
Pendidikan adalah jantung negara Indonesia, selayaknya jantung sebagai alat vital pada tubuh, terlihat kecil namun mempunyai fungsi yang sangat besar. Jantung merupakan tempat bergantung hidup atau matinya tubuh, begitu juga dengan pendidikan pada suatu negara. Tanpa jantung yang bekerja, tubuh hanyalah sebuah mayat yang tak berguna yang akan berangsur-angsur membusuk. Sama seperti suatu negara tanpa pendidikan, hanya akan menjadi sebatas nama yang akan berangsur-angsur punah.
Jika seandainya jantung perlu dijaga kesehatannya, agar tetap bekerja sebagaimana mestinya, tentu hal yang sama juga berlaku pada pendidikan suatu negara, agar negara berjalan sebagaimana mestinya. Pertanyaannya, apakah kepala negara telah memikirkan bagaimana menjaga kesehatan jantungnya? Alih-alih memikirkan jantung negara ini, kepala negara malah sibuk memikirkan kesehatan perut dan kantong celana saja. Lalu, bagaimana sebenarnya menjaga kesehatan jantung negara Indonesia?
Jantung yang Tersakiti
Pendidikan ialah proses dalam meningkatkan kualitas diri seseorang, baik secara kognitif, afektif dan psikomotorik maupun secara spiritual, sehingga kejarannya seseorang tersebut dapat berkontribusi secara maksimal, dalam membangun peradaban. Pendidikan ialah jantung suatu negara, oleh karena itu tentu perlu perhatian khusus kepala negara, dalam memikirkan jantung negara ini. Kemudian, berbicara pendidikan ialah berbicara guru, tentu ini hampir tak terbantahkan bahwa guru ialah tokoh utama dalam merawat pendidikan.
Pertanyaanya, apakah mereka sampai saat ini menjadi perhatian kepala negara? Apakah berbagai kebijakan yang dilahirkan telah benar-benar menguatkan posisi guru? Oleh karena itu, untuk menjawab beberapa pertanyaan yang telah melayang-layang dipikiran kita, pembahasan tulisan ini akan saya tukikan secara tajam, terhadap permasalahan yang membuat sakit para guru. Menyakiti guru berarti menyakiti jantung negara (pendidikan).
Setidaknya, jika diamati secara mendalam, sebetulnya dapat ditemui beberapa hal yang telah menyakiti jantung negara. Pertama, guru tidak sejahtera dalam ekonomi. Ungkapan “kalau anda ingin jadi orang kaya, maka jangan jadi guru” ialah ungkapan yang bertebaran di masyarakat, yang tidak dapat dibantah. Ungkapan ini tentu muncul oleh kenyataan yang terjadi, sudah tak terhitung guru yang hidup dalam keprihatinan dan serba kekurangan.
Mungkin barangkali ada satu atau dua orang yang dapat hidup beruntung, namun mayoritas guru, hidup dengan keprihatinan. Bahkan, dapat dikatakan memilih menjadi guru, ialah memilih hidup miskin. Walaupun ada yang membantah ini, dengan mengatakan bahwa kaya atau miskin itu relatif, namun akan kembali saya tegaskan bahwa guru seharusnya hidup dengan kekayaan, tidak hanya kaya dalam makna spiritual, tetapi juga kaya secara ekonomi, sekali lagi, kaya secara ekonomi.
Setidaknya, tataran kehidupan guru ialah hidup dengan layak dan mampu memenuhi kehidupan sehari-hari. Kenapa guru tidak boleh miskin? Bagaimana mungkin seorang guru akan fokus menjalankan fungsi dan tanggung jawab, jika setengah pikiran mereka tersedot memikirkan bagaimana hidup untuk esok hari.
Kedua, guru tidak sejahtera dalam bertindak, menjadi seorang guru di zaman sekarang memanglah bukan perkara mudah, sebab harus berhadapan dengan begitu banyak tantangan di dunia pendidikan. Tidak hanya tantangan dari tuntutan pemerintah, agar seorang guru senantiasa meningkatkan potensi dirinya, melainkan juga tantangan dari tindak-tanduk dari para murid yang berbagai tingkah laku, sangat mungkin seorang guru menemukan murid dengan tingkah yang liar dan nakal.
Saya teringat kisah waktu didaftakan mengaji, orang tua saya membawa seikat lidi untuk guru mengaji, hal ini membuktikan kepercayaan penuh orang tua kepada guru untuk mendidik anaknya. Lidi ini bisa dipukulkan kepada saya, jika seandainya saya sebagai murid melanggar aturan dan batasan yang ditetapkan guru. Tentu seorang guru tidak akan menggunakan lidi tersebut dengan semena-mena, guru akan menggunakan lidi dengan proposional serta alasan yang jelas.
Proses belajar mengajar (PBM) seperti itu, dapat dikatakan sebagai suasana penuh disiplin bahkan cenderung keras. Namun, suasana seperti itulah yang membuat semua peserta didik pandai mengaji, serta taat kepada guru hingga saat tulisan ini saya tulis. Akan tetapi, seiring berjalannya waktu dan perkembangan zaman, pendidikan “lidi” ini tidak lagi bisa diterapkan, sebab memukul peserta didik dengan alasan apapun, baik itu untuk menegur, tidak lagi dapat diterima.
Memukul peserta didik dalam proses belajar mengajar (PBM), akan disebut sebagai tindak kekerasan kepada murid, tentu ini akan berakibat jeruji penjara bagi pelaku, atas nama UU Perlindungan Anak. Secara gamblang dapat dipahami, bahwa guru tidak mempunyai kesejahteraan bertindak dalam mendidik, guru sudah terlalu diikat dengan hukum.
Padahal, poin penting dalam pendidikan “lidi|” ialah memberi pemahaman kepada peserta didik, bahwa hidup akan selalu mempunyai resiko masing-masing atas suatu tindakan. Jika berbuat baik, maka mendapat ganjaran baik (reward), begitupun sebaliknya, jika berbuat yang tidak baik, tentu menuai hukuman (Punishment). Begitulah prinsip tabur-tuai, apa yang ditabur, maka itulah yang akan dituai.
Selanjutnya, poin penting dari pendidikan tersebut ialah, harus adanya kepercayaan penuh orang tua, kepada guru, bahwa apapun yang dilakukan guru terhadap peserta didiknya tentu untuk kebaikan (Pukulan edukatif). Tentu guru akan bertanggung jawab dan penuh kebijaksanaan terhadap amanah dari orang tua.
Sepucuk Harapan
Jika seandainya kepala negara tidak ingin tubuh negara ini mati, dan digerogoti oleh lalat pengganggu. Maka rawatlah, berikanlah perhatian khusus kepada guru, berikanlah amunisi yang cukup kepada guru agar mereka fokus merawat jantung negara (pendidikan). Sebab, hanya mereka satu-satunya yang akan bisa memastikan, bahwa jantung negara dalam keadaan sehat.
Menjadi kaya secara ekonomi memang bukanlah segalanya, tetapi hidup dengan layak dan berkecukupan, tentu menjadi hal yang mendasar bagi seorang guru untuk terus meningkatkan kompetensinya, dan akan berkontribusi secara maksimal dalam menjaga kesehatan jantung negara (pendidikan).
Oleh karena itu, kepala negara harus memberikan jalan untuk memperbaiki kehidupan mereka, berikan keyakinan bahwa memilih jadi guru bukan berarti memilih jadi miskin, serta pastikan mereka pantas menjadi kaya. Selanjutnya, berikan mereka sedikit ruang bebas untuk mendidik, jangan terlalu diikat dengan hukum, sebab guru mempunyai caranya masing-masing dalam mendidik. Pukulan yang bersifat edukatif bukanlah suatu hal yang harus dipermasalahkan (pukulan yang wajar).
Sebab, tindakan tegas ialah suatu hal yang mesti diterapkan, Bukankah Rasulullah SAW mengajarkan kita, agar menyuruh anak untuk shalat pada saat lima tahun, dan membolehkan “memukul” jika anak tidak mau shalat pada saat umur tujuh tahun. Tentu maknanya disini ialah pukulan edukatif, yang bersifat tegas bukan kekerasan. Namun, jika seandainya kepala negara tak mampu memikirkan solusi dari penyakit jantung negara ini, maka izinkan saya menggantikan posisi kepala negara. Saya pastikan, jantung negara (pendidikan) akan tetap sehat, dan tubuh negara akan tetap aktif dan berjalan sebagaimana mestinya *SEMOGA*