
Dalam konteks politik, posisi kaum perempuan seringkali mendapat diskriminasi dan melahirkan kegaduhan. Setidaknya, kegaduhan ini disulut oleh keikutsertaan perempuan dan sedikitnya keterwakilan perempuan dalam percaturan politik, serta tidak adanya platform partai politik yang secara konkret membela kepentingan perempuan.
Sebab itulah, saya ingin memacu perempuan dan masyarakat Indonesia, turut merealisasikan kuota 30% perempuan di parlemen dalam pemilu 2024, sebagai bentuk transformasi dari politik Indonesia yang arogan, korup dan patriarkis. Lalu, bagaimana menghapus “ortodoksi” mengenai pandangan laki-laki lebih berhak dan cocok menjadi pemimpin, dari pada perempuan?
Perempuan Berpolitik Perspektif Hukum
Sebagaimana yang tertuang dalam Undang-Undang Dasar 1945, sebenarnya, kaum perempuan dapat ikut berpartisipasi dalam segala bidang yang dikehendakinya, artinya tidak ada larangan sedikitpun. Dalam UUD 1945 pasal 27 secara jelas dikatakan, bahwasanya setiap warga negara Indonesia berhak mendapat pekerjaan dan kehidupan yang layak, serta memiliki kedudukan yang sama dalam hukum dan pemerintah, tanpa terkecuali.
Selanjutnya, pada pasal 28 C ayat 2 dijelaskan, bahwa setiap warga negara Indonesia berhak memajukan dirinya, memperjuangkan haknya secara kolektif, untuk membangun masyarakat, bangsa dan negara. Kemudian, pada pasal 6 ayat 1 tertulis bahwa, presiden adalah warga negara Indonesia. Akhirnya, berdasarkan tinjauan hukum-hukum tersebut, dapat saya maknai secara jelas bahwa, sebenarnya tidak ada seperangkat aturan di Indonesia yang menkhususkan laki-laki selalu sebagai seorang pemimpin politik.
Lebih lanjut, faktanya tidak ada seperangkat aturan yang jelas melarang perempuan menjadi pemimpin politik, Seharusnya, dengan ini tidak ada lagi diskriminatif terhadap kaum perempuan, dan juga telah membantah “ortodoksi” mengenai pandangan, jika kaum laki-laki lebih berhak dan cocok menjadi pemimpin dari pada kaum perempuan.
Berdasarkan UU No 10 Tahun 2008 Pasal 8 ayat 1 (d), pada tingkat kepengurusan partai politik tingkat pusat, sekurang-kurangnya harus menyertakan 30% keterwakilan perempuan. Singkatnya, berdasarkan hal ini dapat diartikan bahwa, keikutsertaan dan keterwakilan perempuan di perpolitikan bangsa adalah hal yang vital. Dengan tujuan, menggagalkan terbentuknya sistem sosial budaya, hingga sistem bernegara yang mengabaikan eksistensi perempuan, atau menjadikan perempuan sebagai manusia kelas dua.
Nafsu Berpolitik
Teringat ungkapan seorang aktivis orde lama Soe Hok Gie, jika seandainya perempuan sibuk mengurusi baju dan kecantikan saja, maka perempuan akan selalu di bawah laki-laki. Namun, saya yakin di era-reformasi ini perempuan sudah tercerahkan. Perempuan di Indonesia sudah tidak lagi terbelenggu secara intelektual, seperti dahulu yang tidak diperbolehkan mencicipi pendidikan. Oleh sebab itu, seharusnya perempuan Indonesia tersadarkan, tugas dan tanggung jawab seorang perempuan tidak hanya sebagai pelengkap isi rumah tangga saja. Namun juga harus ikut berpartisipasi memikirkan arah bangsa.
Memaparkan perihal keterwakilan perempuan dan partisipasi perempuan itu sendiri dalam kehidupan politik, khususnya di parlemen negara ini, ternyata masih dianggap remeh-temeh, serta masih ada yang bingung untuk apa perwakilan tersebut. Menurut Lovenduski dalam Perempuan Berparas Politik (2008), sebenarnya ada dua bentuk perwakilan politik perempuan. Pertama, perwakilan deskriptif, yakni sebuah keharusan dimana perempuan berada dalam pembuatan suatu keputusan sebanding dengan jumlah penduduk. Kedua, perwakilan substantif, yakni keharusan para wakil untuk mengarahkan isi keputusan-keputusan sesuai kepentingan kelompok yang diwakili.
Memperhatikan ruang politik sudah mulai terbuka dengan perempuan, maka perempuan haruslah mengimplementasikan hak politiknya secara terbuka pula. Namun, jika dicermati lebih jauh lagi, aktualisasi perempuan dalam perwakilan politik hari ini masih sangat ironis. Tanpa menghilangkan rasa bangga dan terima kasih, kepada aktivis perempuan yang telah dulu berjuang atas partisipasi keterwakilan perempuan dari legislatif ataupun eksekutif.
Sungguh sangat mengkhawatirkan dan ironis, jika perempuan lemah syahwat dalam berpolitik, sebab berpolitik adalah organ intim penghasil adil makmurnya masyarakat. Menurut Subono N,I dalam perempuan dan partisipasi politik (2013), setidaknya ada dua faktor utama yang menjadi hambatan, yang saya sebut sebagai faktor utama lemahnya syahwat perempuan dalam berpolitik.
Pertama, anggapan bahwa perempuan tidak berhak dan cocok menduduki posisi pemimpin dalam politik. Kedua, tuntutan tinggi kepada perempuan jika seandainya memegang kekuasaan harus mampu segalannya. Tentu faktor ini akan menjadi kendala kuat untuk perempuan mengakses kekuasaan yang tersebar diberbagai lembaga sosial dan politik.
Memacu Perempuan Untuk Berpolitik
Kondisi konkret politik Indonesia hari ini, representasi kaum perempuan dalam politik masih jauh dari harapan. Perempuan terkesan alergi membahas politik, serta ogah-ogahan untuk terjun ke dunia politik. Oleh karena rendahnya partisipasi perempuan dalam politik, sehingga berakibat kepada kepentingan perempuan, yang kurang terakomodasi dalam kebijakan publik. Padahal, sebagian besar kebijakan publik menempatkan perempuan sebagai sasarannya.
Oleh sebab itulah, saya ingin memacu perempuan di Indonesia, agar melakukan peningkatan dalam partisipasi politik dengan cara berikut. Pertama, perlunya kesadaran bahwa laki-laki dan perempuan, mempunyai hak dan kewajiban yang sama dalam negara. Masing-masing individu harus menyadari, bahwa laki-laki dan perempuan dapat berkontribusi dengan porsi yang sama dalam negara, tanpa niatan menghegemoni dari kaum laki-laki serta perasaan minder dari kaum perempuan. Akhirnya, wajah penuh diskriminasi dalam negara ini segera sirna.
Kedua, perempuan harus memanfaatkan peluang berperan aktif dalam seluruh kegiatan bermasyarakat dan bernegara. Perempuan harus percaya diri dan mengaktualisasikan potensi dirinya secara maksimal, hal ini untuk membisukan suara minor bahwa perempuan tidak mampu dan bisa berbuat. Ketiga, perlunya manisfetasi partai politik dalam melibatkan perempuan, serta menjadikan kepentingan perempuan sebagai dasar yang fundamental.
Dengan kondisi seperti ini, perempuan tidak memiliki nilai tawar-menawar lagi untuk terjun ke dunia politik. Berpolitik bagi perempuan bukan berarti hanya menjadi bagian legislatif, maupun eksekutif. Namun, bagaimana pembuktian dan aktualisasi kaum perempuan dalam penentuan sikap, dan melakukan kontrol atas keputusan politik.
Tidak hanya itu, ada beberapa upaya perempuan dalam memaksimalkan partisipasinya dalam politik. Pertama, membangun kemitraan dengan kaum laki-laki, untuk menampakan wajah pemberdayaan perempuan sebetulnya tidak mengancam laki-laki. Kedua, ikut secara aktif dalam jaringan organisasi dan gerakan-gerakan seperti perjuangan HAM, advokasi lingkungan, hubungan perburuhan serta resolusi perdamaian.
Ketiga, meningkatkan kemampuan intelegensia, emosional dan spiritual. Agar mampu memobilisasi, advokasi dan mengidentifikasi masalah serta mengagas solusi. Semua itu untuk membangun kemampuan kepemimpinan. Keempat, menggalang dukungan masyarakat teruntuk menjalankan niat baik untuk memperjuangkan masyarakat.
Sebagai penutup, setelah menafsirkan bagaimana posisi perempuan dalam dunia politik ini, saya berharap semakin banyak bermunculan aktivis perempuan di Indonesia, jembatanilah kepentingan masyarakat terkhusus perempuan dengan ikut bertarung pada PEMILU 2024 mendatang. Kuota 30% keterwakilan perempuan di legislatif, eksekutif, dari tingkat daerah sampai pusat, harus segera diwujudkan. Tujuannya bukan hanya memenuhi target banyaknya perempuan saja. Namun, berlabuhlah pada bermuculannya kebijakan, program terwujudnya perempuan yang berdaya, menuju Indonesia maju. SEMOGA.