Euforia Pemilihan umum (Pemilu) serentak sudah jauh-jauh hari digaungkan oleh KPU sebagai penyelenggara Pemilu. Tepat pada tulisan ini dibuat, tahapan Pemilu sudah melewati pengumuman hasil verifikasi faktual partai politik calon peserta pemilu Tahun 2024. Pada Rabu, 14 Desember 2022 KPU mengumumkan terdapat 17 partai politik yang lolos verifikasi faktual sebagai peserta Pemilu.
Partai politik yang lolos tersebut diantaranya; Partai Amanat Nasional, Partai Bulan Bintang, Partai Buruh, Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan, Partai Demokrat, Partai Garuda, Partai Gelora, Partai Gerindra, Partai Golongan Karya, Partai Hati Nurani Rakyat, Partai Keadilan Sejahtera, Partai Kebangkitan Bangsa, Partai Kebangkitan Nusantara, Partai Nasdem, Partai Persatuan Indonesia, partai Persatuan Pembangunan, dan Partai Solidaritas Indonesia. Kemudian satu partai yang tidak lolos yaitu Partai Ummat.
Pemilu serentak atau biasa dikenal dengan istilah Pemilu konkuren merupakan Pemilu yang diselenggarakan untuk memilih beberapa lembaga demokrasi sekaligus pada satu waktu secara bersamaan. Pelaksanaan Pemilu serentak bertujuan untuk memperkuat sistem pemerintahan presidensial, yang mana Pemilu serentak untuk memilih presiden/wakil presiden (Pilpres) dan pemilihan legislatif (Pileg) tahun 2024 mendatang, dan ini bukan pertama kali dilakukan. Pemilu serentak pertama di Indonesia dilaksanakan pada tahun 2019 lalu dan terbilang rumit. Mengapa demikian? Banyak polemik yang terjadi pada Pemilu tahun 2019, tidak jauh berbeda akan terjadi pada tahun 2024 sehingga menjadi catatan khusus bagi pelaksanaan Pemilu serentak yang akan datang. Pada tulisan ini, penulis menjabarkan bagaimana dinamika Pemilu serentak tahun 2019 sebagai identifikasi sekaligus refleksi untuk Pemilu tahun 2024.
Petugas KPPS meninggal dunia
Jumlah Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS) meninggal dunia sebanyak 894 petugas dan sekitar seribu lebih yang jatuh sakit dengan faktor utama adalah kelelahan karena beban kerja yang tinggi. Pemilu tahun 2024 sama-sama mengacu kepada Undang-undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu. Sesuai yang disampaikan oleh Hariansyah komisioner Komnas HAM pada 10 November 2022, ia menegaskan kematian massal petugas KPPS dapat terjadi kembali pada Pemilu 2024 jika penyelenggara Pemilu tidak melakukan regulasi teknis, mulai dari menyediakan fasilitas dan anggaran, serta menyiapkan langkah mitigasi, (Republika.co.id).
Politik uang
Jumlah politik uang seperti yang dijelaskan Burhanuddin dkk, (2019) dalam Pemilu tahun 2019 berada di kisaran 19,4% sampai 33,1%. Dimana politik uang ini merupakan yang sangat tinggi berdasarkan standar internasional dan Indonesia berada pada nomor tiga politik uang terbesar di dunia. Dapat dilihat bahwasanya politik uang menjadi sesuatu yang dinormalkan dalam Pemilu Indonesia. Hal ini menjadi kekhawatiran pada Pemilu tahun 2024 yang perlu menjadi perhatian bagi segala pihak terutama bagi peserta, penyelenggara, dan pengawas Pemilu dalam mengantisipasinya. Dengan melakukan pengetatan pengawasan partisipatif, melakukan sosialisasi secara maksimal, melakukan patroli pengawasan dan melakukan penegakan hukum yang tegas.
Jumlah surat suara tidak sah tinggi
Pada pelaksanaan Pemilu 2019 jumlah surat suara tidak sah terbilang cukup tinggi mencapai 11,12 persen atau sekitar 17 juta suara tidak sah. Jika dilihat rata-rata global, besaran suara tidak sah dianggap wajar berada pada kisaran 3 sampai 4 persen. Salah satu faktor penyebab surat suara tidak sah karena pemilih merasa kesulitan dalam memberikan suara dengan banyaknya surat suara pada Pemilu serentak. Berdasarkan survei LIPI pada tahun 2019 surat suara tidak sah Pemilu DPD mencapai 19,2 persen, DPR mencapai 11,1 persen. Sebagian surat suara tidak sah tersebut terjadi karena tidak dicoblos. Dalam hal ini perlu dilakukannya evaluasi penyederhanaan surat suara dan formulir penghitungan suara pada Pemilu 2024.
Tantangan partai politik
Partai politik menjadi instrumen penting dalam pelaksanaan Pemilu. Sejauh ini yang menjadi tantangan utama pengurus partai politik setiap pelaksanaan Pemilu adalah fungsi partai politik sebagai pendidikan politik belum berjalan secara maksimal baik untuk masyarakat ataupun internal partai itu sendiri. Hal tersebut dapat kita lihat partai politik yang mengusung calon bukan dari kader partai mereka sendiri namun mencari calon lain. Ini merupakan kegagalan partai melakukan kaderisasi untuk menciptakan sosok tokoh sebagai patron bagi partai tersebut. Disamping itu, pendidikan politik dengan output kepada masyarakat belum sepenuhnya terlaksana maksimal. Pasalnya, partai politik belum memiliki format pendidikan politik yang jelas dengan sistem pelaksanaannya misal, kampanye dalam Pemilu bukan merupakan sebuah pendidikan politik melainkan mobilisasi massa. Kemudian masih beredarnya hoax dan ujaran kebencian (hate speech) merupakan pendidikan politik yang belum terlaksana maksimal di era transformasi digital saat ini.
Kekuatan figur di partai lebih kuat dibandingkan ideologi partai
Selaras dengan tantangan partai politik di atas, kekuatan figur lebih kuat dibandingkan ideologi partai politik. Dimana partai politik berusaha untuk mencari dan mengusung calon dengan personal branding yang telah dibangun figur tersebut, bahkan bukan dari partai politik mereka sendiri. Dengan kekuatan figur yang diusung partai politik mengharapkan efek ekor jas (coattail effect) pada pemilihan berikutnya. Jones (1994) menjelaskan bahwa pelaksanaan Pemilu eksekutif dan legislatif secara bersamaan atau serentak menjadi faktor yang paling penting dalam menghasilkan dukungan legislatif mayoritas terhadap eksekutif. Dapat kita lihat, pemilihan eksekutif dan legislatif pada hari yang sama mampu mendorong linieritas bagi pemilih dalam memberikan suaranya kepada partai politik pendukung presiden yang ia pilih. Hal ini biasa dikenal dengan istilah efek ekor jas (coattail effect). Sederhananya perolehan suara partai politik dipengaruhi oleh siapa calon presiden yang diusung atau didukungnya.
Isu politik identitas
Politik identitas bukan merupakan isu baru di Indonesia, politik identitas merupakan isu seksi yang digunakan elite politik atau pemangku kepentingan untuk memobilisasi massa. Politik identitas dalam hal ini dari suku, agama, ras, dan etnik guna mendapatkan dukungan dari masyarakat dengan isu-isu populis. Tidak sedikit hoax, hate speech, dan black campaign yang berbau SARA untuk menyerang lawan politik dengan harapan kehilangan dukungan dari masyarakat. Terlebih politik identitas yang menyangkut isu agama akan menimbulkan jurang pemisah antar kelompok umat beragama di Indonesia. Belajar dari Pemilu 2019, isu politik identitas kemungkinan dapat terulang kembali pada tahun 2024 terlebih jika pasangan calon berasal dari latar belakang spektrum ideologi yang berbeda.
Namun sejauh ini politik identitas dapat diminimalisir jika dilihat berdasarkan poros-poros koalisi partai yang menggabungkan partai berideologi nasionalis dan religius. Penulis menilai bukan hanya dua koalisi partai saja yang akan mengikuti kontestasi politik namun lebih. Selaras seperti yang disampaikan Romli, selaku peneliti pusat riset politik Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN). Ia mengatakan polarisasi dan politik identitas kemungkinan tidak akan terjadi pada Pemilu tahun 2024. Pasalnya, kemungkinan terdapat lebih dari dua poros koalisi dalam mengikuti kontestasi politik tersebut, polarisasi dan politik identitas muncul jika hanya ada dua pilihan untuk masyarakat dalam memilih pemimpinnya, (17/07/2022, Republika.co.id)
Pada akhirnya masih banyak PR bagi kita seluruh elemen dan stakeholder yang harus ikut andil untuk merefleksikan diri belajar dari Pemilu serentak tahun 2019. Beberapa dinamika dan tantangan yang terjadi tersebut berkemungkinan dapat terjadi kembali pada Pemilu tahun 2024. Hal tersebut menjadi tanggungjawab bersama mulai dari peserta Pemilu, partai politik, masyarakat, penyelenggara pemilu, dan pengawas pemilu untuk ikut andil menciptakan dan merawat demokrasi agar lebih baik ke depannya. Terlebih Indonesia sebagai negara yang multikultural dan demokratis, sudah seyogyanya kita berkompetisi secara sehat dengan tetap merawat persatuan dan kesatuan identitas bangsa.