Kampanye adalah kegiatan yang dilakukan oleh seorang peserta pemilu dan pihak lain dalam rangka meyakinkan pemilih dengan menawarkan visi, misi, program dan/atau citra diri peserta pemilu. Ada hal menarik terkait fenomena beberapa hari belakangan, terlepas dualisme sisi pro dan kontrak yang menyertainya. Di mana akhir-akhir ini kita disuguhkan dengan sebuah desas-desus dari para elite politik, KPU dan Bawaslu tentang pelaksanaan kampanye di perguruan tinggi.
Adapun KPU menyetujui kampanye di perguruan tinggi asalkan mengikuti aturan yang berlaku melalui pernyataan Hasyim Asy’ari, sedangkan Bawaslu melalui Puadi menyatakan bahwa kampanye di tempat ibadah atau pendidikan melanggar undang-undang, terancam pidana 2 tahun dan denda paling banyak Rp. 24 juta. Layaknya mengulang cerita lama, isu tentang kampanye di perguruan tinggi sebenarnya juga pernah beredar di tahun-tahun sebelumnya, seperti di tahun 1998 pasca reformasi dan tahun 2019. Kemudian, hari ini pelaksanaan kampanye di perguruan tinggi kembali muncul ke permukaan dan menjadi perbincangan dari berbagai kalangan masyarakat dan para ahli.
Pertanyaannya, “apakah perlu peserta pemilu, capres, DPR atau pihak lain melakukan kampanye di perguruan tinggi ?”. Pertanyaan ini menjadi krusial karena membuka cakrawala berpikir kita akan substansi dari dunia kampus/perguruan tinggi dan kaitannya dengan politik yang esensial akan kita bahas, dengan begitu kita akan mengerti apakah kampanye di perguruan tinggi menjadi ide yang membawa pada progres atau regres.
Tri Dharma Perguruan Tinggi
Perguruan tinggi adalah instansi pendidikan yang memiliki tiga kewajiban (Tri Dharma) yang terdiri dari “pendidikan dan pengajaran”, “penelitian dan pengembangan”, “pengabdian kepada masyarakat”. Selain itu, perguruan tinggi juga berperan untuk menjadi tempat mengembangkan strategi pendidikan, sekaligus lembaga yang diperlukan dalam membangun suatu peradaban bangsa, terutama generasi penerusnya. Visi dan misi dari perguruan tinggi yang terkandung dalam Tri Dharma menjadi tanggung jawab seluruh elemen yang dimiliki perguruan tinggi. Dianya adalah mahasiswa, dosen dan civitas akademika yang terlibat.
Pendidikan dan pengajaran, dalam perguruan tinggi di maksud sebagai sistem transfer pengetahuan (transfer of knowledge) yang merupakan suatu prosedural untuk menciptakan bibit unggul generasi yang akan membawa bangsa ke arah lebih maju. Penelitian dan pengembangan, pada perguruan tinggi penelitian menjadi suatu syarat dan proses yang harus dilakukan mahasiswa untuk menerapkan setiap konsep, teori dan paradigma yang sebelumnya telah mereka pelajari yang kemudian direpresentasikan dalam kegiatan menulis, sosialisasi, pelatihan dan lainnya kepada masyarakat. Pengabdian, adalah bagian terpenting dan tujuan akhir dari anak generasi bangsa di didik pada perguruan tinggi untuk dapat memberikan kebermanfaatan bagi sesama dan dapat mengembangkan ilmu pengetahuan dengan porsinya masing-masing sebagai mahasiswa.
Merujuk pada undang-undang Pasal 280 ayat H UU No.7 tahun 2017 yang berbunyi “fasilitas pemerintah, tempat ibadah, dan tempat pendidikan dapat digunakan jika Peserta Pemilu hadir tanpa atribut Kampanye Pemilu atas undangan dari pihak penanggung jawab fasilitas pemerintah, tempat ibadah, dan tempat pendidikan. Yang dimaksud dengan “tempat pendidikan” adalah gedung dan/atau halaman sekolah dan/atau perguruan tinggi.” Ketua Komisi Pemungutan Suara Republik Indonesia (KPU RI) Hasyim Asy’ari bertutur kata bahwa kampanye di perguruan tinggi boleh saja dilakukan dan tidak menjadi masalah, karena sesuai dengan aturan perundang-undangan jika terpenuhi unsur-unsurnya, seperti di undang rektor, tidak menggunakan atribut peserta pemilu dan memberi kesempatan yang sama. “Kalau saya menyatakan kampanye di kampus boleh apa nggak? Boleh. Wong mahasiswanya pemilih, dosen-dosennya pemilih, ingin tahu dong siapa capresnya, siapa calon DPR-nya, visi-misinya seperti apa, apa janji-janjinya, visi-misinya untuk pengembangan dunia akademik kan perlu diketahui, perlu di-challenge, dan perlu dipertanyakan pula,” ujarnya di Jakarta, Sabtu (23/7).
Menurut penulis, pendapat ketua KPU memang rasional jika kita analisis yuridis pada pasal 280 ayat H UU No.7 tahun 2017 tersebut. Pelarangan berkampanye pada fasilitas pemerintah, ibadah dan pendidikan bila peserta pemilu, tim dan partai pengusung membawa atau menggunakan atribut pemilu dan jika tidak membawa maka diperbolehkan. Kampanye di perguruan tinggi juga boleh dilakukan bila diundang oleh pihak perguruan tinggi. Maka jelas kampanye peserta pemilu di perguruan tinggi boleh selama tidak menggunakan atribut atau simbol-simbol. Larangan tersebut telah ditekankan karena simbol atribut akan memunculkan interpretasi pads suatu objek yang dapat menghasut pemilih.
Ikhtisar yang bisa diambil dari undang-undang pasal 280 ayat H UU No. 7 tahun 2017 bahwa peserta pemilu, timnya, juru kampanye dan partai politik yang berkampanye pada fasilitas pemerintah, ibadah dan pendidikan dilarang membawa, menggunakan dan memperlihatkan atribut kepada siapa pun. Artinya, kampanye di perguruan tinggi boleh dilakukan bila terpenuhi unsur-unsurnya, seperti tidak memakai atribut tertentu, diundang oleh pihak perguruan tinggi dan egalitarianisme/kesempatan yang sama kepada setiap peserta pemilu. Tetapi, bila unsur yang disebutkan tersebut tidak mampu dijaga dan tidak terpenuhi maka pelaksanaan kampanye di perguruan tinggi bisa dilaporkan karena melanggar pasal 280 ayat 1 huruf H UU No. 7 tahun 2017 tersebut.
Dialektika Kampanye di Perguruan Tinggi
Melakukan kampanye di perguruan tinggi merupakan hal yang lumrah, sebab kampanye di perguruan tinggi bisa digunakan sebagai penentu arah politik dan alat untuk mengukur kualitas peserta pemilu. Menjawab pertanyaan di atas, apakah tepat kampanye di perguruan tinggi ? Maka menurut penulis, Penyelenggaraan kampanye di perguruan tinggi bisa menjadi sesuatu yang tepat bila masih dalam nuansa akademisi dan berada pada koridor dialogis antar peserta pemilu dengan dosen, mahasiswa dan civitas akademika. Jika nuansa kampanye yang di bangun oleh peserta pemilu di perguruan tinggi hanya sekedar untuk menarik simpati mahasiswa dan eksistensi semata, maka kampanye di perguruan tinggi hanya akan menjadi permasalahan untuk ke depannya. Karena itu, Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu), Komisi Pemilihan Umum (KPU), dan Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) harus berkolaborasi, bahu-membahu dalam mengawasi penyelenggaraan kampanye di perguruan tinggi untuk mengantisipasi kemungkinan terjadinya pelanggaran oleh peserta pemilu, tim, juru kampanye dan partai yang mengusungnya.
Kampanye di perguruan tinggi diharapkan setidaknya menggunakan sistem dialektika (tanya-jawab) dengan cara seminar/webinar terbuka atau tertutup dalam bentuk online, luring atau haybrid. Perguruan tinggi kental akan iklim akademisnya, karena itu peserta pemilu yang di undang oleh pihak perguruan tinggi bukan sekedar berkampanye untuk membranding dirinya, tetapi juga memberikan edukasi politik sekaligus memperkenalkan visi, misi dan program yang akan mereka jalankan, sehingga mahasiswa, dosen dan civitas akademika dapat mengukur hal tersebut.
Penyelenggaraan kampanye di perguruan tinggi secara dialektika (dialog intelektual) berfungsi sebagai penentu arah politik. Sumber daya manusia yang ada di perguruan tinggi termasuk kaum intelektual. Mempunyai kemampuan kognitif, logical, analytical, critical thinking dan belajar konsep, teori dan paradigma yang membuatnya punya kompetensi yang pas untuk berdialektika dengan peserta pemilu. Dengan adanya sumber daya manusia yang mumpuni, maka perguruan tinggi bisa menjadi dasar asumsi penilaian publik, sebab ketiga elemen yang ada di perguruan tinggi tersebut memiliki kompetensi yang cukup untuk menjadi rujukan bagi publik saat memilih pemimpin yang akan mereka pilih pada pemilu 2024 dengan syarat perguruan tinggi tetap independen tanpa keberpihakan kepada siapa pun.
Ada hal lain yang perlu dihindari oleh peserta pemilu dan yang dilakukan oleh mahasiswa saat kampanye di perguruan tinggi, jika nanti benar-benar terealisasikan. Yaitu, jangan sampai kampanye di perguruan tinggi menjadi ajang peserta pemilu untuk menghasut (demagog) mahasiswa agar memilihnya dengan menggunakan unsur-unsur identitas, politik uang, narsisme, ras, agama, kebudayaan dan lainnya. Sebab, sebagian mahasiswa di perguruan tinggi masih terindikasi sebagai pemilih pemula yang rentan di hasut untuk mau memilih. Apalagi pemilih pada pemilu 2024 nanti paling banyak adalah generasi Milenial dan Z (mahasiswa) yang sangat potensial dalam menentukan pemilu, sehingga jika tujuan kampanye di perguruan tinggi untuk melakukan demagog dan narsisme maka kualitas pemilu akan rendah. Oleh karenanya, mahasiswa jangan mudah tertipu daya oleh para peserta pemilu jika menggunakan strategi demagognya. Belum tentu mereka mampu menjalankan tugasnya demi kepentingan rakyat, maka Tri Dharma Perguruan tinggi ( pelajaran, penelitian dan pengabdian) bisa diharmonisasikan dengan kampanye di perguruan tinggi oleh peserta pemilu sebagai bagian dari kewajiban perguruan tinggi untuk membentuk generasi yang kritis dan rasional saat menjadi pemilih.