JAKARTA – Nilai tukar rupiah kian melemah beberapa waktu terakhir. Mata uang Garuda hanya naik tipis 1 poin atau 0,01 persen ke posisi Rp15.357 per dolar AS.
Ekonom CORE Yusuf Rendy mengatakan pelemahan rupiah bisa mengerek harga produk yang dihasilkan oleh industri manufaktur. Pasalnya, industri manufaktur dalam negeri masih bergantung pada komponen bahan baku impor.
“Beberapa di antaranya misalnya industri elektronik, otomotif, maupun industri makanan dan minuman,” ujar Yusuf.
Namun, Yusuf menilai dampak pelemahan rupiah terhadap kenaikan harga saat ini masih bisa ditanggung oleh produsen untuk sementara waktu. Hal ini dapat menahan harga barang stabil di konsumen.
“Namun tentu tidak semua pelaku usaha industri bisa melakukan ini, tergantung dari kapasitas industri masing-masing,” ujarnya.
Senada, Ekonom Bank Permata Josua Pardede mengatakan produk dengan bahan bakar impor akan terdampak pelemahan nilai tukar rupiah, di antaranya gandum, gula, kedelai. Kemudian, produk farmasi, elektronik, elektrikal, dan tekstil.
Konsekuensi harga barang-barang olahan seperti tahu, tempe, telepon genggam, laptop, hingga produk fesyen bisa menanjak.
Josua mengatakan hal yang perlu diwaspadai dari pelemahan rupiah adalah dampaknya terhadap inflasi domestik karena biaya impor akan menjadi lebih mahal serta komposisi utang berdenominasi dolar AS yang dimiliki oleh perusahaan akan semakin besar.
“Dampak terhadap neraca dagang kami perkirakan akan saling meniadakan, di mana nilai ekspor yang didapatkan akan semakin besar karena pelemahan rupiah dan begitu pula dengan nilai impor akan semakin besar,” ujarnya.
Di sisi lain, pelemahan nilai tukar rupiah juga berpotensi menurunkan minat investasi mengingat cukup banyak barang modal yang masih harus diimpor dari luar sehingga investasi akan menjadi lebih mahal. cnn/mb06