
Masalah korupsi di negeri ini tiada hentinya diberitakan, bahkan kian hari semakin bertambah. Baru-baru saja diberitakan adanya remisi koruptor menjadi sorotan setelah 23 narapidana koruptor kini bebas bersyarat. Masa hukuman para koruptor itu menjadi lebih pendek karena dipotong remisi.
Diberitakan sebelumnya, Kementerian Hukum dan HAM (Kemenkumham) telah menerbitkan Peraturan Menteri Hukum dan HAM (Permenkumham) Nomor 7 tahun 2022. Aturan baru ini sebagai buntut putusan Mahkamah Agung (MA) yang membatalkan PP Nomor 99 Tahun 2012 atau yang lazim dikenal PP pengetatan remisi koruptor. Dalam aturan Permenkumham Nomor 7 tahun 2022, disebutkan bahwa bagi koruptor yang ingin mendapatkan remisi koruptor sehingga dapat bebas bersyarat harus memenuhi persyaratan. Menkumham mensyaratkan bagi napi koruptor, syarat remisi koruptor adalah wajib sudah membayar denda dan uang pengganti.
“Dalam Permenkumham ini mempersyaratkan terpidana untuk membayar lunas denda dan uang pengganti bagi narapidana kasus korupsi untuk mendapatkan hak remisi maupun integrasi (pembebasan bersyarat, cuti bersyarat dan cuti menjelang bebas),” kata Koordinator Humas dan Protokol Ditjen Pas, Rika Aprianti dalam siaran persnya, Minggu (31/1/2022).
Hal tersebut disoroti oleh Indonesia Corruption Watch (ICW) tak habis pikir dengan 23 koruptor mendapat remisi hingga akhirnya bebas bersyarat. ICW menyebut pemberian remisi bagi para koruptor itu semakin menunjukkan kejahatan korupsi adalah kejahatan biasa. Koordinator ICW, Adnan Topan Husodo menyebut pemberian remisi koruptor itu tidak masuk akal. Dia menyoroti mantan jaksa Pinangki Sirna Malasari yang baru dua tahun di penjara kini bebas bersyarat, padahal kasus korupsi yang menjeratnya tergolong besar. (detiknews.com,7/9/2022)
Begitu pun Pusat Kajian Anti Korupsi (Pukat) Universitas Gadjah Mada (UGM), menyatakan setuju terkait wacana Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) untuk menuntut para terdakwa kasus korupsi dengan pencabutan hak remisi dan pembebasan bersyarat. “Harusnya Kejaksaan dan KPK setiap menuntut terdakwa tipikor (tindak pidana korupsi) itu harus memberi tuntutan salah satunya pencabutan hak-hak tertentu. Salah satu hak tertentu itu adalah hak pembebasan bersyarat dan hak remisi,” kata peneliti Pukat UGM, Zaenur Rohman.
Diketahui, sejumlah napi korupsi bebas bersyarat dari penjara pada hari yang sama, Selasa (6/9/2022). Beberapa di antaranya mantan jaksa Pinangki Sirna Malasari; mantan Gubernur Banten, Ratu Atut Chosiyah; mantan Menteri Agama, Suryadharma Ali; mantan Hakim MK, Patrialis Akbar; dan Gubernur Jambi, Zumi Zola. Selain itu, terdapat juga mantan Dirut Jasa Marga, Desi Arryani; dan Mirawati Basri (beritasatu.com,11/9/2022)
Maka, Tak heran sebagian masyarakat beropini bahwa ada problem pada aturan yang berlaku yang telah meloloskan para mantan koruptor. Bahkan tak heran pula bermunculan pandangan bahwa korupsi tumbuh subur di negeri ini. Korupsi bukan lah permasalahan individu tetapi permasalahan sistemik.
Inilah potret demokrasi. Praktik oligarki berkembang luas, yaitu ketika kekuasaan negara ada di tangan elit minoritas untuk memonopoli kekayaan. Terbukti dalam praktik demokrasi, kekuasaan selalu dipangku oleh kaum elit, yaitu para kapitalis, elit partai dan kelas politik.
Undang-undang dibuat oleh manusia dengan mengedepankan nafsunya. Penguasa dan pengusaha memiliki kewenangan khusus untuk seenaknya membuat dan mengubah undang-undang yang akan meloloskan mereka dari jerat hukum. Selama kedaulatan di tangan penguasa dengan mengatasnamakan rakyat, kasus korupsi akan langgeng dan pelakunya akan melenggang mulus tanpa hambatan.
Suburnya korupsi tak bisa dilepaskan dari sistem politik yang digunakan. Negara yang menerapkan sistem politik demokrasi dipastikan menjadi lahan subur tumbuhnya korupsi. Mengapa bisa demikian? Sebagaimana diketahui, dalam sistem politik demokrasi rakyat diberikan kedaulatan penuh membuat undang-undang. Kalau manusia diberikan hak unttuk membuat sebuah peraturan, maka produk hukum yang dihasilkan berpeluang memiliki kecenderungan kepentingan. Walhasil, politik yang dilakukan bukanlah politik pelayanan kepada masyarakat melainkan kepada tendensi kepentingan individu atau kelompok.
Tidak hanya itu, mahalnya politik demokrasi semakin mengukuhkan prilaku korupsi. Pemilu yang memakan dana milyaran bahkan sampai triliunan meniscayakan adanya praktik jual beli suara dan pendanaan dari kapitalis besar. Calon penguasa membutuhkan sokongan dana dari pihak lain untuk membiayai pencalonannya. Pihak lain ini para pengusaha atau cukong yang mampu menggelontorkan dana besar, yang mana dana tersebut tentu tidak diberikan secara percuma. Para kapitalis tentu menginginkan kompensasi maksimal mulai dari tender berbagai proyek hingga perubahan regulasi guna kepentingan sang donatur dana.
Alhasil, negara demokrasi berubah menjadi korporatokrasi yaitu pemerintahan yang disetir oleh korporasi. Hingga trias politika yang dianggap sebagai sistem politik terbaik nyatanya saling bekerjasama mencari keuntungan demi kepentingan individu dan partainya. Akibatnya rakyatlah menjadi korban keserakahan para kapitalis. Kekayaan alam rakyat direbut secara legal atas nama regulasi yang dilegitimasi demokrasi. Jelaslah, bahwa korupsi pasti tumbuh subur di lahan demokrasi. Maka, upaya mempertahankannya sama saja mempertahankan ketidakadilan. Oleh karena itu, sistem ini sebenarnya tidak bisa dipertahankan.
Islam Solusi Tuntas Selesaikan Masalah Korupsi
Jika dilihat ada banyak faktor penyebab korupsi. Tindakan ini bisa dipicu oleh lemahnya ketakwaan sehingga ketika seorang individu mendapat tekanan misalnya tekanan jabatan. Seseorang bisa terjerumus untuk melakukan tindak pidana korupsi. Untuk mengatasi masalah ini, Islam membentengi individu dengan ketakwaan kepada Allah SWT. Ketakwaan individu bisa mencegah seseorang untuk tidak melakukan kemaksiatan seperti korupsi baik saat mendapat tekanan maupun karena terbuka peluang, karena meyakini segala perbuatan akan dipertanggungjawabkan secara individu di hadapan Allah SWT.
Selain itu, penyebab tingginya kasus korupsi adalah karena lemahnya sanksi hukuman bagi para pelaku, Oleh karena itu Islam memberi sanksi yang tegas bagi pejabat negara yang melakukan korupsi. Sebelum menjabat akan dilakukan penghitungan kekayaan pribadinya. Jika seorang pejabat terbukti melakukan korupsi, maka negara akan menindak tegas dengan menyita hartanya untuk dikembalikan kepada negara, dipecat dari jabatannya dan diberi hukuman yang adil dan tegas. Sehingga akan menjerakan pelakunya agar tidak mengulangi lagi.
Ketakwaan individu dan penerapan sanksi yang adil dan tegas tidak akan bisa terwujud tanpa ditopang oleh pemerintahan yang bersih dan berwibawa. Pemerintahan yang dibangun di atas asas demokrasi memiliki banyak kelemahan dan kekurangan karena pembuatan undang-undang yang seharusnya berlandaskan hukum syara ditinggalkan. Negara membuat undang-undang berdasarkan hasil pemikiran para wakil rakyat di parlemen yang memiliki keterbatasan dan subyektifitas, bahkan banyak undang-undang yang merupakan pesanan untuk melancarkan kepentingan asing.
Diterapkannya sistem demokrasi bersamaan dengan tidak adanya pengaturan kepemilikan individu, umum dan negara melahirkan lingkaran setan korupsi politik. Pada sistem demokrasi, penguasa bisa memperkaya diri dan antek-anteknya sekaligus menjaga kekuasaannya agar tetap langgeng tanpa melanggar hukum negara karena mereka memiliki kekuasaan untuk membuat undang-undang. Hal ini berbeda dengan sistem Islam, di mana hukum dibuat berdasarkan tuntunan syara sehingga semua pihak akan terlindungi dari kezaliman dan kerakusan oleh sesama manusia. Pemberantasan korupsi akan menjadi hal yang mudah dalam Islam, karena negara dan masyarakatnya dibangun atas dasar ketakwaan. Sumber hukum yang berlaku pun berasal dari wahyu. Oleh karena itu, sudah saatnya umat kembali kepada syariat Islam secara sempurna dan menyeluruh, yang datangnya dari Allah SWT. dan kembali menjadikan Islam sebagai rahmatan lil ‘alamin. Wallahu a’lam bish-shawwab.