Oleh: Satyagraha
Memasuki tahun yang baru, kondisi perekonomian global sepertinya hampir sama dengan tahun-tahun sebelumnya yang penuh tantangan terjal dan ketidakpastian yang selalu menaungi.
Dana Moneter Internasional (IMF) bahkan memproyeksikan bahwa tahun 2023 akan menjadi warsa yang sulit bagi perekonomian global karena mesin utama pertumbuhan seperti Amerika Serikat, Eropa, dan China mengalami aktivitas yang melemah.
Selain China yang masih dihadapkan dengan kemampuan pulih dari pandemi COVID-19, wilayah lainnya bertemu hambatan yang terus berlanjut dari konflik geopolitik di Eropa serta suku bunga tinggi yang direkayasa oleh bank-bank sentral seperti Federal Reserve AS untuk membawa tekanan harga ke tingkat yang lebih rendah.
Menghadapi risiko perlambatan ekonomi tersebut, Indonesia sepertinya tidak gentar karena sejak jauh-jauh hari sudah menyiapkan kebijakan, salah satunya bantalan fiskal melalui APBN 2023 yang responsif dan akomodatif.
Bahkan Presiden Joko Widodo menyiapkan kado akhir tahun dengan secara resmi mencabut kebijakan pemberlakuan pembatasan kegiatan masyarakat (PPKM), Jumat (30-12), sehingga tidak ada lagi pembatasan kerumunan dan pergerakan masyarakat.
Salah satu alasan keputusan yang sudah dipertimbangkan selama 10 bulan ini adalah fakta bahwa Indonesia saat ini termasuk satu dari empat negara G20 yang dalam 10-11 bulan berturut-turut tidak mengalami gelombang pandemi.
Pelonggaran seperti ini diyakini akan menjadi amunisi baru untuk memperkuat daya tahan perekonomian dari sisi internal, karena dampaknya bisa memperbaiki kinerja sektor jasa, industri manufaktur, dan membantu pertumbuhan sektor UMKM.
Dengan melakukan pelonggaran diharapkan tidak ada lagi hambatan yang mengganggu kelancaran arus barang dan manusia sehingga distribusi bahan pangan dapat kembali lancar, harga-harga stabil, dan inflasi nasional terjaga.
Inflasi
Selama ini, gangguan pada rantai pasokan di sektor energi dan pangan dunia akibat pandemi dan gejolak geopolitik telah membuat tingkat inflasi global merangkak naik pada level tinggi dan memengaruhi kondisi dalam negeri.
Inflasi memang menjadi isu krusial pada tahun 2022, termasuk di Indonesia, karena dampaknya akan menekan daya beli masyarakat berpendapatan rendah dan berpotensi menahan pemulihan mobilitas jarak jauh.
Lonjakan inflasi yang direspons sejumlah negara dengan memberlakukan pengetatan kebijakan moneter melalui peningkatan suku bunga pada akhirnya memberikan tekanan lebih kepada perekonomian global.
Berbagai tekanan tersebut akan membawa potensi stagflasi (pelemahan ekonomi disertai inflasi tinggi) serta tantangan lain seperti pelemahan pasar tenaga kerja global karena penurunan upah riil serta permintaan kredit.
Di sektor domestik, terdapat dua isu pilihan, yaitu bagaimana menjaga pergerakan inflasi dengan risiko kenaikan suku bunga atau menghadapi potensi resesi dengan penurunan suku bunga agar ekonomi kembali bergerak.
Badan Pusat Statistik (BPS) telah mencatat inflasi sepanjang tahun 2022 mencapai 5,51 persen, yang sebagian besar disumbangkan oleh pergerakan harga pada komponen kelompok transportasi dan bahan makanan.
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati memastikan bahwa tahun 2023 merupakan warsa yang bakal terdapat banyak ujian sangat berat, mulai dari mengendalikan inflasi global, mencegah resesi, serta termasuk meningkatkan pemulihan ekonomi pascapandemi COVID-19.
Ia pun berpendapat Indonesia tidak bisa mengontrol kejutan, ujian, maupun tantangan yang ada lantaran merupakan bagian dari kehidupan dan perjalanan Indonesia sebagai sebuah negara.
“Kita tidak bisa memilih tantangannya, yang kita bisa pilih adalah memperkuat kesiapan kita,” tegasnya.
Oleh karena itu, Sri Mulyani mengajak seluruh pemangku kepentingan untuk memperkuat Indonesia dengan bekerja secara sinergis, kompeten, profesional, dan berintegritas tinggi dalam menjaga perekonomian domestik.
Lima persen
Meski kondisi global masih diliputi ketidakpastian dan kewaspadaan terhadap situasi dalam negeri terus dilakukan, terdapat rasa optimisme bahwa perekonomian bisa tumbuh positif pada kisaran 5 persen pada tahun 2023.
Gubernur Bank Indonesia (BI) Perry Warjiyo bahkan memproyeksikan ekonomi bisa tumbuh sebesar 4,5 persen hingga 5,3 persen pada 2023 yang didukung oleh hilirisasi, pembangunan infrastruktur, penanaman modal asing, hingga aktivitas pariwisata.
Perry menjelaskan penilaian tersebut muncul mengingat Indonesia berhasil bertahan dan pulih setelah 30 bulan melawan COVID-19, terlihat dari stabilitas ekonomi yang terjaga hingga pertumbuhan ekonomi yang tinggi dan lebih baik dibandingkan banyak negara.
Capaian positif itu merupakan hasil dari sinergi dan inovasi yang kuat antarpemangku kepentingan, khususnya otoritas fiskal dan moneter seperti pemerintah dan Bank Indonesia.
BI pun akan berupaya menekan inflasi kembali ke level normal, yaitu 3 plus minus 1 persen pada tahun 2023 dan turun ke level 2,5 plus minus 1 persen pada tahun 2024 melalui sejumlah respons dan kebijakan yang terukur.
Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Haryadi Sukamdani ikut memproyeksikan ekonomi Indonesia dapat tumbuh pada kisaran 5 persen hingga 5,3 persen pada 2023 atau lebih baik dari rata-rata negara maju lainnya.
Haryadi memaparkan proyeksi rentang pertumbuhan tersebut berdasarkan pertimbangan, yakni pemulihan ekonomi yang berjalan cukup baik pada tahun 2022, di antaranya sebagai hasil dari sejumlah program proteksi sosial dan pemulihan ekonomi nasional (PEN).
Namun, menurut dia, pengaruh resesi global sangat nyata pada penurunan agregat permintaan ekspor produk hasil industri padat karya, diikuti dengan pemutusan hubungan kerja (PHK) besar-besaran pada pengujung tahun 2022 yang diproyeksikan terus berlanjut pada tahun ini.
Oleh karena itu, untuk mencapai target pertumbuhan ekonomi tahun 2023, Pemerintah dinilai perlu konsisten dalam menjalankan sejumlah agenda reformasi ekonomi struktural sebagaimana tercermin dalam substansi UU Cipta Kerja.
“Berbagai masalah inkonsistensi kebijakan mutlak perlu diatasi dengan cepat. Kebijakan populis yang menghancurkan reformasi struktural jangka menengah-panjang harus dikoreksi,” ujar Haryadi.
Berbagai proyeksi tersebut seharusnya tidak melenakan dan menjadi pemicu untuk berbenah lebih baik, karena penguatan daya tahan harus dilakukan selaras dengan akselerasi ekonomi, agar Indonesia menjadi negara maju ke depannya.
Dengan demikian, tahun 2023 bisa menjadi langkah awal untuk menggerakkan perekonomian yang sempat lesu, agar Indonesia bisa lulus dari ujian global serta tidak serta-merta jatuh ke dalam jurang resesi.