Oleh: Isa Ismail ([Pemerhati Masalah Perempuan Indonesia, Pimpinan Sekolah Kita Menulis Cabang Padang, Ketua Umum Senat Mahasiswa STAIPIQ Sumatera Barat)
Berbicara persoalan emansipasi perempuan, merupakan persoalan yang senantiasa menimbulkan diskusi hangat, yang hampir tidak berkesudahan. Karena perempuan dalam cita, citra, cinta dan cerita selalu mengandung dan mengundang kontroversi. Mengingat emansipasi perempuan telah dilanggar, dikhianati oleh perempuan itu sendiri, ataupun pihak laki-laki. Maka, memperjuangkan emansipasi perempuan di Indonesia ialah gerakan yang musti segera direalisasikan. Jika tidak, maka akan semakin terbentuk peradaban yang kusam dan menyeramkan, penuh onak dan duri. Maka, saya pastikan ini mendesak!
Oleh karena itu, melihat zaman yang semakin penuh gejolak keganjilan dan kemunafikan hari ini. Berbagai diskriminasi hingga praktek kekerasan, serta kebiadaban terhadap kaum perempuan. Barangkali ini tak perlu pendefinisian yang lebih dalam lagi, sudah tidak sedikit fakta yang ditampilkan di media Indonesia. Ditambah lagi, keadaan terus diperburuk sebab tak lagi banyak orang yang memperjuangkan emansipasi perempuan itu.
Jadi, sudah saatnya sekarang ini kita memaknai ulang eksistensi perempuan, membangun sebuah gerakan baru memperjuangkan emansipasi perempuan, sebagai bentuk penyadaran kaum perempuan itu sendiri, bahwa tak usah lagi memikirkan cara berpenampilan cantik lagi mempesona. Namun, yang seharusnya menjadi buah pikiran perempuan ialah bagaimana menyuarakan ke publik, untuk menggugat maskulinitas, diskriminasi, patriarkis dan kebiadaban. Kemudian, melanjutkan gerakan memihak yang tertindas, dan terus membela rasa: mengedepankan keadilan, cinta serta kesetaraan.
Pemiskinan Emansipasi
Pemiskinan emansipasi perempuan, memang bukanlah sesuatu hal yang baru. Sejak zaman Yunani kuno, emansipasi telah mengalami pergeseran makna, emansipasi dikhianati dan dibunuh secara membabi-buta. Diskriminasi perempuan telah dilakukan secara besar-besaran di ruang publik. Di zaman itu, konsep demokrasi yang mengusung egalitarian, hanya diperuntukan bagi citizens atau warga negara yang berstatus laki-laki.
Fakta telanjang seperti ini, sebenarnya memang belum ada di Indonesia. Namun, bukan berarti pergeseran makna emansipasi perempuan tidak dilakukan secara kecil-kecilan. Jika mendapat pembiaran, maka tentu akan mengundang musibah besar bagi Negara Indonesia. Barangkali kultur sosial yang memenjarakan perempuan sudah lama terbentuk. Domestifikasi perempuan merupakan tatanan sosial yang berkembang di Indonesia, dan ini merupakan salah satu bentuk me “nomor duakan” perempuan, atau membudayakan paham patriarki.
Jika seandainya mengulik lagi sejarah, sebenarnya budaya patriarki di Indonesia telah ada sebelum kemerdekaan. Sejarah telah mencatat, dahulu perempuan tidak diperbolehkan mengenyam pendidikan. Hubungan sosial laki-laki dan perempuan saat itu, menunjukan hubungan sub-ordinasi, yakni kedudukan perempuan lebih rendah dari pada laki-laki. Sehingga, memaksa tokoh seperti RA, Kartini, Dewi Sartika dan sebagainya, bergerak memperjuangkan emansipasi perempuan saat itu, salah satunya dengan mendirikan sekolah perempuan.
Hari ini, sudah puluhan tahun pasca kemerdekaan, dan perempuan telah banyak masuk ke ruang publik. Aktualiasasi struktur sosial patriarki berubah dari zaman ke zaman, namun paradigma untuk mendomestifikasi perempuan tetaplah ada dan tumbuh subur. Pandangan yang masih berkembang seperti: Buat apa sekolah tinggi-tinggi, bukankah istri hanya akan mengurus rumah tangga? Kenyataan demikian, selalu mengontruksi perempuan itu sendiri, untuk merasa tidak sejajar dengan laki-laki. Tentu ini adalah salah satu tujuan paham patriarkis.
Saya pikir, paham patriarki merupakan paham yang paradoks, ambigu dan membingungkan. Mengapa tidak? Paham demikian sebenarnya, telah menafikan kemampuan perempuan. Seolah-olah penganut paham ini buta, bahwa dalam tubuh perempuan mempunyai potensi yang besar, potensi kecerdasan, kepekaan, dan energi yang relatif setara dengan laki-laki. Barangkali peradaban telah membuktikan itu.
Sebagai seorang pemerhati masalah perempuan, saya cukup dilematis menyiasati dimana prinsip emansipasi, yang telah cukup terinternalisasi, yang menstruktur cara pandang dan perilaku masyarakat, yang menempatkan perempuan di wilayah domestik. Melihat situasi demikian, memperjuangkan emansipasi perempuan ialah sebuah keharusan. Emansipasi bukan hanya berbicara melepaskan perempuan dari kungkungan, ataupun persamaan hak dalam berbagai aspek masyarakat. Namun, lebih dari itu, bagaimana perempuan terus berkembang dan berkemajuan serta merawat hakikat emansipasinya sendiri.
Memperjuangkan Emansipasi Perempuan
Di tengah-tengah terkontruksinya paham patriarki di kalangan masyarakat, memperjuangkan emansipasi perempuan bukanlah persoalan gampang. Sebab persoalan gender adalah soalan yang intens, dimana kita masing-masing akan terlibat secara emosional. Akan banyak terjadi bentuk perlawanan ketika perjuangan kesetaraan gender diaktifkan. Kemudian, menggugat persoalan gender, juga berarti menggugat privilege dari ketidaksetaraan gender, spectrum ketidaksetaraan gender begitu luas. Mulai dari yang ada di kepala hingga urusan negara.
Dalam situasi seperti ini, dimana di satu sisi emansipasi perempuan telah relatif diterima dan terawat. Namun, di sisi lain ada pemahaman yang dikontruksi oleh sosial lama nan kokoh, bahwa perempuan harus mengerjakan sesuatu yang berkutik di rumah saja. Tentu ini menstruktur alam pikiran dan perilaku masyarakat, tidak hanya laki-laki, tetapi juga perempuan itu sendiri.
Sebenarnya, ada beberapa hal yang dapat dilakukan untuk membantu memperjuangkan emansipasi perempuan. Pertama, membentuk sistem dan regulasi yang melindungi perempuan, seperti regulasi yang menjamin terfasilitasi perempuan di sektor publik, kesejajaran perempuan dan laki-laki, dan sebagainya. Kedua, membentuk lembaga independen yang bertugas menjamin perempuan keluar dari mitos-mitos yang memenjarakannya, serta juga berfungsi sebagai pengontrol dari sistem dan regulasi yang telah dibuat untuk perempuan.
Ketiga, rekonsepsi pemahaman dalam keluarga, seperti pemahaman pekerjaan domestik, seperti memasak, mencuci, mengurus anak, bukanlah kodrat dan kewajiban seorang istri semata, melainkan kewajiban seluruh anggota keluarga. Rekonsepsi seperti ini akan mudah direalisasikan dengan cara yang sederhana, yakni dengan pemahaman anggota keluarga dengan tugas-tugasnya, kemudian dengan komunikasi antar anggota keluarga.
Konsep demikian, saya pikir akan sangat membantu dalam memperjuangkan emansipasi perempuan, serta kembali mengukuhkan eksistensi sebagai golongan kelas satu, dan tidak lagi golongan kelas dua serta tidak “dinomor duakan”. Tidak hanya itu, perempuan sendiri tidak boleh berleha-leha dalam memperjuangkan dalam pengukuhan sebagai golongan kelas satu. Perempuan juga harus menampilkan kapasitas, kekuatan dan prestasi, sehingga tidak hanya mengandalkan belas kasihan untuk menjadi golongan kelas satu.
Sebagai penutup, memperjuangkan emansipasi perempuan ialah sebuah bentuk kesadaran dan pemaknaan ulang dari paham yang kuno, serta sebagai bukti rekonstruksi pola pikir yang baru. Selanjutnya, memperhadap-hadapkan persoalan perempuan dengan solusinya jangan sampai padam. Selama perempuan masih ada, memperjuangkan, merawat dan mengembangkan emansipasi perempuan tidak akan pernah basi. Artinya, kita akan terus memperjuangkan hak-hak perempuan sebagai warga negara, sebagai istri, sebagai ibu, sebagai pelajar, aktivis atau apapun itu. Singkatnya, kajian dinamika perjuangan persoalan perempuan tidak akan pernah habis untuk digali. PANJANG UMUR PERJUANGAN, HIDUP PEREMPUAN INDONESIA!