JAKARTA – Menteri Keuangan Sri Mulyani meminta menteri keuangan dan gubernur bank sentral negara anggota G20 untuk kompak menghadapi kondisi ekonomi saat ini.
Hal ini disampaikannya saat membuka pertemuan keempat Menteri Keuangan dan Gubernur Bank Sentral (Finance Ministers and Central Bank Governor/FMCBG) G20 di Washington DC, Amerika Serikat, Kamis.
Sri Mulyani menjelaskan risiko yang dihadapi saat ini diantaranya la inflasi yang tinggi, krisis energi dan pangan, risiko perubahan iklim, hingga permasalahan geopolitik. “Saya tidak berpikir berlebihan untuk mengatakan bahwa dunia dalam keadaan bahaya,” katanya.
“Anda semua tahu, dari pertemuan kita sebelumnya bahwa saya benar-benar percaya G20 adalah sebuah harapan yang dapat membantu dunia menavigasi gelombang krisis yang kita hadapi,” ujar Ani, sapaan akrabnya.
Ia menuturkan perang Rusia-Ukraina memberikan dampak buruk pada ekonomi global. Ketegangan geopolitik itu mengakibatkan harga energi, pangan, hingga pupuk meningkat.
Imbasnya, inflasi di sejumlah negara melambung. Untuk mengantisipasi hal tersebut beberapa bank sentral pun mengetatkan kebijakan moneter dengan meningkatkan suku bunga acuan.
Di sisi lain, hal ini juga bisa memperlambat pertumbuhan ekonomi. Bahkan, sebagian negara terancam terperosok ke jurang resesi. “Kita bertemu lagi saat situasi ekonomi global menjadi lebih menantang dan saya tidak berlebihan untuk mengatakan bahwa dunia dalam keadaan bahaya,” imbuh Ani.
Ia juga kembali menekankan tantangan ekonomi global ini tidak bisa diselesaikan oleh satu atau sekelompok negara saja. Hal itu perlu diselesaikan secara kolektif dari kelompok negara-negara berkembang, menengah, dan maju.
Ia optimistis G20 bisa menyelesaikan permasalahan tersebut, bercermin dari keberhasilan G20 dalam merespons krisis keuangan global kala dihantam pandemi covid-19.
Memang, ia sadar betul menyatukan negara-negara G20 tidak mudah. Sebab, setiap negara punya pandangan sendiri-sendiri.
Namun, ia tetap yakin perbedaan itu bisa menciptakan solusi inklusif terbaik untuk seluruh dunia. “Semua negara dengan sistem pengaruh ekonomi global harus terlibat dalam mencari solusi negara maju, menengah, dan juga berkembang,” tutur Ani.
Sebelumnya, Dana Moneter Internasional (IMF) dan sejumlah lembaga internasional memproyeksi resesi global akan terjadi pada 2023 mendatang.
Sinyal resesi muncul seiring dengan kebijakan moneter ketat bank sentral di sejumlah negara. Bank-bank sentral ini terus mengerek suku bunganya demi menekan inflasi.
IMF pun memperkirakan ekonomi global hanya tumbuh 3,2 persen pada tahun ini atau turun nyaris separuh dari capaian tahun lalu sebesar 6,1 persen. Sementara tahun depan, diperkirakan hanya 2,9 persen. lp6/mb06