JAKARTA – Menteri Kesehatan (Menkes) Budi Gunadi Sadikin mencurigai sejumlah orang kaya membebani BPJS Kesehatan dengan biaya tinggi pengobatan mereka.
Menurutnya, peserta BPJS Kesehatan dari golongan masyarakat kaya seharusnya tidak bergantung banyak pada pelaksana Program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) tersebut.
Sebagai gantinya, orang kaya seharusnya mengombinasikan iuran jaminan sosial BPJS Kesehatan dengan asuransi swasta untuk mengobati penyakit.
“Dengan demikian itu kan memastikan BPJS tidak kelebihan bayar, dan kelebihan bayarnya tidak diberikan ke orang-orang yang seharusnya tidak dibayar (orang kaya). Karena saya juga dengar sering sekali banyak orang-orang yang dibayarin besar itu banyaknya, mohon maaf, orang-orang kadang konglomerat juga,” ujar Budi dalam rapat bersama Komisi IX DPR RI.
Untuk membuktikan kecurigaannya, Budi berjanji akan mengecek data 1.000 orang dengan tagihan biaya perawatan kesehatan BPJS Kesehatan paling tinggi. Setelah itu, ia akan mengukur kekayaan 1.000 orang itu melalui besaran VA listrik yang dikonsumsi.
Menurutnya, jika peserta BPJS Kesehatan tersebut memiliki besar VA di atas 6.600, maka ia tergolong ke dalam masyarakat ya mampu alias kaya.
“Saya mau tarik datanya, saya mau lihat itu PLN-nya besarnya berapa. Kalau VA-nya di atas 6.600, yang pasti itu adalah orang yang salah,” kata Budi.
Selain itu, ia juga akan melihat limit kartu kredit dari 1.000 peserta tadi. Jika peserta memiliki dana di kartu kredit mencapai ratusan juta, kata Budi, mereka bukan sasaran BPJS Kesehatan.
“Lihat limit kartu kreditnya berapa, kalau dia gak punya ya benar (dia orang tidak mampu), (kalau) tahu-tahu kartu kreditanya Rp100 juta, itu orang yang gak tepat kami bayarin,” katanya.
Menanggapi hal tersebut, Pengamat Asuransi dan Dosen Program MM-Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Gadjah Mada Kapler Marpaung mengatakan sah-sah saja orang kaya menggunakan BPJS Kesehatan.
Menurutnya, setiap peserta JKN mempunyai hak yang sama untuk menggunakan fasilitas pelayanan kesehatan yang diberikan pemerintah. Karenanya, kecurigaan menkes itu dirasa tidak perlu.
“Apalagi kan orang kaya itu membayar premi/iuran mungkin jumlahnya lebih tinggi,” kata Kapler.
Meski demikian, ia tidak menampik bahwa dalam program JKN ada moral appeal agar orang kaya membantu peserta kurang mampu atawa subsidi silang.
Terkait hal ini, Kapler menilai seharusnya menkes cukup mengimbau saja kepada kalangan orang kaya atau konglomerat, agar bisa mengutamakan kesempatan kepada peserta kurang mampu dalam memanfaatkan JKN.
Disamping itu, i juga mengatakan memang ada kesepakatan antara BPJS Kesehatan dengan asuransi komersial tentang Coordination of Benefit (COB).
Dalam hal ini, kalangan atas menggunakan BPJS saat benefit asuransi komersial mereka sudah habis atau minim.
Menurut Kapler, kecurigaan menkes akan pengeluaran BPJS Kesehatan lebih banyak dinikmati orang kaya atau konglomerat itu perlu di audit. Ia juga agak curiga dengan pernyataan menkes itu.
“Kalau betul ya, kita perlu mengimbau para konglomerat, tetapi jangan sampai karena di BPJS Kesehatan tidak proper dalam menjalankan manajemennya, yandisalahkan para konglomerat,” kata dia.
Kapler menambahkan BPJS Kesehatan menawarkan kepada peserta bahwa BPJS juga bisa memberikan fasilitas rawat jalan eksekutif kepada yang mampu tanpa harus lebih dahulu ke Puskesmas, asal membayar tambahan premi.
“Jadi tidak perlu disalahkan atau dicurigai orang kaya, yang ada perlu imbauan bahwa program BPJS Kesehatan ini adalah berasaskan gotong royong, yang kuat diharapkan bisa membantu yang kurang kuat atau lemah,” imbuhnya.
Hal serupa juga disampaikan oleh Pengamat Asuransi sekaligus anggota Komunitas Penulis Asuransi Indonesia (KUPASI) Dedy Kristianto. Ia menyebut apa yang disampaikan oleh menkes tadi adalah suatu permasalahan klasik BPJS Kesehatan yang dari dulu sudah ada.
Namun, kata dia, perlu dipahami sesuai dengan ketentuan perundang-undangan, BPJS ini diperuntukan untuk seluruh masyarakat Indonesia tanpa terkecuali, tidak ada pengecualian kaya atau miskin. cnn/mb06