Kematian Brigadir Joshua Simanjuntak menjadi daftar kesekian lagi daftar kebengisan kekuasaan pimpinan Kepolisian Republik Indonesia. Ada semacam kejanggalan di dalam tragedi sambo yang terjadi beberapa hari lalu. Terkesan kejadian beberapa hari yang lalu ditutup-tutupi, sejumlah fakta mulai tersebar akibat berita yang ditangkap sejumlah media. Yang pasti, dari pihak keluarga dari Brigadir J telah melaporkan kejadian tersebut ke pihak Badan Reserse Kriminal (Bareskrim) Kepolisian Republik Indonesia pada senin, 18 Juli 2022.
Laporan Brigadir J dalam pandangan penulis sudah bisa dilaporkan beberapa hari yang lalu. Anehnya, kenapa pihak keluarga Brigadir J baru melaporkan kasus tersebut beberapa hari setelahnya. Dalam sejumlah fakta yang mulai terbongkar ke publik, ditemukan adanya sejumlah pasal yang dilanggar oleh Kadiv Propam Polri Irjen Ferdy Sambo.
Pertama, pasal Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Selain KUHAP, Sambo juga melanggar Peraturan Kapolri Nomor 8 Tahun 2009 tentang Implementasi Prinsip dan Standar Hak Asasi Manusia (HAM) dalam penyelenggaraan Tugas Polri. Sebagaimana termaktub dalam pasal 33 ayat (2) tentang beleid yang mengatur dengan jelas bahwa penggeledahan tempat atau rumah harus dilakukan dengan sepengetahuan ketua lingkungan (ketua RT setempat). sedangkan dalam huruf b, dijelaskan bahwa penggeledahan dilarang dilakukan tanpa memberitahukan ketua lingkungan setempat tentang kepentingan dan sasaran penggeledahan.
Kedua, mencuat kembali people power atas jabatan yang dipegang Irjen Ferdy Sambo karena Sambo merupakan petinggi polri yang memegang jabatan yang tak remeh bagi tampuk kekuasaan polri. Norma hukum dan beleid yang dimainkan pimpinan polri sebetulnya masih banyak yang belum diungkap secara transparan ke publik. Kemudian, timbul pertanyaan apakah betul kasih ini betul-betul murni pelecehan tanpa ada udang dibalik yang sebenarnya? Apalagi penuntutan Irjen Ferdy Sambo dalam laporan tercatat sebagai pembunuhan berencana.
Ketiga, kejanggalan pembuatan tim khusus yang dibentuk Kapori Jenderal Pol Listyo Sigit Prasetyo diduga sebagai bentuk mekanisme pertahanan terhadap sejumlah asumsi liar publik yang nantinya akan berpengaruh terhadap hukum yang akan dijalani Irjen Ferdy Sambo. Etika dan simbolis publik mulai kian menekan keberadaan keluarga Brigadir J. Tak pelak kehadiran pihak-pihak yang akan menjadi penanggung jawab memberi kesan bahwa hukum yang ada sekarang telah banyak dikuliti dari beberapa insiden. Lucunya, Mahfud MD sudah melihat akan adanya kejanggalan berupa konflik kepentingan berupa permainan kongkalikong.
Proses ini harus dibuka secara transparan dan profesional tanpa ada pertanyaan aneh dari warga masyarakat. Jangankan untuk menanyakan secara kritis, sekiranya ada keanehan dalam proses penyelidikan Sambo cs, maka bisa diduga bahwa ada permainan bawah meja yang tidak dihendaki masyarakat. Secara sosiologis, polri jika ingin aman dari kecaman masyarakat semestinya mengikuti alur atau mekanisme yang berlaku dalam aturan kepolisian republik Indonesia.
Intinya, transparansi mesti diwujudkan secara terbuka demi menjaga citra polisi karena citra polri sudah melemah akibat sejumlah kasus dimasa lalu. Kepekaan polri secara instuitif mesti mampu menjawab sejumlah kejanggalan yang diduga praduga masyarakat akhir-akhir ini.