JAKARTA – Mantan Kadiv Propam Polri Ferdy Sambo mengaku penderitaannya bermula dari peristiwa pelecehan seksual oleh Nofriansyah Yosua Hutabarat alias Brigadir J terhadap istrinya, Putri Candrawathi saat berada di Magelang, Jawa Tengah pada 7 Juli 2022.
Hal itu disampaikan Sambo dalam sidang dengan agenda pembacaan nota pembelaan atau pleidoi di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Selasa (24/1), seperti dikutip cnnindonesia.com.
Setibanya dari Magelang pada 8 Juli lalu, Putri menyampaikan dirinya telah diperkosa oleh Brigadir J sehari sebelumnya di rumah Magelang.
Sambo menyebut Putri terus menangis tersedu-sedu sambil menceritakan bagaimana kejadian yang telah dialaminya tersebut.
Mendengar cerita itu, Sambo pun merasa harkat dan martabatnya telah diinjak-injak oleh Brigadir J yang merupakan ajudan pribadinya.
“Tidak ada kata-kata yang dapat saya ungkapkan saat itu, dunia serasa berhenti berputar, darah saya mendidih, hati saya bergejolak, otak saya kusut membayangkan semua cerita itu,” ujar Sambo.
“Membayangkan harkat dan martabat saya sebagai seorang laki-laki, seorang suami yang telah diempaskan dan diinjak-injak, juga membayangkan bagaimana kami harus menghadapi ini, menjelaskannya di hadapan wajah anak-anak kami, juga bertemu para anggota bawahan dan semua kolega kami,” sambungnya.
Dalam pembicaraan yang terasa dingin dan singkat tersebut, kata dia, Putri Candrawathi mengiba agar aib yang menimpa keluarganya itu tidak disampaikan kepada orang lain lantaran merasa malu dan tak sanggup menatap wajah orang lain yang mengetahui bahwa ia telah dinodai.
Putri lantas meminta agar permasalahan tersebut diselesaikan secara baik-baik. Karena, sebelumnya ia juga telah menyampaikan langsung kepada Brigadir J agar dia resign dari pekerjaannya sebagai ADC di rumah Sambo.
“Permintaan yang kemudian saya ikuti, lantas saya memintanya masuk ke dalam kamar sementara saya berdiam diri di ruang keluarga dengan hati dan pikiran yang kacau berantakan,” kata Sambo.
Dalam sidang tuntutan pekan lalu jaksa penuntut umum (JPU) menyebut peristiwa yang terjadi di Magelang adalah perselingkuhan antara Putri Candrawathi dengan Yosua. Tuntutan jaksa itu sekaligus menepis klaim para terdakwa bahwa Putri diperkosa oleh Yosua.
Klaim Putri diperkosa oleh Yosua digunakan oleh para terdakwa, terutama Sambo, sebagai dasar untuk menghabisi nyawa Yosua. Sambo dalam pleidoinya juga mengaku menyesal atas hilangnya nyawa Brigadir J. Ia pun meminta maaf kepada Presiden Joko Widodo (Jokowi) dan Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo.
Tak hanya penyesalan, rasa bersalah pun menyelimuti Sambo setiap waktu.
“Sungguh setiap waktu rasa bersalah dalam diri saya tidak pernah berhenti, penyesalan mendalam atas timbulnya korban Yosua, atas luka bagi keluarga yang ditinggalkan,” kata Sambo.
Penyesalan dan rasa bersalah itu semakin terasa karena istrinya, Putri Candrawathi harus menderita untuk kedua kalinya lantaran tanpa dasar beserta bukti telah dijadikan tersangka yang menurutnyatelah mengalami pelecehan seksual oleh Brigadir J.
“Tidak bisa saya bayangkan bagaimana hancur dan sakit perasaannya, kiranya Tuhan sajalah yang selalu menguatkan dan menghiburnya,” ujarnya.
Sambo juga mengaku menyesal peristiwa pembunuhan terhadap Brigadir J telah menyeret orang-orang yang tak terlibat dan tidak bersalah ke dalam ruang persidangan pidana. Bahkan, mereka dituntut atas perbuatan dan kesalahan yang tidak mereka ketahui.
“Penyesalan yang teramat dalam juga terhadap Kuat Maruf, dan Ricky Rizal sebagai orang-orang yang baik yang telah didudukan sebagai terdakwa tanpa tau apa kesalahannya, juga terhadap Richard Elizer yang harus menghadapi situasi ini,” ucap Sambo.
Ratapi Nasib
Sambo mengaku kerap meratapi nasibnya di balik jeruji besi Bareskrim Polri.
Sambo mengatakan telah mendekam di dalam tahanan selama 165 hari. Usai berada di balik jeruji besi, Sambo kehilangan kemerdekaan hidup yang selama ini ia nikmati.
Buntut perkara yang menjeratnya, Sambo pun kehilangan berbagai fasilitas, kehangatan keluarga, sahabat, dan saudara.
“Semua hakikat kebahagiaan dalam kehidupan manusia yang sebelumnya saya rasakan sunguh telah sirna berganti menjadi suram, sepi, dan gelap,” ucap Sambo.
Di balik jeruji besi, Sambo mengaku kerap merenungi betapa rapuhnya kehidupan dia sebagai manusia. Ia tak pernah membayangkan kehidupannya yang semula begitu terhormat kini berubah menjadi nestapa.
“Di dalam jeruji tahanan yang sempit saya terus merenungi betapa rapuhnya kehidupan saya sebagai manusia, tak pernah terbayangkan jika sebelumnya kehidupan saya yang begitu terhormat dalam sekejap terperosok dalam nestapa dan kesulitan yang tidak terperikan,” kata Sambo.
“Demikianlah penyesalan kerap tiba belakangan, tertinggal oleh amarah dan murka yang mendahului,” imbuhnya.
Seperti diketehui, Ferdy Sambo dituntut jaksa penuntut umum (JPU) dengan hukuman seumur hidup, karena dinilai bersalah dalam kasus pembunuhan terhadap ajudanya, Brigadir J. web