“Realitas perpolitikan Republik ini cenderung mengubah masa lalu dari sejarah figur, kemudian kehilangan daya untuk mengubah masa depan bangsa dari sejarahnya yang kelam”
Secara terminologi, merujuk dari KBBI, intoksikasi di definisikan sebagai kemabukan dan pemabukan dalam kelas kata benda. Namun dalam kelas kata kerja, intoksikasi diartikan sebagai keracunan. Ketika dikontekstualisasikan dengan politik, maka intoksikasi penulis artikulasikan sebagai suatu kondisi atas politisi nan mengalami kemabukan hirarki dan keracunan birahi.
Potret dari realitas perpolitikan negeri kita tidak dapat dimungkiri bahwa para aktornya sedang mengalami kemabukan dan/atau pemabukan kekuasaan serta keracunan birahi secara kronis. Termanifestasi dalam fakta-fakta berwujud korup, nepotis, kebijakan tidak pro rakyat, politik dinasti, multi-fungsi ABRI pada struktural pemeritahan, gangster politik dan lainnya yang ternormalisasi dalam tubuh masyarakat sipil.
Jebakan beracun tersebut menyerupai banyak bentuk kecanduan. Kecanduan zat, misalnya, dipahami sebagai masalah bio-psikososial-struktural. Artinya, seiring berjalannya waktu, daya pikat dan keuletannya datang dari kombinasi kondisi fisiologis, psikologis, relasional, dan lingkungan yang menyelaraskan dan mengobarkan satu sama lain hingga terasa mustahil untuk lepas. Seolah-olah kondisi demikian merupakan political sirkular (politik berkelanjutan) “amanat konstitusi”.
Tampaknya, di setiap tingkat pemerintahan, “para pejabat pun berpanji untuk membeli semua orang hanya untuk meninggalkan kohesi daulat rakyat dengan gelas kosong” – legislator dengan senang hati menjanjikan undang-undang transformatif tetapi jarang menindaklanjutinya secara demokratis dan eksekutor dengan murah hati menjanjikan langkah revolusioner-progressif kemajuan bangsa tetapi ujung pisaunya mengarah pada masyarakat.
Jelas bahwa politik demokrasi kita tersandung pada efek menyedihkan dari “tangan-tangan bejat” yang dengan giat memperbesar birahi. Konsekuensi logisnya adalah dibutuhkan stimulan politik – perubahan struktural; pembebasan stakeholders dan birokrasi dari seteguk kekuasaan memabukkan. Mengarahkan para pemangku kepentingan publik kembali berjalan di jalur konstitusional – memakmurkan masyarakat dan memajukan negara. Peralihan dari depresan ke stimulan dapat mempercepat perubahan jalannya pemerintahan ke arah positif.
Demokrasi Keracunan Politik Birahi
Demokrasi yang keracunan politik birahi menimbulkan penyakit pada reseptor muskarinik Negara dalam keadaan berjalan. Kelenjar keringat dalam sistem saraf simpatik menjadi terlalu terstimulasi dan menyebabkan beban Negara membengkak. Perubahan konformasi secara kemudian membuat enzim kebal terhadap pengaktifan kembali sehingga membuat beberapa pilihan perawatan menjadi tidak berguna.
Kondisi ini adalah potret terburuk dari semua bencana dalam Negara bangsa kita – berimplikasi pada suatu masalah yang menjamin semua masalah negeri akan gagal diselesaikan. Selama politik birahi, institusi kita tidak dapat dipercaya lagi, hanya karena kita tidak saling percaya untuk melakukan apa yang benar bagi rakyat dan bangsa kita.
Demokrasi keracunan politik birahi jauh lebih berbahaya dibandingkan otoriterian yang sehat – betapapun bengisnya stakeholders memerintah. Di mana, rakyat hidup secara mau tidak mau dalam ilusi – bebas bersuara menyuarakan kritik, saran dan keluhan namun tidak akan mengubah satu pun kebijakan yang masyarakat anggap kontra terhadap dirinya. Fenomena tersebut diperhalus oleh para akademisi dan peneliti dengan istilah flawed democracy (demokrasi cacat) dan unconsolidated democracy (demokrasi yang rentan) nan merujuk pada maraknya praktik-praktik despotisme dan populisme berwajah janus.
Mengeluarkan Negara bangsa Republik Indonesia dari dua patologi fundamental di atas – mabuk kekuasaan dan keracunan politik birahi hampir mustahil dapat dilakukan dalam waktu dekat. Mengingat kondisinya sudah menjamur luas dan mengakar kuat, termasuk pada generasi muda penyambung estafet kepemimpinan bangsa sudah tersusupi jiwa destruktif tersebut. Walau demikian, masih terdapat secercah harapan, melalui komitment ekstra dari daulat rakyat!
Indonesia Butuh Pemimpin Tercerahkan
Kehidupan organisasional bernegara, sering dianalogikan seperti halnya tubuh manusia. Hal ini juga diungkapkan oleh para filsuf arus utama, seperti Plato dan Aristoteles. Artinya, kepala adalah pemimpin dari tubuh. Senada dengan itu, kehidupan organisasional masyarakat berbangsa dan bernegara juga dapat dianalogikan seperti bus. Keselamatan penumpang (rakyat) sampai pada tujuan (cita Negara sesuai pembukaan UUD 1945) berada di tangan driver (pemimpin).
Artinya, jika tubuh dipimpin oleh kepala yang stress, psikopat, dan sejenis negatif lainnya – maka kita akan menemui bagaimana sekujur tubuh tersebut saling melukai. Mungkin kaki yang disayat oleh tangan. Atau, pabila driver kita adalah seorang pemabuk/ugal-ugalan, mungkin kita akan menemui para penumpang berada di jurang. Tetap ada kemungkinan untuk selamat, namun sekonyong-konyong masyarakat sipil mengalami mual dan/atau trauma.
Dua analogi di atas adalah landasan kuat bahwa Indonesia membutuhkan Rausyan Umarak (pemimpin yang tercerahkan). Pemimpin nan sadar akan keadaan kemanusiaan, setting kesejarahan, kohesi daulat rakyat, sirkulasi ekonomi konstitusional dan pengarusutamaan kualitas SDM yang memberinya rasa tanggung jawab nasional.
Pemimpin tercerahkan mampu melabrak seluruh kejumudan dan membumihanguskan skeptik publik bahwa pemipin tidak akan bisa lepas dari kendali oligarki. Baik itu oligarki dari partai politik (pemilik partai politik), oligarki keagamaan (pemimpin golongan), oligarki kemasyarakatan (tokoh-tokoh ormas/adat) dan oligarki finansial (pengusaha).
Meski harus diakui bahwa biaya politik yang mahal dan polarisasi tingkat tinggi tengah terjadi di Indonesia cenderung membuat para calon pemimpin (Presiden) harus mengikuti kontrak politik dari para pemberi modal finansial (kampanye) dan modal sosial (suara dukungan). Seperti yang terjadi belakangan ini, presiden – selaku kepala Negara dan kepala pemerintahan dihinakan dengan ungkapan kurang etis sebagai “petugas partai politik”.
Bagi pemimpin tercerahkan, tidak mengenal istilah mendzalimi masyarakat demi mewujudkan MoU politik dengan siapapun. Tidak pula mengingkari MoU, melainkan pemimpin tercerahkan memiliki kemampuan tetap mensejahterakan masyarakat (bukan sebagian) sekaligus memenuhi keinginan koalisi politiknya. Merujuk pada amanat konstitusi bahwa pemimpin kita harus memiliki kemampuan politik transnasional dan internasional bargaining position tinggi – sehingga tidak ada lagi kanibalisme nasional – memakan sesama warga Negara!
Demikian daripada itu, perubahan tersebut tetap terletak pada kehendak daulat rakyat. Masyarakat sipil harus lebih kuat dalam kohesi rasional dan jangan tergesa-gesa menentukan pilihan, terutama pada Pemilu terdekat (pemilu raya 2024). Gunakan pendekatan skala untuk menentukan pilihan melalui track record para kandidat. Pendekatan skala tidak terpaku apakah sebelumnya ia pernah menduduki Menteri, Legislator, Gubernur, Bupati/Wali Kota, Panglima, Kapolri dan/atau jabatan struktural lainnya. Melainkan pendekatan skala adalah apapun peran yang pernah ia lakukan dan bagaimana ia menuntaskannya untuk kepentingan publik. Sebab pemimpin tercerahkan bisa saja muncul dari petani biasa!!!