kerja banyak mendapat penolakan oleh masyarakat sehingga banyak yang menggugat ke Mahkamah Konstitusi. Pengesahan Undang-Undang Cipta Kerja yang proses pembuatannya secara tergesa-gesa dan terburu-buru membuat Undang-Undang Cipta Kerja menjadi cacat formil sebagaimana yang tertuang di putusan Mahkamah Konstitusi.
Sebagaimana teorinya Hans Kelsen salah satu pakar hukum dari Austria yang dikenal dengan teorinya pembagian kekuasaan bahwa alasan dari adanya pembagian tiga cabang kekuasaan yakni eksekutif, legislatif dan yudikatif adalah sebagai penyeimbang dan bentuk kontrol satu dengan lembaga negara yang lainnnya. Keuasaan DPR saat ini di legislatif koalisinya terlalu kuat dan gemuk sehingga tidak bisa menjadi penyeimbang karena eksekutif berada dalam satu partai pemenang di kursi DPR.
3. Menimbulkan ketidakpastian hukum bagi pelaku usaha dan kontraproduktif dengan upaya deregulasi
Ketidakjelasan regulasi mengenai Undang-Undang Cipta Kerja pastinya akan membawa dampak negatif kepada para pelaku usaha. Dengan adanya putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 91/PUU-XVIII/2020 bahwa Undang-Undang No. 11 Tahun 2020 dinyatakan inkonstitutional bersyarat sehingga pemerintah pusat tidak boleh mengambil kebijakan yang strategis sebelum Undang-Undang Cipta Kerja tersebut di perbaiki dalam kurun waktu dua tahun.
Undang-Undang Cipta Kerja ini sebagai bentuk upaya pemerintah dalam menyederhanakan perizinan usaha dalam rangka menarik infestor agar perekonomian Indonesia terus meningkat justru dengan adanya ketidak pastian hukum ini membawa dampak yang negatif terhadap pelaku usaha. Namun yang menjadi permasalahan adalah proses pembuatan Undang-Undang tersebut menyalahi aturan yang ada, misalnya kurangnya partisipasi publik dan membuatnya terlalu terburu-buru sehingga ada beberapa Pasal yang merugikan para kaum buruh. Maka hadirnya Perppu tersebut merupakan masalah baru yang mana Pemerintah enggan untuk menghormati putusan Mahkamah Konstitusi yang menyatakan bahwa Undang-Undang Cipta Kerja tersebut adalah cacat formil (cacat proses pembuatannya).