Presiden Joko Widodo menerbitkan Intruksi Presiden Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 2022 tentang Penggunaan Kendaraan Bermotor Listrik Berbasis Baterai (Battery Electric Vehicle) sebagai Kendaraan Dinas Operasional dan/atau Kendaraan Perorangan Dinas Instansi Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah. Inpres ini mengatur peralihan penggunaan kendaraan dinas instansi pemerintahan dari kendaraan konvensional menjadi kendaraan listrik. Pemerintah juga berencana untuk melakukan peralihan dari penggunaan kompor gas menjadi kompor listrik. Hal ini merupakan strategi pemerintah dalam mengurangi emisi karbon hasil dari pembakaran bahan bakar fosil, namun apakah pemerintah menyadari dari mana sumber daya listrik dihasilkan? Batu bara, juga bahan bakar fosil.
Banyak negara di dunia yang kini tidak lagi menggunakan batu bara sebagai sumber energi dengan alasan utama mengkhawatirkan kondisi lingkungan. Sayangnya, meskipun banyak negara di dunia mengurangi penggunaan batu bara, Asia Tenggara, termasuk Indonesia, justru menaikkan konsumsi batu bara. Alasan pemerintah Indonesia tetap menggunakan batu bara, terlepas dari dampak negatifnya, tidak lain adalah karena biayanya yang relatif “murah”. Dikutip dari CNN Indonesia menyebutkan bahwa batu bara dimanfaatkan untuk kehidupan sehari-hari, yaitu menjadi bahan bakar transportasi, menghasilkan produk gas, membantu sektor industri dan pertanian, serta sebagai bahan bakar pembangkit listrik.
Indonesia masih memiliki ketergantungan yang tinggi pada produksi listrik dari Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) dengan berbahan bakar batu bara. Pengamat Kelistrikan yang juga Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR), Fabby Tumiwa menyampaikan bahwa dengan adanya kendala pasokan batu bara, menunjukan bahwa Indonesia masih bergantung kepada batu bara. Fabby mencatat, dengan porsi bauran batu bara pada PLTU mencapai 65% dari total kapasitas pembangkit. Hal ini dinilai tidak ramah lingkungan karena proses PLTU menghasilkan asap yang cukup besar, dimana asap tersebut menciptakan polusi udara yang mengganggu lingkungan sekitarnya. Akibatnya PLTU dinilai tidak ramah lingkungan. Sehingga jika penggunaan mobil listrik semakin banyak, maka konsumsi listrik juga semakin besar. Akhirnya hal ini sama saja dengan menghasilkan lebih banyak emisi karbon dan tentunya berdampak pada pemanasan global, ditambah dengan kemungkinan cuaca ekstrim di suatu wilayah tertentu.
Salah satu tujuan pemerintah dalam melakukan kebijakan peralihan penggunaan kendaraan dinas instansi pemerintahan dari kendaraan konvensional menjadi kendaraan listrik merupakan salah satu upaya dalam mengurangi emisi karbon di udara, dimana pemerintah Indonesia telah berkomitmen untuk menurunkan emisi sekitar 880 juta ton karbon dioksida (CO2) pada tahun 2030. Hal tersebut akan mudah direalisasikan jika sumber energi listrik Indonesia berasal dari energi terbarukan, dimana proses pengecasan mobil listrik memakan waktu setidaknya 17 jam agar terisi penuh. Memang saat ini Indonesia memiliki Energi Baru Terbarukan (EBT), yaitu sumber energi yang tersedia oleh alam dan bisa dimanfaatkan secara terus-menerus. Namun EBT hanya mampu memproduksi sebesar 3.686 Giga Watt (GW), dibandingkan PLTU yang mendominasi yaitu sebesar 34.668 Mega Watt (MW). Senior Manager Corporate Ratings Division Pefindo, Martin Pandiangan menyatakan PLTU di Indonesia menyumbang lebih besar lagi sekitar 61 persen. Sedangkan di segmen EBT, PLTA hanya menyumbang 5 persen dan PLTP hanya sekitar 2 persen dari produksi listrik dalam negeri. Dari data ini terlihat bahwa Indonesia masih memiliki ketergantungan yang tinggi pada produksi listrik dari PLTU yang berbahan bakar fosil. Sementara pembangkit listrik EBT belum dapat diandalkan untuk menghasilkan listrik. Sehingga sama saja dengan Indonesia memproduksi banyak emisi karbon.
Selain permasalahan sumber energi mobil listrik, muncul pula permasalahan pada baterai mobil listrik. Komponen utama yang digunakan baterai mobil listrik berjenis lithium-ion. Baterai jenis ini diklaim unggul dari sisi usia pakai hingga proses pengecasan yang lebih cepat, namun juga memiliki risiko yang cukup besar. Disebutkan oleh Perekayasa Balai Besar Teknologi Konversi Energi Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), bahwa baterai yang digunakan untuk kendaraan listrik memiliki senyawa yang sangat berbahaya karena sangat sensitif terhadap tegangan dari peralatan maupun suhu sekitar.
Dijelaskan pula bahwa satu paket baterai listrik membutuhkan ratusan hingga ribuan sel dan memiliki keterkaitan satu sama lain, sehingga jika satu sel saja bermasalah, maka dengan otomatis akan menjalar ke semua sel. Hal ini sangat membahayakan kendaraan listrik karena bisa menyebabkan kebakaran atau bahkan hingga meledakkan mobil. Berbagai kasus kendaraan listrik terbakar tanpa sebab yang terjadi saat kendaraan sedang terparkir atau sedang masa pengisian baterai merupakan hal yang biasa terjadi diluar negeri. Kejadian tersebut dipengaruhi oleh temperatur yang panas. Disamping itu dilaporkan oleh BMKG, suhu maksimum Indonesia selama periode 1 – 7 Mei 2022 berkisar antara 33 – 36,1 derajat Celcius. Masih yakin dengan penggunaan mobil listrik di Indonesia?
Selain dengan bahaya baterai mobil listrik, limbah mobil listrik tidak kalah berbahaya bagi lingkungan. Limbah baterai termasuk limbah B3 (Bahan Berbahaya & Beracun). Kandungan logam berat di dalam baterai seperti kobalt, kadmium, lithium, mangan, timbal, dan nikel dapat mencemari lingkungan dan berbahaya untuk kesehatan manusia. Memang banyak inovasi yang dilakukan dalam mendaur ulang limbah baterai, namun sekalipun sudah didaur ulang, limbah baterai masih berpotensi menghasilkan air limbah dan emisi, karena baterai lithum terdiri dari casing, anoda, katoda, separator, elektrolit dan kompenen beracun lainnya. Masih bisa dikatakan ramah lingkungan kah mobil listrik?
Dibandingkan dengan mengalihkan penggunaan kendaraan dinas instansi pemerintahan dari kendaraan konvensional menjadi kendaraan listrik lebih baik subsidi yang disediakan digunakan untuk memperbaiki transportasi umum. Salah satu upaya yang paling memungkinkan untuk Indonesia dalam mengurangi emisi karbon yaitu dengan mengembangkan transportasi umum. Selain transportasi umum bermanfaat dalam mengurangi emisi karbon, penggunaan transportasi umum juga berdampak baik dalam mengurangi kemacetan. Namun saat ini masyarakat malas menggunakan transportasi umum, dengan alasan klasik yaitu fasilitas ruang publik yang tidak memberikan rasa aman dan nyaman. Sehingga diperlukan peran lebih dari pemerintah untuk memperbaiki fasilitas transportasi umum agar masyarakat memiliki ketertarikan untuk menaiki transportasi umum. Sehingga menjadikan Indonesia yang bersih dan sehat lebih mudah dicapai.