
Sepak bola merupakan olahraga yang memiliki animo paling besar di negara ini. Tingginya fanatisme terhadap sepak bola tentu membuat olahraga ini seperti menjadi sebuah gairah yang terus mengalir bagi supporter pendukung masing-masing tim kebanggaan mereka. Tragedi kanjuruhan merupakan sebuah titik kelam sepak bola Indonesia. Pada laga Arema vs Persebaya yang merupakan derby Jawa Timur yang sejatinya pertandingan sepakbola yang seharusnya menjadi hiburan namun memakan korban jiwa lebih dari 170 orang.
Tentu peristiwa yang menyebabkan banyaknya supporter yang tewas bukan tanpa sebab, sebab utama yang menjadi alasan terjadinya peristiwa pilu di dunia sepakbola ini ialah buruknya penanganan massa yang dilakukan oleh pihak pengamanan pertandingan, dimana pihak pengamanan pertandingan melakukan upaya represif dengan menembakan gas air mata yang dilakukan oleh pihak pengamanan pertandingan dalam memukul mundur supporter tuan rumah yang turun ke lapangan dan tidak hanya itu penembakan gas air mata juga dilakukan ke dalam tribun supporter yang menyebabkan para penonton sesak nafas, dan berdesak-desakan mencari pintu keluar yang terbatas, sehingga banyak penonton tidak hanya pria namun wanita, dan anak-anak juga menjadi korban dalam peristiwa ini.
Dari perspektif Hak Asasi Manusia (HAM) tindakan represif yang dilakukan oleh pihak pengamanan pertandingan khususnya POLRI sebagai pihak yang memiliki tanggung jawab dalam menjaga keamanan, ketertiban masyarakat sangat disayangkan, dan mencedarai nilai-nilai hak asasi itu sendiri. Dengan penanganan represif berupa pemukulan dan penembakan gas air mata yang secara sadar dilakukan oleh pihak pengamanan tentu sangat tidak sesuai dengan sebagai mana seharusnya pihak pengamanan pertandingan bertugas yang dinilai melanggar HAM, tindakan represif yang dilakukan oleh TNI-POLRI selaku pihak pengamanan pertandingan haruslah menjunjung tinggi nilai-nilai hak asasi. Terlebih POLRI pada dasarnya memiliki peraturan yang mengatur bahwa setiap penyelenggaraan tugas kepolisian haruslah menjunjung tinggi Hak Asasi Manusia sebagaimana yang diatur pada Peraturan Kepala Kepolisian Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 2009 Tentang Implementasi Prinsip dan Standar Hak Asasi Manusia Dalam Penyelenggaraan Tugas Kepolisian Negara Republik Indonesia.

Tindakan represif yang menyebabkan lebih dari 170 nyawa melayang yang dilakukan oleh pihak pengamanan pertandingan dinilai tidak sesuai dengan asas proporsional dalam penyelenggaraan tugas kepolisian. Dimana dalam menjalankan tugas tindakan yang dilakukan haruslah seimbang dengan keadaan yang dihadapi sebagaimana yang diatur dalam Pasal 9 Perkapolri Nomor 8 Tahun 2009. Perlakuan yang tidak pantas kepada para penonton berupa kekerasan yang dilakukan pihak pengamanan sorotan sebagai salah satu penyebab peristiwa ini. Selain itu pada dasarnya Football International Federation and Assosiation (FIFA) secara tegas telah melarang penggunaan gas air mata dan senjata dalam pengamanan pertandingan. Hal itu tertera dalam FIFA Stadium Safety and Security Regulations yang mana pada Pasal 19 dijelaskan bahwa Untuk melindungi para pemain dan pejabat serta menjaga ketertiban umum, itu mungkin diperlukan untuk mengerahkan pramugara dan/atau polisi di sekeliling lapangan permainan. Selanjutnya pada Pasal 19 Huruf b dijelaskan “Dilarang membawa atau menggunakan senjata api atau “gas pengendali massa”.
Melihat yang terjadi di kanjuruhan dengan pihak keamanan yang membawa gas airmata untuk mengendalikan massa tentu tidak sesuai dengan aturan FIFA seperti yang diuraikan diatas. Panitia Pelaksana pertandingan , dan PT.LIB selaku promotor, serta PSSI tentu mengetahui hal ini, tapi kenapa masih saja bisa terjadi hal yang sedemikian rupa? Apakah tidak ada koordinasi diantara semua pemangku kepentingan dalam menjalankan pertandingan ini? Dan apakah tindakan pihak keamanan dapat dibenarkan? Pastinya untuk menjawab semua ini harus diusut tuntas dalam peristiwa yang memakan korban lebih dari 170 orang ini.
Sebagai negara hukum sebagaimana yang diamanatkan Pasal 1 angka 3 UUD 1945, negara harus hadir untuk memberikan kepastian hukum, dan jaminan atas Hak Asasi Manusia. Tentu setiap perbuatan yang dilakukan secara sadar baik karena kesalahan (schuld), dan Kelalaian (kealpaan) yang menyebabkan peristiwa kelam ini harus dipertanggung jawabkan. Untuk mengusut penyebab kejadian ini dan mencari pertanggungjawaban tentu negara/pemerintah harus mengambil langkah cepat dalam menjamin kepastian hukum dan menjamin hak asasi manusia. Negara melalui alatnya harus melakukan tindakan-tindakan yang diperlukan mengingat korban jiwa yang lebih dari 170 orang. Komnas HAM selaku lembaga yang berwenang dalam memeriksa dugaan pelanggaran HAM harus bekerja secara profesional demi tercapainya kepastian dan jaminan HAM sebagaimana yang diamanatkan UUD 1945.
Disamping itu POLRI selaku penyidik diharapkan dapat menyelidiki semua hal yang dianggap merupakan penyebab dari peristiwa ini baik dari sisi penonton/supporter, pihak pengamanan yang bertugas, dan panitia pelaksana yang juga berupakan pihak yang berkepentingan, Peran POLRI yang profesional untuk mengusut dan mengevaluasi penyebab peristiwa ini sangat diharapkan demi terciptanya kepastian hukum.