
BANJARMASIN – Kepala Bidang Kebersihan dan Pengelolaan Sampah di Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Banjarmasin, Marzuki mengakui persoalan penanganan sampah di kota ini memang pelik.
Contoh sederhana, katanya, walaupun Tempat Penampungan Sementara (TPS) sudah ditutup, masih tetap saja ada warga membuang sampah di tempat itu. “Karena itu kami berjuang keras untuk penanganannya,” ucap Jack, panggilan akrabnya, Rabu (28/9).
Pihaknya menilai, persoalan yang berulang itu terjadi diduga lantaran pola hidup dan perubahan perilaku masyarakat yang menyukai kemudahan, atau ringkas.
Contoh, membuang sampah justru tidak pada tempat dan waktu yang ditentukan.
Selanjutnya, kurangnya kepedulian masyarakat. Serta seluruh pihak. Artinya, penanganan sampah tak bisa hanya bergantung pada pemerintah atau dinas terkait.
“Padahal, kita ini sudah maju. Semestinya, kepedulian bisa meningkat. Semua pihak bisa terlibat,” ujarnya.
Lantas, penanganan seperti apa yang bisa dilakukan pihaknya? Jack, mengaku sudah meletakan petugas pengawas di lokasi eks TPS. Meskipun memang, tak bisa 24 jam.
Upaya konkret lainnya, khususnya untuk penanganan sampah secara umum di Kota Seribu Sungai ini, DLH Banjarmasin juga menyediakan 11 titik lokasi layanan atau pengumpulan untuk Program ‘Surung Sintak’.
Program jemput bola terkait sampah yang dihasilkan warga. Program ini sendiri sudah dimulai sejak akhir November Tahun 2020 lalu.
Menyasar warga yang kesulitan saat hendak membuang sampah ke TPS, untuk bisa mendapatkan kemudahan.
“Sementara ini, ada di sembilan kelurahan yang menerapkannya. Tersebar di lima kecamatan. Dengan total mengerahkan 200 petugas gerobak pengangkut sampah,” jelasnya.
“Ditambah dengan enam unit mobil konvektor, yang melakukan pengangkutan hingga ke Tempat Penampungan Akhir (TPA) Basirih,” tambahnya.
Menurut Jack, upaya ini cukup mampu menekan keberadaan membeludaknya sampah di TPS-TPS. Bahkan cenderung mampu mengurangi keberadaan TPS.
Contoh, dahulu ada sebanyak 100 unit TPS. Namun kini, jumlahnya hanya 80 unit. Artinya, sudah ada 20 TPS yang sudah berhasil ditutup.
Lalu, jalannya program itu menghasilkan angkutan sampah yang rata-rata minimal dua ton untuk satu titik layanan. Bahkan lebih.
“Artinya, dikalikan 11 titik layanan bisa menghasilkan 22 ton,” tekannya.
Lantas apakah ada upaya lain, Jack bilang, pihaknya akan merevisi aturan yang ada. Khususnya terkait perda kebersihan. Penekanannya, lebih meminta pada keaktifan pihak kelurahan.
Ia mencontohkan salah satu TPS di kawasan Kelurahan Telaga Biru. Ia bilang, lantaran aktifnya pihak kelurahan di situ, menumpuk hingga melubernya sampah di situ bisa ditangani.
“Babinsa hingga Bhabinkamtibmas. Bahkan hingga pengurus masjidnya saya lihat aktif sekali menangani hal itu,” ucapnya.
“Jadi, perlu gerakan pihak terkait. Kelurahan,” tekannya.
Di sisi lain, bila dilihat dari pernyataan Jack, lebih banyak pada perihal pengangkutan. Belum menyentuh soal penanganan dari sumbernya. Yakni, rumah warga sendiri.
Disinggung terkait hal itu, Jack menjelaskan bahwa upaya itu sudah dilakukan melalui keberdaan bank sampah. Lalu, dengan adanya program ‘Surung Sintak’ tadi.
“Termasuk, kami meminta masyarakat untuk turut aktif memilah sampah,” ujarnya.
Hal itu diungkapkannya bukan tanpa alasan. Setiap harinya, ada sebanyak 400 ton sampah yang diangkut ke TPA Basirih.
Lalu, ada 50 ton yang diangkut ke TPA Banjarbakula setiap harinya.
Kemudian, menurut kajian berdasarkan DID TPA Basirih pada tahun 2000, di tahun 2020 TPA yang berlokasi di Jalan Gubernur Soebarjo itu tak lagi bisa menampung sampah yang dihasilkan.
Kendati demikian, Jack menjelaskan bahwa masih ada lahan milik DLH yang bisa dimanfaatkan sebagai TPA.
“Luasan lahan TPA Basirih, yakni 39,5 hektare. Tapi tidak semua digunakan untuk pembuangan. Yang dipakai hanya 30 hektare saja,” ujarnya.
“Hanya saja, akses jalan di lahan sisa itu belum ada. Kemungkinan, di tahun 2023 mendatang akan dibuat jalannya Lahan itu bisa dimanfaatkan selama dua tahun. Setelah itu, kita harus memikirkan inovasi atau perkembangan,” tutupnya. dwi