
Negeri ini selalu punya potensi dirundung duka. Ikatan kebinekaan demikian gampang terberai. Sumbu kekerasan terus memercikkan api permusuhan dan mengusik tatanan harmoni sosial. Potensi terjadinya konflik di tengah masyarakat plural mudah saja terjadi, dalam beragam bentuk, sampai bentuk yang tidak kalah beringas. Akibatnya, proses menyulam Indonesia menjadi peradaban yang unggul terkoyak.
Itulah sebabnya, tokoh masyarakat dan tokoh agama harus segera mengambil peran dalam mengembangkan rasa persatuan dan sikap saling menjaga etika kemanusiaan. Dengan begitu, pertikaian antarsesama anak bangsa tidak meluas dan menjelma menjadi masyarakat barbar. Bahkan Presiden Jokowi dalam setiap kesempatan bertema kerukunan acap memosisikan tokoh agama sebagai pelopor moderasi beragama dan juga toleransi. Peran mereka memiliki daya peredam dalam menurunkan gelombang agresivitas kelompok yang belakangan ini menyeruak di berbagai tempat.
Hagen Berndt dalam Non-Violence in the World Religion (2000) mengemukakan sejumlah kesaksian betapa tokoh yang memiliki legitimasi kultural terbukti mampu mematahkan mata rantai kekerasan. Apalagi di tengah krisis kepemimpinan elite politik yang melanda negeri ini semakin menyulitkan komunitas warga untuk menemukan sosok pengayom dan penjaga rumah teduh bernama Indonesia.
Sejarah mencatat, ada nama Mohamed Arkoun (Islam) yang melegenda dalam perjuangan melawan kediktatoran dan pelanggaran HAM di Afrika dengan cara yang jauh dari bentuk kekerasan. Mahatma Gandhi (Hindu) yang ditahbiskan sebagai tokoh masyhur dengan perjuangan ahimsa-nya. Desmond Tutu (Kristen) yang dibesarkan dalam sistem politikapartheid mampu menghancurkan politik diskriminasi berdasarkan warna kulit melalui prinsip tak ada masa depan tanpa saling mengampuni. Begitu pula tokoh Dalai Lama (Buddha) dengan peran besarnya meredam konflik etnik.
Namun kekerasan yang biasa tampil berkecamuk di negeri ini perlu diurai sumbu utamanya. Proses transformasi sosial menuju peradaban Indonesia unggul dengan melibatkan peran tokoh agama harus terlebih dahulu diurai pemantik berkobarnya spiral kekerasan. Sehingga pola kekerasan dapat dikaji dari berbagai sudut pandang dan dicari penyelesaian paling elegan tanpa menimbulkan kekerasan baru yang lebih dahsyat.
Setidaknya, analisis DH Camara (1971) tentang spiral kekerasan relevan untuk mengkaji lebih mendalam sumbu utama lahirnya konflik berdarah yang melanggar etika kemanusiaan itu.
Pertama, kekerasan akibat kesewenang-wenangan penguasa dan kerakusan oligarki politik. Saat ini terpapar dengan jelas sepak terjang elite politik yang menggarong uang rakyat melalui kejahatan korupsi. Hak-hak warga miskin dijarah.
Celakanya, rakyat kerap dibunuh perlahan melalui asumsi data manipulatif dengan menaik-turunkan bandul angka kemiskinan. Di tengah impitan ekonomi dan perilaku penguasa yang tuna-keteladanan tersebut, masyarakat acap hilang kesabaran, mudah tersulut sumbu emosinya, dan gagal mengolah naluri kemanusiaannya.
Kedua, perjuangan keadilan melalui jalan kekerasan. Ketidakadilan diartikan membiarkan dengan sengaja orang lain menderita, padahal memiliki hak-hak yang setara. Variabel ketidakadilan bermacam-macam, entah menyangkut ketidakadilan ekonomi, hukum, maupun politik.
Tren peningkatan jumlah kekerasan dan intoleransi di Tanah Air setidaknya didominasi oleh tiga ketidakadilan tersebut. Di bidang ekonomi, grafik distribusi kue pembangunan tidak merata dan hanya dinikmati segelintir oligarki politik yang korup. Bumi, air dan kekayaan yang seharusnya dikelola untuk kemakmuran rakyat harus tergadai oleh kapitalisme asing. Masyarakat diciptakan sebagai bangsa kuli yang bekerja pada pihak asing di bumi sendiri. Kekayaan alam dikeruk untuk memenuhi syahwat pemilik modal. Giliran alam mengamuk, masyarakat yang jadi tumbal.
Di bidang politik dan hukum ketidakadilan bermuara pada ketidakberdayaan peran negara dalam memberikan jaminan keamanan dan pemenuhan kebutuhan hukum terhadap warganya. Alih-alih menegakkan hukum dan melindungi warga dari intimidasi, aparat keamanan justru lamban mendeteksi dini potensi konflik serta kurang tegas menindak oknum yang kerap main hakim sendiri.
Ketiga, kekerasan yang muncul akibat tindakan represi pemerintah. Pembakaran kantor pemerintahan, demonstrasi dengan menutup akses jalan umum dan mobilisasi massa melalui jejaring sosial, meski masih disangsikan cara pemilihan bentuk perlawanannya, menjadi bukti geliat perlawanan masyarakat atas represivitas alat negara.
Dapat dikatakan, hubungan negara-masyarakat kini sedang memasuki masa-masa kritis. Represivitas aparat negara terhadap konflik lahan, misalnya, tidak akan meledak jika pemerintah mafhum perasaan dan nasib rakyat yang terus berkubang dalam kemiskinan ekonomi dan harapan. Ketika lahan diserobot secara paksa oleh kelompok kapitalis, tatkala sumber energi tambang dikeruk dari perut bumi tanpa memikirkan dampak kelestarian lingkungan, negara justru nihil memberikan pembelaan terhadap warganya. Celakanya, negara justru bermain di balik proyek tunanurani itu.
Itulah ketiga pola kekerasan yang menjadi persoalan mendasar otoritas rezim. Jika tokoh masyarakat berperan penting sebagai peredam konflik dari arus bawah, itu bukan sesuatu yang keliru karena kenyataannya memiliki legitimasi kultural di tengah kelompok masyarakat. Persoalannya, sampai kapan negara membiarkan diri berkubang dalam kehampaan politik dan rezim amnesia, sementara dampak kebijakan penguasa semakin jauh dari cita-cita kemakmuran.
Kini, rakyat muak dan gerah dengan kepongahan penguasa. Di tengah anjloknya kewibawaan rezim dan menurunnya kadar kepercayaan publik terhadap penyelenggara negara, masyarakat kini menempuh cara pragmatis mengemukakan kritik dan perlawanan. Polisi jalanan bermunculan, mengusik kondusifitas ruang publik. Penegakan hukum mati suri, sementara hukum rimba makin marak. Maka, sudah saatnya kita kembali ke jati diri sebagai orang Indonesia yang berbudi pekerti luhur dengan mengunggulkan kearifan lokal.