Indonesia adalah beragam dan khas, diapit oleh dua samudera (Pasifik dan Hindia) dan diapit oleh benua Asia dan Australia. Terdiri dari 17.506 pulau dengan luas lautan 5,8 juta kilometer persegi dan garis pantai sepanjang 81.000 kilometer
Maksud Indonesia beragam dan khas dapat dipahami dengan melihat kondisi Sumber Daya Alam (SDA) dan Sumber Daya Manusia (SDM) Indonesia secara holistik. Secara geo-ekonomi Indonesia begitu strategis, yaitu jalur perdagangan dan perlintasan kapal penyuplai bahan baku utama dunia, terdapat empat (Selat Malaka, Selat Sunda, Selat Lombok, dan Selat Makassar) choke points (Jalur tercepat untuk penghematan biaya angkut) yang sangat penting bagi perlintasan kapal, menghubungkan samudera pasifik dan Hindia, Benua Amerika, Benua Australia, Benua Asia, serta Benua Eropa. Namun dalam praktiknya choke points tersebut belum memberikan imbas yang baik, setidaknya berupa kenaikan ekonomi bagi bangsa Indonesia.
Pada tataran kekayaan Bumi, Indonesia kaya akan mineral tambang. Salah satu bukti kekayaan tersebut dimanifestasikan oleh Papua Barat (provinsi Indonesia), terdapat pertambangan emas terbesar di muka bumi yang dikelola oleh perusahaan transnasional Amerika yaitu Freeport-McMoRan tembaga dan emas sejak tahun 1973. Satu lagi bahwa Indonesia adalah salah satu eksportir batu bara terbesar di dunia. Namun apa yang terjadi di lapangan manusia-manusia disekitar tambang tersebut belum menemui kata sejahtera. Sebut saja sebegai contoh di sekitar tambang Freeport-McMoRan, tambang batu bara di Kalimantan, manusia di sekitar blok cepu, tambang bukit asam, tambang batu bara di Bengkulu, dan yang terakhir dalam pidato pak Presiden dengan tingkat pertumbuhan ekonomi maluku utara tertinggi di dunia sekitar 27-28% tahun 2022, pencapaian ini didapati bersal dari tambang nikel, tapi pertanyaannya manusia mana yang mendapatkan pertumbuhan ekonomi tertinggi di dunia itu? Apakah manusia sekitar tambang, atau hanya pemilik tambang, mungkin perlu dijawab oleh manusia yang tinggal disekitara tambang itu secara langsung.
Secara Sosilogis Indonesia merupakan Negara dengan Total penduduk 270,20 juta jiwa terbesar ke-empat di dunia, bermacam-macam etnik dengan wilayah budayanya sendiri (depalan belas masyarakat etnik atau lebih), sekitar 400 suku dan kelompok etnik dan budaya yang menetap serta terdapat 726 bahasa daerah, juga keberagaman agama yang prakteknya bersumber dari agama Islam, Hindu, Budha, Kristen dan Katolik. Keberagaman budaya ini dapat diklaim sebagai buah dari pikiran cemerlang manusia Nusantara terdahulu. Namun sangat disayangkan kualitas manusia beradab tersebut akhir-akhir ini mulai menampakkan hal yang sebaliknnya. Dalam laporan Digital Civility Index (DCI) tahun 2020 tentang interaksi online dan menghadapi risikonya, netizen Indonesia mendapat gelar “paling tidak sopan se-Asia Tenggara” akibat banyak terjadi Hoax, penipuan, ujaran kebencian dan peraktik diskriminasi virtual. (Microsoft 2021), laporan ini mengindikasikan salah kelola sumber daya manusia di Indonesia sehingga terkesan mulai menjarak dari kata beradab.
Berangkat dari potensi ideal dan fenomena tersebut, didapati usaha yang dilakukan belum membawa bangsa Indonesia kepada kedudukan yang seharusnya, terlihat selama tiga dekade terakhir pencapaian yang didapat tidak berbanding lurus dengan kesediaan potensi yang ada, sederhananya potensi yang ada tidak terkelola dengan baik dan hal tersebut menjadi masalah (ideal yang tidak sesuai dengan kenyataan).bagi bangsa Indonesia secara umum dan generasi masa depan khususnya.
Pada akhirnya kompleks fenomena tersebut menunjukkan tiga permasalahan besar bangsa Indonesia yaitu tingkat inovasi dan kompetisi yang semakin menurun. Untuk dapat memahami urgensi dari permasalahan tersebut maka perlu dilakukan deskripsi secara rinci.
Jejak-jejak Inovator Nusantara, Sekarang kemana Rimbanya?
Fakta sejarah menunjukkan bahwa Nusantara sejak dahulu memiliki indeks inovasi dan kompetisi yang tinggi, Benda bersejarah dan cerita peninggalan menjadi buktinya. Tidak berlebihan bila candi Borobudur masuk dalam kandidat tujuh keajaiban dunia, sebagai bangunan yang memiliki estetika dan membutuhkan tingkatan keilmuan yang cukup tinggi untuk membangunnya.
Begitu pula dengan Kedatuan Sriwijaya yang berhasil mendirikan universitas, sebagai pusat pembelajaran agama Buddha dan pengajaran bahasa Sansekerta di Asia Tenggara (Sholeh 2015). Tidak juga terlalu muluk menyebut 726 bahasa daerah (bahasa terbanyak kedua di dunia) dan keberagaman agama yang prakteknya bersumber dari agama Islam, Hindu, Budha, Kristen dan Katolik adalah sebagai hasil inovasi dan kompetisi tingkat tinggi bangsa Indonesia (Kistanto, N. H., 2008).
Namun fenomena dewasa ini menunjukkan hal yang sebaliknya. Tingkat kemampuan inovasi dan kompetisi penduduk Indonesia semakin menurun dan tergolong rendah dibanding negara-negara lain. Didapati data indeks kompetitif Indonesia tahun 2018 pada urutan 45 di Asia, 2019 menurun ke urutan 50 di Asia, terakhir dalam laporan GCI atau Global competitiveness index (2021) dan laporan GII atau The Global Innovation Index (2021) bahwa tingkat inovasi di Indonesia berada pada urutan ke-85 artinya berada di bawah malaysia, Thailand, Vietnam, Philiphina, Brunei, dan Mongolia.
Konklusinya (kesimpulan) adalah gambaran negara yang berkembang (mengalami progres) cenderung memiliki tingkat inovasi yang tinggi dan sebaliknya Negara yang tidak memiliki daya inovasi yang tinggi cenderung sulit untuk berkembang, serta rendahnya tingkat inovasi menggerus tingkat kompetitif bangsa terhadap Negara lain.
Hal tersebut dapat menjadi ancaman bagi generasi muda apabila terjadi salah kelola dalam waktu yang Panjang. Celakanya sejarah membuktikan bahwa pembangunan ekonomi negara maju dan industrinya selama 250 tahun terakhir ditopang oleh inovasi teknologi dan kondisi kita sejauh ini belum menunjukkan tanda-tanda akan pulih dari gulungan badai “katastrofe Inovasi” (Janeway 2013).
Salah satu solusi yang dapat penulis tawarkan dari hasil pengamatan terhadap permasalahan tersebut adalah Pendidikan dan dana Research & Development atau Gross Expenditure on Research and Development (GERD) harus menjadi prioritas. Sederhananya jika mengacu pada Negara Korea Selatan berarti 4,3% dari PDB/GDP, sedangkan Indonesia masih 0,28% dari PDB/GDP. Terserah pemangku kebijakan akan melimpahkan pendanaan tersebut kepada swasta maupun negara (maksudnya APBN), kebutuhan GERD Indonesia yang kita dapat mimpikan berada pada nilai 5 % dari PDB/GDP di tahun 2027. Apakah bakal calon presiden yang akan berkontestasi di 2024 dapat menjawab tantangan ini? Mari pilih dengan bijak.
Penadi Kurniawan ,
Mahasiswa Sejarah Kader Himpunan Mahasiswa Islam ilmu Sosial ,
SDM,