Oleh : Dayankglov (Penulis dan Pemerhati sosial masyarakat)
Mau bilang high tech tetapi blunder! Ya, baru-baru ini per tanggal 1 juli 2022 diberlakukan pembatasan pembelian bahan bakar minyak (BBM) jenis Pertalite dan solar dengan menggunakan aplikasi atau website MyPertamina. Pemerintah dan PT Pertamina (Persero) mengklaim pemberlakuan ini untuk memastikan subsidi energi, terutama bahan bakar minyak (BBM) Pertalite dan solar tepat sasaran. Artinya, pengguna BBM bersubsidi tersebut adalah rakyat yang tidak mampu.
Sebagai langkah awal, pertamina mulai membuka ujicoba pendaftaran untuk mendata masyarakat yang berhak menerima BBM bersubsidi melalui situs atau aplikasi MyPertamina di 11 kabupaten dan kota. Diantaranya tersebar di lima provinsi yaitu Sumatra Barat, Kalimantan Selatan, Sulawesi Utara, Jawa Barat, dan DI Yogyakarta. (cnnindonesia.com/29/06/2022).
Pembatasan dengan instrumen baru ini dilakukan ketika beban biaya subsidi energi yang harus dibayarkan atau ditanggung oleh Pemerintah Indonesia membengkak hingga Rp. 520 triliun. Menjadi sebuah sejarah baru bagi Indonesia dengan nilai subsidi tertinggi. Hal ini diakibatkan adanya lonjakan harga minyak dunia yang naik. (BBC, 01/07/2022).
Laporan Indonesia Economic Prospect edisi Juni 2022 oleh Bank Dunia menyebutkan bahwa Indoensia perlu menyesuaikan harga BBM didalam negeri karena subsidi yang ditanggung pemerintah konon lebih banyak dinikmati kalangan menengah atas. Menurutnya, penghapusan subsidi akan menghemat 1% dari PDB Indonesia dengan tujuan agar bisa membantu masyarakat kelas menengah ke bawah lewat penambahan bantuan sosial.
Namun, yang menjadi masalah disini dengan adanya penerapan sistem pembelian BBM berbasis digital justru akan berpotensi menjauhkan masyarakat miskin yang minim akses internet dari kesempatan untuk mengakses BBM bersubsidi. Padahal, merekalah sasaran utama dari program ini. Belum lagi masyarakat miskin yang tidak memiliki gawai android. Jangankan high tech, kondisi ini justru berpotensi blunder.
Jika kita cermati, adanya pembatasan suplai BBM bersubsidi ini tidak jauh dari kebijakan liberal dengan legalisasi UU Migasnya. Mengingat hal seperti ini pernah terjadi pada BBM jenis Premium. Dimana dalih yang digunakan dengan menyebut bahwa BBM subsidi mulai langka. Ini adalah upaya untuk menghilangkan suplai BBM subsidi itu sendiri.
Liberalisasi migas muncul saat lahirnya UU Migas (UU 22/2001). Dalam UU tersebut, khususnya pasal 28 ayat (2), memuat tentang pelepasan harga minyak dan gas bumi yang mengikuti harga pasar. Ketika pemerintah Indonesia dan IMF menandatangani Letter of Intent (Lol) pada 1998, hal ini berdampak pada pelepasan harga BBM ke mekanisme harga internasional. Alhasil, subsidi migas wajib dikurangi, bahkan dicabut dan liberalisasi migas pun terus bergulir.
Meskipun pasal 28 dalam UU Migas itu telah dibatalkan MK. Akan tetapi, faktanya liberalisasi migas masih terus terjadi, bahkan semakin santer. Perubahan melalui UU 11/2020 tentang Cipta Kerja (Omnibus Law UU Cipta Kerja) nyatanya juga belum melaksanakan amanat putusan MK hingga saat ini.
Syariah Islam memandang bahwa BBM adalah sumber daya milik rakyat. Oleh karenanya, Islam tidak membenarkan adanya penguasaan oleh individu ataupun korporasi besar. Terlebih lagi nasib rakyat sendiri yang akhirnya ikut tergadai akibat liberalisasi migas ini yang menyebabkan rakyat semakin kesulitan untuk mendapatkan BBM murah. Sudah sulit dapat BBM murah, ditambah sulit lagi dengan adanya pembelian BBM subsidi berbasis android. Boro-boro bisa beli BBM murah, yang ada justru mereka kesulitan untuk mendapatkan perangkat gawainya.
Sebenarnya dalam syariah Islam sendiri sama sekali tidak antiteknologi, tetapi Islam justru sangat berkomitmen pada kemudahan suatu urusan, apalagi urusan yang menyangkut orang banyak. Maka, wajib dipermudah dan kalaupun ada yang mudah, kenapa kita harus memilih yang sulit? Ya, kan?
Rasulullah saw. Pernah mengingatkan kita dalam sabdanya, “ Ya Allah, siapa yang mengurusi satu perkara umatku, lalu ia menyulitkan umat, maka persulitlah ia. Dan siapa yang mengurusi perkara umatku, lalu ia memudahkannya, maka permudahlah ia.” (HR. Muslim)
Kebijakan perihal BBM ini juga termasuk salah satu bentuk kezaliman penguasa kepada rakyat. Oleh karenanya, kita tidak boleh berdiam diri. Sudah saatnya, masyarakat harus lebih kritis lagi terhadap kezaliman-kezaliman yang ada dengan terus menggencarkan kontrol sosialnya. Karena ini juga termasuk bagian dari muhasabah lil hukkam. Sebagaimana hadist nabi saw, yang artinya, “ Jihad yang paling utama ialah mengatakan kebenaran dihadapan penguasa yang zalim.” (HR. Abu Dawud).