Belakangan ini masyarakat Indonesia dihebohkan dengan berita viral, tentang kasus perselingkuhan antara menantu dan mertua yang terjadi di Kota Banten. Kasus ini cukup menyita perhatian publik, karena menjadi ironi bagaimana bisa seorang suami melakukan tindakan asusila dengan ibu kandung istrinya. Terlebih, perilaku tersebut dilakukan secara berulang, yang mengindikasikan bahwa pelaku melakukan perbuatan tersebut secara sadar. Bagi orang awam perilaku tersebut merupakan suatu tindakan yang tidak lazim, yang tidak bisa dijelaskan oleh nalar beretika dan berlogika. Namun, berbeda dengan sebagian orang yang pernah mempelajari ilmu psikologi, kasus tersebut bisa menjadi bahan analisis, yang mampu menjawab pertanyaan publik, kenapa perilaku tersebut bisa muncul?
Ilmu psikologi merupakan cabang ilmu yang mempelajari tentang perilaku manusia, termasuk didalamnya mengkaji tentang dasar manusia dalam berperilaku, berlandaskan pada hasil observasi dan penelitian psikologis. Kaitanya dengan kasus tersebut, terdapat beberapa teori psikologi yang menurut penulis mampu menjelaskan kecenderungan pelaku melakukan perbuatan tidak lazim tersebut.
Pertama dari teori psikoanalisis, sebuah teori yang dikemukakan oleh seorang tokoh psikologi fenomenal berkebangsan Austria, bernama Sigmund Freud.
Freud merupakan seorang tokoh besar yang mengembangkan ilmu psikologi kepribadian, termasuk dari beberapa teori yang dikemukakanya, terdapat istilah oedipus complex dan electra complex. Oedipus complex merupakan kecenderungan anak laki-laki memiliki perasaan ’’cinta’’ terhadap ibunya dan menginginkan pasanganya memiliki ciri-ciri yang hampir sama dengan ibunya, sedangkan electra complex merupakan kecenderungan anak perempuan memiliki ketertarikan pada ayahnya dan menginginkan pasangan yang memiliki karakter yang sama dengan ayahnya.
Kedua kecenderungan ini, akan dimiliki oleh seseorang di masa balita (bayi dibawah usia lima tahun). Untuk membuktikan bahwa oedipus complex dan electra complex nyata, seringkali kita melihat, anak balita perempuan senang memakai baju ibunya atau merias diri seperti apa yang dilakukan ibunya, dan anak laki-laki suka menggunakan sepatu atau jas milik ayahnya. Hal tersebut dilakukan untuk menarik perhatian orangtuanya. Atau, adanya rasa cemburu yang kerapkali mereka tunjukan ketika orangtua sedang bersama pasanganya. Lantas apa kaitanya dengan kasus diatas?
Pertama, adanya kemungkinan bahwa istri memiliki kecenderungan kesamaan karakter dengan ibunya. Kedua, sosok mertua memang memiliki kesamaan dengan istrinya, yang berarti juga identik dengan ibu suaminya. Suami melihat terdapat kesamaan yang tinggi antara mertua dengan istrinya, yang juga mirip seperti ibu kandung suami. Karena itulah ada ketertarikan secara mendalam dengan karakter ketiganya.
Hal tersebut diperkuat dengan teori kesamaan (similarity) oleh David Buss, dalam teori ini dijelaskan bahwa individu memiliki kecenderungan, untuk memilih pasangan berdasarkan kesamaan yang mereka miliki di beberapa aspek, termasuk didalamnya kesamaan latar belakang agama, ras, budaya, sosial, karakter, penampilan fisik dan lain sebagainya. Dalam kaitanya dengan kasus tersebut, bisa jadi pelaku memilih menikah dengan istrinya karena memiliki kesamaan aspek tertentu dengan ibu pelaku, dan istrinya pun memiliki kesamaan dengan ibu kandungnya.
Sehingga, pelaku melihat adanya kesamaan yang tinggi antara ibu pelaku, istrinya dan mertua. Selain adanya kecenderungan oedipus complex dan electra complex, dalam teori psikonalisis juga dijelaskan, bahwa bisa saja perilaku tersebut muncul karena adanya permasalahan psikologis pelaku dengan sosok ayahnya diusia balita, seperti karakter ayahnya yang tidak sesuai dengan dirinya, sehingga memunculkan hubungan yang tidak hangat antara anak dan ayah, mengakibatkan anak lebih nyaman untuk menghabiskan waktu dengan ibunya, hal tersebut menciptakan memori yang dalam tentang hubungan dengan ibunya, yang pada akhirnya perasaan nyaman ketika memiliki hubungan dengan sosok “ibu’’ inilah, yang menjadi dasar perilaku tersebut. Perlu diketahui, bahwa permasalahan yang muncul pada usia balita mungkin secara jelas tidak dapat diingat, namun hal tersebut akan tersimpan dalam memori alam bawah sadar, dan akan membentuk karakter dan perilaku di tahap perkembangan selanjutnya.
Kedua, selain teori psikonalisa. Adanya trauma di masa kecil dari lingkungan keluarga atau orang disekitarnya, juga dapat menjadi penyebab mengapa perilaku tersebut muncul. Dari sudut pandang psikologi, terganggunya hubungan seorang anak laki-laki dengan ibunya di masa tumbuh kembang semasa balita, akan menganggu kehidupan anak di masa dewasa. Pada dasarnya, semua manusia memiliki kebutuhan psikologis yang sama dimasa kecil, yakni kebutuhan rasa cinta dan kasih sayang dari kedua orangtuanya. Dan apabila kebutuhan tersebut tidak terpenuhi akan menjadi unfinished business atau urusan yang tidak terselesaikan. Jika unfinished business ini tidak terpenuhi atau terselesaikan, maka akan menimbulkan permasalahan psikologis dimasa tumbuh kembang selanjutnya.Kaitanya dengan kasus tersebut, bisa jadi perilaku tersebut muncul karena adanya peristiwa traumatis pelaku dengan ibunya dimasa kecil, berupa kurangnya kasih sayang sosok ibu dimasa kecilnya, hal tersebut tersimpan dalam memori bawah sadar, dan memunculkan adanya kebutuhan dimasa dewasa, untuk mendapatkan kasih sayang dari seorang ’’ibu”.
Analisis diatas mungkin tidak sepenuhnya benar, karena untuk mendapatkan diagnosis yang akurat, kasus tersebut harus diteliti lebih mendalam dengan menggunakan berbagai pendekatan. Beberapa hal yang dikemukakan penulis diatas, hanya sesuatu yang menjadi kemungkinan, berdasarkan bagaimana salah satu cabang ilmu psikologi melihat kondisi ketidaksadaran manusia, dilihat dari ilmu kejiwaan. Namun, apapun dasar perilaku diatas, hal tersebut tidak dibenarkan, karena manusia secara jelas telah dibekali kemampuan berpikir yang harus disesuaikan dengan tata aturan dan norma yang berlaku di masyarakat.
Beberapa perilaku menyimpang yang dilakukan oleh individu, erat kaitanya dengan permasalahan psikologis, yang belum terselesaiakan di masa lampau (unfinished business). Lantas, bagaimana cara kita untuk mengetahui bahwa masih terdapat unfinished business dalam diri kita?.
Pertama adalah dengan mengenali beberapa karakter yang kita miliki saat ini, baik karakter positif atau negatif.
Kedua, mencoba untuk menggali peristiwa yang terjadi di masa lampau yang membentuk karakter kita saat ini.
Ketiga, mencoba berdamai dengan diri kita di masa lampau serta apa yang menjadi kekurangan kita saat ini. Beberapa dari kita, barangkali bisa mengenali unfinished business yang dimiliki.
Namun, beberapa orang membutuhkan bantuan orang lain termasuk profesional untuk menggalinya, hal lain yang terpenting ketika kita sudah dapat menemukan unfinished business dalam diri kita, selanjutnya adalah bagaimana cara kita agar ’’kebutuhan yang tak terselesaiakan’’ ini dapat diselesaikan dengan cara yang tepat. Sehingga tidak memunculkan bibit-bibit perilaku yang menyimpang di masa mendatang.