
Pasca penetapan kenaikan harga BBM, beberapa aksi unjuk rasa marak terjadi di pelbagai tempat utamanya yang mengatasnamakan kelompok buruh. Tuntutan yang disuarakan selain menolak kenaikan harga BBM juga menuntut kenaikan upah minimum. Hal ini wajar karena buruh paling merasakan dampak dari kenaikan harga BBM, terlebih pasca pandemi yang belum sepenuhnya pulih serta gejolak kenaikan harga kebutuhan pokok yang terus meningkat sehingga sangat memberatkan kehidupan para buruh.
Bila mendengar kata buruh, mungkin yang terbayang dibenak kita adalah pekerja kasar yang bekerja di pabrik-pabrik, pekerja bangunan atau pekerja kasar lainnya dengan menerima upah yang minim. Dalam kultur masyarakat kita, buruh masih dikonotasikan sebagai pekerja kasar yang rendah, padahal tidak demikian, buruh adalah manusia yang sejatinya juga ingin hidup sejahtera.
Dalam Pasal 1 Ayat (3) UU Ketenagakerjaan, buruh diartikan sebagai orang yang bekerja dengan menerima upah atau imbalan dalam bentuk lain. Artinya, seorang manajer atau karyawan bank termasuk ASN misalnya, sejatinya juga adalah seorang buruh. Sedangkan bila seseorang bekerja pada lebih satu perusahaan atau majikan, maka biasanya disebut pekerja bebas atau pekerja lepas.
Perbedaan dari mereka adalah berdasarkan tingkat keterampilan dan pendidikan yang dimiliki. Biasanya seorang pekerja yang banyak menggunakan otak serta mempunyai keterampilan tinggi disebut buruh/karyawan profesional. Sementara orang yang bekerja lebih banyak menggunakan otot dengan keterampilan rendah disebut buruh/karyawan kasar. Hal tersebutlah yang membedakan tingkat upah yang mereka diterima.
Dalam dunia ketenagakerjaan, kedudukan atau status dalam pekerjaan dibagi menjadi lima, yaitu (1) berusaha sendiri, (2) berusaha dibantu buruh/karyawan tidak tetap, (3) berusaha dibantu buruh/karyawan tetap, (4) buruh/karyawan/pegawai, dan (5) pekerja bebas. Ada juga yang menambahkan pekerja keluarga/tidak dibayar. Selanjutnya untuk nomor (4) dan (5) disebut sebagai pekerja.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) pada Februari 2022, jumlah penduduk 15 tahun ke atas yang bekerja sekitar 135,6 juta, sebagian besar adalah pekerja, yaitu sebanyak 62,2 juta (45,87 persen). Mereka inilah merupakan unsur penting dalam menggerakkan roda perekonomian Indonesia.
Begitu pentingnya peran pekerja, bahkan dapat dikatakan pekerja sebagai tulang punggung dan motor penggerak ekonomi di berbagai sektor. Bukan hanya pada industri pengolahan seperti pabrik-pabrik, tetapi semua sektor ekonomi membutuhkan pekerja untuk menjalankan roda perusahaan. Suatu perusahaan tak dapat berjalan dengan baik tanpa digerakkan oleh pekerja. Oleh kerenanya sangat wajar bila nasib pekerja/buruh harus menjadi perhatian bersama.
Kesejahteraan buruh selama ini masih dipandang dari besarnya tingkat pendapatan atau upah yang diterima oleh mereka. Di tengah kenaikan inflasi yang tinggi saat ini, upah buruh cenderung stagnan. BPS bahkan mencatat berdasarkan hasil Survei Angkatan Kerja Nasional (Sakernas) pada Pebruari 2022 persentase buruh/karyawan/pegawai yang menerima upah/gaji di bawah Upah Minimun Provinsi (UMP) meningkat, yaitu mencapai 50,61 persen dibandingkan Februari 2020 yang hanya 48,66 persen.
Selama dua tahun pandemi Covid-19, yaitu tahun 2020 dan 2021, upah minimum tidak ada kenaikan karena kondisi dunia usaha yang sedang terdampak pandemi. Sementara itu, pada tahun 2022, rata-rata nasional kenaikan upah minimum hanya 1,09 persen, jauh di bawah tren kenaikan inflasi.
Kondisi kesejahteraan buruh tentunya semakin parah dengan adanya kenaikan harga BBM saat ini, karena akan mendorong kenaikan inflasi lebih tinggi serta menggerus daya beli mereka. Walaupun ada Bantuan Subsidi Upah (BSU) bagi pekerja dengan upah minimun, namun tidak cukup untuk menjaga daya beli yang sudah tergerus selama tiga tahun terakhir. Sebab, BSU senilai Rp600.000 hanya diberikan satu kali dan hanya diberikan kepada pekerja formal yang terdaftar di BP Jamsostek. Sementara, masih banyak buruh dengan kondisi rentan yang tidak bisa menerima bantuan karena tidak terdaftar di BP Jamsostek, seperti buruh kontrak, buruh alih daya, buruh harian, buruh lepas, buruh tani dan pekerja rumah tangga.
Kondisi yang cukup memprihatinkan tersebut tentunya tidak bisa dibiarkan tetapi perlu mendapat perhatian, pemikiran dan trobosan yang pro kepada buruh agar taraf hidup dan kesejahteraan mereka bisa ditingkatkan baik melalui perbaikan upah maupun bantuan perlindungan sosial yang bersifat konsumtif maupun produktif.
Perbaikan upah melalui kebijakan upah minimun, kedepan dalam penetapan formulanya agar lebih fleksibel sesuai kondisi ekonomi dan bisa selaras dengan tren peningkatan inflasi akibat kenaikan harga BBM. Selain itu, berbagai program bantuan perlindungan sosial untuk mengurangi beban pengeluaran hidupnya melalui kebijakan-kebijakan sosial seperti pendidikan, jaminan sosial kesehatan, ketenagakerjaan, perumahan buruh, transportasi buruh dan transportasi massal, hingga kredit usaha rakyat (KUR) serta bantuan keterampilan yang bisa dimanfaatkan oleh buruh dan korban pemutusan hubungan kerja yang selama ini telah dijalankan oleh pemerintah hendaknya dapat ditingkatkan cakupannya dan lebih tepat sasaran.
Semoga dengan adanya perhatian dan keberpihakan yang lebih kepada para buruh maka tingkat kesejahteraan mereka akan tetap terjaga dan bahkan meningkat serta dapat menjadi katalis dalam pemulihan ekonomi ditengah goncangan situasi dan kondisi global yang masih terjadi saat ini.