oleh : Airna Husna
Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) menggandeng sejumlah mitra swasta dan asing untuk memperkuat penanganan penurunan prevalensi stunting. “Kini masalah yang kita hadapi adalah ketika bangsa kita menghadapi bonus demografi, tapi di satu sisi kita punya angka stunting yang masih 24,4 persen,” kata Kepala BKKBN dalam acara penandatanganan MoU BKKBN bersama Mitra di Jakarta, Jumat.(AntaraNews,23/09/2022).
“Stunting adalah anak tumbuh kerdil atau gagal tumbuh. Asupan gizi yang dibutuhkan anak selama tumbuh kembang disebut dengan status gizi. Anak akan mengalami tumbuh kembang, yakni dari bayi, balita, anak-anak dan seterusnya. Pada saat tumbuh kembang, kondisi anak-anak dilihat dari status gizinya,” jelasnya.
Ia mengungkapkan, stunting menjadi permasalahan penting di Indonesia. Karena Indonesia adalah negara ke empat dengan angka stunting tertinggi di dunia, dan nomor dua se-Asia Tenggara. Ini merupakan suatu fakta yang memprihatinkan. Kerja sama tersebut dituangkan dalam Nota Kesepahaman (MoU) yang ditandatangani oleh BKKBN bersama Tanoto Foundation, PT Amman Mineral Nusa Tenggara (AMMAN), Yayasan Bakti Barito, dan PT Bank Central Asia Tbk serta Amerika Serikat, melalui United States Agency for International Development (USAID).
“Saat ini penurunan stunting rata-rata baru 2% per tahun. Seharusnya 2,7% per tahun untuk mencapai target 14 % pada tahun 2024. Berarti ini merupakan persoalan besar yang dihadapi keluarga, dan juga bangsa Indonesia,” ungkapnya. Ia pun membeberkan bahwa stunting harus menjadi perhatian, karena ada banyak dampak negatif.
Pertama, dari aspek individu anak akan berdampak pada kualitas bangsa Indonesia ke depannya. “Risiko yang dialami anak stunting, yaitu imunitasnya rendah, dia rentan terkena penyakit. Kemudian berpengaruh pada tingkat kecerdasan. Jadi bisa kita bayangkan generasi Indonesia masa depan akan memiliki kecerdasan yang rendah, sehingga tidak akan mudah menyerap informasi,” terangnya.
Kedua, jika dilihat dari sektor ekonomi, anak yang terkena stunting ini akan berpengaruh terhadap perekonomian, kesejahteraan, dan pendapatan negara. “Jika diprediksi dari jumlah anak stunting sekitar 5,33 juta jiwa ini, negara akan mengalami kerugian sekitar Rp300 triliun/tahun,” pungkasnya.
Paradoks problem anak stunting dan kurang gizi di negeri berlimpah kekayaan sumber pangan dan energi. Kerjasama dengan swasta dan asing hanya menegaskan berlepas tangannya pemerintah dari tanggungjawab menyejahterakan rakyat. Kerjasama dengan asing juga berpotensi menjadi pintu masuk program-program asing yang bisa mengeksploitasi potensi generasi dan mengarahkan pembangunan SDM sesuai kepentingan asing.
Stunting dalam Perspektif Islam dan Upaya Pengentasan Kemiskinan
Negara melalui Baitul Maal (kas negara) akan mendistribusikan bantuan terhadap keluarga-keluarga yang miskin secara cepat dan tepat, sehingga dipastikan tidak ada yang sampai kekurangan bahkan kelaparan, sehingga kondisi stunting pada anak-anak muslim akan bisa dicegah secara massif. Bahkan jika kas negara kosong pun, maka akan ditanggung oleh kaum muslim secara kolektif. Selain itu, keberadaan kepala negara dia akan memaksimalkan peranannya sebagai raa’in (pengurus umat), dia akan memaksimalkan berbagai sumber-sumber pemasukan negara, baik melalui fa’i, khumus, ghanimah, jizyah, ushr, ataupun rikaz. Dalam hal pengelolaan kekayan pun sama, kepemilikan umum dan kepemilikan negara benar-benar dipergunakan untuk kemaslahatan masyarakat semata. Semua barang-barang tambang pengelolaan sepenuhnya dilakukan oleh negara, tidak bergantung kepada asing apalagi utang luar negeri.
Sepanjang peradaban Islam tegak selama kurang lebih 13 abad lamanya, maka pengentasan kemiskinan bisa dilakukan. Dimulai dari masa Khulafaur Rasyidin sepeninggal Nabi, hingga Khalifah setelahnya. Bahkan di zaman Harun Al-Rasyid, untuk membagikan zakat saja susah karena saking masyarakatnya sudah merasa berkecukupan. Bahkan Tamim Ansyari dengan judul bukunya Dari Puncak Baghdad, Sejarah Dunia versi Islam, menuturkan secara gamblang bagaimana lembaga wakaf yang difasilitasi negara secara aktif menyalurkan bantuan kepada orang-orang miskin.
Seorang pemimpin dia tidak akan memperkaya diri sendiri manakala melihat kondisi rakyatnya masih banyak yang kesusahan bahkan kekurangan. Mau jadi apa masa depan bangsa ini jika masalah stunting saja tidak bisa diselesaikan sedari awal? Contohlah bagaimana sosok Umar bin Khattab yang rela keliling setiap malam dan memanggul gandum untuk dibagikan kepada warganya yang miskin. TIdak seperti sekarang, semua bahan pokok naik hampir tiap hari, utang terus membumbung tinggi, bahkan bayar bunganya saja tidak mampu, sementara banyak alokasi pembelanjaan negara yang tidak tepat. Para pejabat akan terus mendapat fasilitas mewah sementara orang miskin banyak yang sekarat.
Semoga umat Islam saat ini pun sadar bahwa solusi masalah stunting membutuhkan upaya terstruktur/sistemis yang membutuhkan peranan negara dengan memberikan jaminan pemenuhan kebutuhan dasar, juga pendidikan dan kesehatan yang gratis dan berkualitas. Stunting tidak dipandang sebatas kurangnya pengetahuan terhadap pemenuhan gizi, tapi karena lebih kondisi kemiskinan yang memaksa warga ada pada kondisi serba kurang (miskin). Maka, wajar kondisi malnutrisi (kekurangan gizi) itu sudah pasti akan terus ada selama permasalahan miskin ini tidak diatasi. Tentu semua ini hanya akan bisa kita wujudkan dan diatasi secara tuntas manakala Islam diterapkan secara kaffah (menyeluruh) oleh negara sekaligus dijadikan aturan bagi seluruh bidang kehidupan. Wallohu’alam bi ash-showwab.