
Prof. Osman Raliby dan Ali Moertopo
Saya pernah membaca riwayat dari seoarang Prof. Osman Raliby yang merupakan dosen dari mata kuliah Propaganda Politik dan Perang Urat Saraf. Sangat menarik sekali mata kuliah yang diajarinya kepada mahasiswa ilmu politik. Tak hanya sebatas dosen, sebagai politisi Prof. Osman Raliby juga memiliki pengaruh besar dalam kancah perpolitikan Indonesia terlihat pada masa Orde Lama dan Orde Baru.
Bahkan siapa sangka, Ali Moertopo yang merupakan “Raja Intel” orang keprcayaan Soerharto sejak menjadi Presiden Republik Indonesia adalah murid dari Prof. Osman Raliby. Artinya ilmu politik yang dimiliki oleh Ali Maoertopo sehingga menjadi orang kepercayaan Soeharto dalam urusan politik tak lepas dari pendistribusian ilmu yang di berikan oleh Prof. Osman Raliby.
Tak lepas dari situ, Ali Moertopo yang sangat lincah membangun narasi propaganda politik membuat stabilitas politik pada masa Orde Baru tak lepas dari kendali seoarang Ali Moertopo. Tak hanya itu, kelihaian dalam membangun narasi politik dan juga seorang “Raja Intel” membuat gentar lawan-lawan politik Soeharto pada saat itu. Banyak urusan politik yang di serahkan Soeharto kepada Ali Moertopo berhasil dituntaskan.
Tak gentar sedikitpun segala organisasi dan partai politik di masa Orde Baru ada di bawah pengawasan Moertopo dan sepenuhnya sejalan dengan kehendak Soeharto. Bahkan Soeharto juga mempercayakan penggalangan dukungan politik kepada sosok seorang Moertopo. Artinya kekuatan Soerharto pada saat itu tak lepas dari kelihaian dan peran seoarang “Raja Intel” yang dimiliki Soeharto tersebut. Namun, jika kita melihat lebih jauh kebelakang, ilmu yang dijalankan oleh Ali Moertopo tak lepas dari pendistribusian ilmu yang diberikan oleh Prof. Osaman Raliby.
Propaganda Politik Era Sekarang
Sekilas dari cerita Prof. Osman Raliby dan Ali Moertopo, jika kita bergesar di era sekarang propaganda politik dan perang urat saraf sudah menjadi suatu alat politik yang besar dalam mewujudkan keinginan politik. Sekarang kita sudah mengetahui lebih jauh propaganda politik yang sering bermunculan sekarang sangat dikendalikan oleh penguasa. Tak jarang banyak sekali drama politik yang dibangun pemerintah bahkan mendekat Pemilihan Umum (Pemilu) 2024 mendatang.
Propaganda politik era sekarang menjadi senjata kuat pemerintah dalam mengelola kondusivitas pemerintahan. Bahkan serangan-serangan politik yang diluncurkan oleh berbagai pihak oposisi hanya di bentengi dengan narasi politik yang di bangun pemerintah. Artinya tak mudah semua pihak oposisi ingin menjatuhkan pemerintahan sekarang. Banyak kepentingan politik yang dilakukan pemerintah, jikalau mendapat pertentangan dari masyarakat, pemerintah hanya menjalankan propaganda politik untuk menstabilkan keadaan.
Banyak sekali contohnya mulai dari demonstrasi aksi mahasiswa 11 April 2022 tentang wacana pengunduran pemilu dan perpanjangan masa jabatan presiden. Pada saat itu terjadi pengeroyokan terhadap Ade Armando, banyak mayarakat beramsumsi bahwa kejadian tersebut merupakan pengalihan isu yang dilakukan oleh Pemerintah. Tak hanya soal demo saja, bahkan dalam situasi politik yang memanas sebelum pemilu 2024, Presiden Joko Widodo mengeluarkan statmant mengenai kriteria presiden penggantinya.
Artinya melihat kondisi tersebut, propaganda politik yang dimiainkan oleh pemerintah menjadi alat pembungkaman terhadap negara yang menganut sistem demokrasi ini. Demokrasi Indonesia sekarang sering di manipulatifkan dengan narasi propaganda yang menggiring opini publik demi mewujudkan kepentingan-kepentingan politik oligarki tersebut. Sekarang, bisa saja kita lihat propaganda politik mana yang gagal dimainkan oleh pemerintah? Tidak ada sama sekali!
Penulis tidak menyesalkan pemerintah melakukan propaganda politik, tidak ada yang salah dalam melakukan propaganda. Namun, dalam konteks dan korelasinya terselip kepentingan oligarki. Dan inilah yang sangat mengkhawatirkan demokrasi bisa terjebak dan terbelenggu ditengah terjangan propaganda tersebut. Masyarakat tidak bisa lagi mencari celah untuk menuaikan aspirasi karena sudah terkunci dengan narasi politik yang dibangun pemerintah. Artinya propaganda yang dimainkan sekarang bisa saja tidak ada kelompok elite yang menentanginya. Karena apa?, penulis melihat semuanya sudah mendapat jatah masih-masih sebagai asupan tutup mulut para penguasa.
Apalagi ditahun politik ini, peran dari propaganda politik sangat penting dan itu hanya bisa dimainkan oleh penguasa, sehingga terkunci jalan gerak dalam demokrasi tersebut. Contoh saja beberapa waktu lalu Presiden Joko Widodo menyebut kriteria pemimpin yang bekerja untuk rakyat rambutnya putih dan keningnya berkerut. Dalam ilmu politik, ucapan dari seorang presiden menjadi representatif dari semua golongan. Artinya presiden tengah membangun propaganda politik yang menitik beratkan calon penggantinya kelak ialah seseorang yang berambut putih dan kening berkerut, secara tidak langsung Presiden Joko Widodo telah mengkampanyekan tokoh-tokoh yang memenuhi kriteria tersebut.
Nah, disinilah perang urat saraf mulai bermunculan, banyak tokoh elite politik mulai berbicara dan banyak pula berbagai pihak berkomentar mengenai statmant seorang kepala negara tersebut. perang urat saraf sangat tidak efektif ketika hanya berdebat dari propaganda yang dibangun oleh presiden. Artinya kita semua sudah terjebak dari narasi kontradiktif tersebut. Sehingga produktivitas akal pikiran menjadi kaku hanya membahas narasi yang disampaikan presiden. Sangat disesalkan sekali tidak ada propaganda politik yang membangun semangat nasionalis, Semua hanya terjebak dalam perbincangan narasi “omong kosong”.
Ancaman Propaganda Politik di Tahun Politik
Penulis sangat prihatin dengan kondisi Indonesia sekarang yang secara sistem sangat domokratis namun realitanya semua dibungkam dengan segala bentuk propaganda politik. Kita melihat bagaimana kelihaian Ali Moertopo bisa menggalangkan dukungan politik untuk Soeharto dan mengendalikan segala organisasi dan partai politik. Tapi nyatanya waktu itu memang benar demokrasi dijalankan, tapi tak obah seperti demokrasi terkekang, semuanya kehendak presiden.
Namun sekarang seharusnya tidak bisa seperti itu lagi, zaman sudah berubah dan kualitas sumber daya manusia pun sudah mulai maju. Artinya pembodohan narasi politik tidak bisa lagi dilakukan saat sekarang. Tapi nyatanya realita menjelaskan propaganda politik di negara demokrasi indonesa suda menjadi alat untuk mengendalikan semua masyarakat dan semua pihak. Tak sedikit semua menteri-menteri sudah bermain media sosial bahkan presiden pun sangat aktif bermain media sosial.
Jika kita pandang dalam perspektif Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (IMPTEK) itu bukanlah hal mustahil, dan ini merupakan tuntutan zaman dan harus mengkuti. Tapi yang sangat menyangkan jika presiden mengambil langkah politik dan dibangun narasi publik semua giringan opini sudah terpaku ke satu objek. Dan artinya terjadi pembatasan berjalannya demokrasi, bahkan bisa saja demokrasi terbungkam dengan propaganda politik tersebut.
Dan lucunya perdebatan demi perdebatan dilakukan bahkan memicu perang urat syaraf yang tidak menghasilkan solutif. Dan kita hanya dimainkan dalam sebuah sistem dan sistem itu dikendalikan oleh penguasa, sangat prihatin sekali. Dan propaganda yang sering dimainkan oleh pemerintahan Joko Widodo ini sangat mengancam demokrasi apalagi sudah menyangkut mengenai Pemilihan Umum (Pemilu) 2024 nanti.
Hal ini terlihat dalam narasi publik mengenai hubungan Joko Widodo yang tidak baik dengan Ketua Umum Parti NasDem Surya Paloh, Ganjar Pranowo yang tidak mendapat restu calon presiden dari PDIP, gagalnya koalisi Perubahan, mencuat Koalisi Indonesia Bersatu (KIB) merupakan bentukan Joko Widodo sebagai kendaraan Ganjar Pranowo untuk calon presiden dan masih banyak lagi.
Propaganda politik inilah yang kita perdebatkan saat sekarang, dan kita sebagai masyarakat tidak mendapat kebebasan dalam menilai siapa calon yang cocok untuk memimpin Indonesia kedepan. Dan disini terlihat jelas propaganda politik sangat mengancam demokrasi Indonesia. Terakhir harapan penulis semoga tulisan ini menjadi bahan renungan bagi kita untuk bangkit, jangan sampai kita dibodohi oleh kelompok oligarki tersebut. semoga!