
“Indonesia terlahir bukan oleh rasa takut akan kelaparan, tetapi dari keberanian memunculkan ide kemerdekaan atas penindasan – kemudian mewujud pada perlawanan terhadap penjajahan”
Belajar dari potret kehidupan di hutan, kita dapat menyaksikan bagaimana hewan merespons ancaman dengan berbagai cara. Ada yang berlari dan sembunyi, beberapa diantaranya berdiri dan melawan. Adapula menanggapi dengan menakjubkan – tidak melakukan keduanya; seperti Harimau, Singa, dan Landak nampaknya tidak merasa bahwa ancaman sebagai bahaya. Sama halnya di dunia manusia konstruksi intelektual, manusia juga memiliki respon berbeda terhadap ancaman ide-ide yang tidak menyenangkan. Beberapa lari dan bersembunyi, lainnya berdiri dan melawan; menyerang dengan keras terhadap semua konsep nan asing bagi mereka. Namun paling tangguh adalah tidak melakukan keduanya – mereka yakin akan kekuatannya dan tidak terancam oleh ide apapun.
Demokrasi Indonesia, dengan acuan dan penekanannya pada nilai-nilai Pancasila; kelihatannya mengandung konsepsi yang dapat menggembleng masyarakat sipil kualitas tertinggi – masyarakat dalam peranan pemikir dengan kemampuan menilai berbagai gagasan tanpa merasa terancam olehnya. Akan tetapi, kita hanya mendapati ironi ketika melihat seluruh bukti dari kecenderungan perilaku secara dominan para pejabat publik. Mereka mengidap ideofobia; ketakutan akan gagasan dan ketidakpercayaan terhadap pemikiran tercerahkan – fenomena tersebut kian melaju cepat dan meningkat drastis.
Tanda-tanda itu datang dari keempat kutub spektrum politik, baik sayap kanan, kiri, kiri-kanan, dan poros tengah sama saja. Publik disuguhkan isi pembicaraan remeh temeh, tidak ada pertarungan gagasan untuk mengentaskan permasalahan dan memajukan negeri. Melainkan pertarungan narasi “merasa paling heroik dan/atau paling terdzalimi” memenuhi telinga masyarakat nan sedang bingung cara mempertahankan dan melangsungkan kehidupannya.
Secara tindakan, para pejabat publik kerap menunjukkan suasana bengis, seperti misalnya kejahatan luar biasa (extraordinary crime) korup sudah ternormalisasi dalam benak publik. Dari koruptor yang dikurangi masa tahanannya karena dinilai baik selama menjabat, korupsi massal hingga pada upaya peniadaan OTT KPK. Nampaknya perlu diperjelas dan dipertegas bahwa korupsi merupakan prediktor epistimologis dari peran pejabat publik yang muncul dengan ketiadaan ide. Seyogyanya ide berfungsi untuk menyatukan ontologi dan aksiologi dalam mengejawantahkan epistimologi peranan seseorang.
Pejabat publik yang hadir dengan ketiadaan ide sudah tentu mengidap penyakit ketakutan terhadap ide. Ketiadaan ide bukan hanya berarti pejabat publik memiliki kualitas pemikiran rendah (bodoh), meskipun memang tidak sedikit pula yang dungu – melainkan ketiadaan ide dalam hal ini lebih cederung pada pengarusutamaan birahi dalam memperoleh jabatan, ketenaran, kekayaan dan mempertahankan tahta keturunan. Konsekuensinya adalah stagnansi perjalanan bangsa, bahkan cenderung terdekadensi. Di usianya beranjak 1 abad dengan kekayaan alam paling melimpah ruah dibandingkan Negara lainnya – Indonesia masih saja memiliki nilai APBN di bawah penghasilan 1 perusahaan nan dikelola oleh Elon Musk.
Perwujudan paling kentara dari politik ideofobia dapat dilihat pada saat ada pihak yang menawarkan konsep baru, sebagai contoh, katakanlah ide berupa “Negara Khilafah” (sebagaimana dialamatkan kepada HTI dan FPI atas pembubarannya) – secara kompak pesohor kutub spektrum politik merasa terganggu terhadap ide demikian dan menyerang dengan keras (politik ideofobia). Sekalipun ide tersebut dinilai bermuatan “buruk” bagi warga Negara – adalah hal yang hampir tidak mungkin akan masyarakat ikuti jika para pemangku kepentingan publik terpatri nilai-nilai Pancasila dalam menjalankan amanat konstitusi.
Potret realitas berlangsung, memperlihatkan bahwa pejabat dengan penyakit ideofobia jauh lebih berbahaya dari pejabat yang anti kritik, bahkan dibandingkan otoriterianis ekstrim sekalipun. Meskipun ketiga bagian tersebut memiliki kemiripan dalam membentuk kepemimpinan bangsa yang tidak menghargai keberanian intelektual dan senantiasa melindungi calon pemikirnya (warga Negara) dari ide-ide relatif buruk. Namun ideofobia mempunyai standing position yang lebih bobrok; mengalami kerancuan gagasan dan tindakan dari filosofis hingga teknis.
Dalam konstruksi Nation State (Negara Bangsa), kran munculnya pejabat publik melalui pemilu. Apakah rakyat akan memilih pejabat publik dengan potensi ideofobia atau tidak – pemilu adalah arena pertarungannya. Dan tentunya, tanda-tanda politikus nan mengidap penyakit ideofobia juga terpatri selama proses pemilu berlangsung.
Pemilu 2024
Di Indonesia, artian kontekstual pemilu dapat dikatakan sebagai simbol atas ruang dan waktu untuk menyaksikan perdebatan calon pejabat publik dan penggunaan kedaulatan rakyat dalam memilih/dipilih. Bukan tanpa alasan, di luar pemilu hampir mustahil kita dapat menyaksikan perdebatan para aktor spektrum politik. Begitu juga dengan kedaulatan rakyat, jika masih berkisar angka 5000-10000 jiwa melakukan demonstrasi penolakan terhadap suatu kebijakan akan cenderung tidak diperhitungkan sebagai kehendak rakyat. Tetapi disaat pemilu, untuk mendapatkan suara sebanyak itu, mereka sedia mengeluarkan anggaran berapapun dan melakukan apapun.
Maka dari itu, sebagai upaya perbaikan, dari tahun ini harus kita maksimalkan untuk mengeliminasi seluruh calon yang tidak layak dalam mengentaskan persoalan dan memajukan negeri. Pengidentifikasian eliminatif calon tidak layak adalah sesiapapun yang mengidap politik ideofobia. Sebelum lebih jauh, ada penafian yang perlu digarisbawahi bahwa calon/parpol/gabungan parpol yang melakukan “Call for Ideas” maupun sayembara gagasan dari publik terkait pemilu 2024 – bukan berarti mereka politikus yang tidak mengidap ideofobia. Mungkin saja mereka hanya sebagai muadzin ide dan imamnya tetaplah oligarki.
Menarik kembali bahasan politikus ideofobia, penulis menyusun empat karakteristik politikus nan mengidap ideofobia yang dapat dilihat saat berkampanye. Adapun keempat poin tersebut terdiri dari: membawakan narasi yang sudah menjadi kewajiban konstitusional; menggemborkan narasi keturunan dari para pahlawan; pembentukan buzzer dan aktivasi premanisme politik; serta melakukan money politik.
Pertama, publik kerap disuguhkan narasi heroik untuk mencerdaskan kehidupan bangsa, mensejahterakan rakyat, serta menjaga keamanan masyarakat dan Negara yang dikemas dengan susunan kalimat lain oleh para politikus kala berkampanye. Sejatinya narasi tersebut adalah kewajiban konstitusional – tidak perlu diobralkan. Pasalnya, aksiologi dari pembentukan Negara Republik Indonesia sebagaimana termaktub di alinea keempat pembukaan UUD 1945 harus menjadi ontologi bagi setiap calon pejabat publik pada setiap kali pemilu. Kemudian ide tersebut harus mewujud pada ranah epistimologi – menyambungkan ontologi dengan aksiologi. Titik bias tersebut memang sukar dipahami masyarakat kita sehingga membuat narasi demikian tetap laris. Akan tetapi, siapapun yang masih menyuguhkan narasi tersebut adalah pertanda bahwa kehadirannya dengan ketiadaan ide.
Kedua, menggemborkan narasi keturunan pahlawan; tidak sedikit politikus kontemporer hanya memanfaatkan keharuman nama pendahulu untuk menarik simpati dan dukungan politik dari publik. Politikus cenderung tidak hanya hadir dengan ketiadaan ide, melaikan pengejawantahan kontekstual dari ideasional-konstitusi pun tidak ada. Ketiga, penggunaan buzzer dan aktivasi premanisme politik biasanya untuk membungkam, memperburuk citra lawan politik dan/atau melakukan playing victim dalam memperoleh dukungan politik lebih banyak. Politikus pada bagian ini membentuk buzzer dari dunia maya dan aktivasi premanisme politik yang biasanya menggunakan ormas paramiliter. Keempat, melakukan money politik; politikus mengkonversi per suara dengan uang.
Demikian daripada itu, jika pembaca bertemu dengan politikus kala berkampanye dan mengandung salah satu maupun keempat karaktersitik ideofobia tersebut, maka eliminasilah dengan penuh semangat dan keberanian tak tersurutkan. Negeri ini butuh Pemimpin dari para pemimpin, bukan pemimpin yang terpimpin. Sebagai penutup, ingatlah bahwa Indonesia terlahir bukan oleh rasa takut akan penjajahan, tetapi dari keberanian memunculkan ide kemerdekaan atas penindasan.