
Roti lapis atau roti isi (bahasa inggris: sandwich) adalah makanan yang biasanya terdiri dari sayuran, keju atau daging yang diiris, diletakkan di atas atau di antara irisan roti. Sandwich populer sebagai makanan praktis yang sering dibawa sebagai bekal bekerja, sekolah atau piknik. Makanan terkenal di dunia Barat, meski seiring waktu telah berkembang di seluruh dunia.
Namun istilah generasi roti lapis atau sandwich generation mempunyai makna yang bagi sebagian besar orang mungkin belum begitu familiar. Istilah ini sering dikaitkan dengan generasi milenial. Adalah Dorothy A. Miller, profesor dari Universitas Kentucky, Amerika Serikat yang mencetuskan istilah ini pada tahun 1981. Dorothy mendefinisikan generasi sandwich sebagai kelompok individu yang bertanggung jawab atas kehidupan orang tua dan anak-anak mereka. Atau dengan kata lain generasi roti lapis (sandwich generation) merupakan sebuah istilah bagi generasi yang terhimpit secara finansial untuk mencukupi kebutuhan generasi di atas nya (orang tua/anggota keluarga) dan generasi di bawahnya (anak), serta kebutuhan dirinya sendiri.
Populasi generasi sandwich
Hasil Sensus Penduduk 2020 Kalimantan Selatan menyajikan informasi menarik terkait hal tersebut diatas untuk dicermati. Dibandingkan hasil SP2010 terjadi penambahan penduduk sebesar 431 ribu jiwa, sehingga jumlah penduduk pada tahun 2020 mencapai 4.073.584 jiwa. SP2020 juga memotret struktur penduduk Kalimantan Selatan yang dikelompokkan menurut usia. Mengacu pada Frey (2020), penduduk Indonesia dikelompokkan menjadi enam generasi, pre-boomer berusia 75 tahun ke atas (1,25%), baby boomer berusia 56-74 tahun (10,00%), dan generasi X berusia 40-55 tahun (22,55%) sebagai generasi tua. Generasi muda ditandai oleh generasi milenial berusia 24-39 tahun (26,59%), generasi Z berusia 8-23 tahun (28,32%), dan generasi post gen Z berusia di bawah 8 tahun (11,29%). Data ini menegaskan lebih dari separuh penduduk Indonesia atau 66,20% adalah generasi milenial, generasi Z, dan generasi post Z yang menjadi tumpuan masa depan Indonesia.
Namun struktur penduduk Indonesia ini selain dilihat sebagai sebuah potensi namun juga bisa dilihat sebagai masalah. Jika dicermati lebih lanjut, kelompok produktif yang sekarang bekerja didominasi generasi X dan generasi milenial, berbanding dengan kelompok tidak produktif seperti generasi orang tua (pre baby boomer, baby boomer) dan generasi anak-anak yang masih studi (generasi Z, generasi post gen Z). Perbandingan 49,14% dengan 50,86%, artinya kelompok produktif harus menopang 4 generasi lain yang sudah tidak produktif dan belum produktif, yang tentu menjadi beban tersendiri. Komposisi kelompok produktif dan tidak produktif ini mempertegas munculnya sandwich generation dalam masyarakat banua.
Sandwich generation banyak dijumpai pada negara-negara berkembang seperti Indonesia yang dikenal mempunyai nilai-nilai kekerabatan dan kekeluargaan yang sangat kuat. Budaya keluarga besar (extended family) masih berkembang di Indonesia yang memungkinkan lanjut usia (lansia) tinggal bersama keluarga dan umumnya lansia masih mempunyai kedudukan yang cukup tinggi sebagai orang tua yang harus dihargai dan dihormati, karena lebih banyak mempunyai pengalaman sehingga pendapatnya masih dibutuhkan dalam pengambilan keputusan keluarga. Sebuah penelitian terhadap masyarakat tradisional Asia menunjukkan bahwa orang tua masih tinggal dengan keluarga anaknya. Taiwan 83%, Thailand dan Philipina 92%, 83% di China, 82% di Malaysia dan 69% di Jepang.
Himpitan sandwich generation akan menjadi ringan jika secara finansial mereka sudah mapan, sehingga dapat membantu ekonomi generasi di atasnya selain menanggung kebutuhan keluarga. Lain cerita jika secara finansial belum cukup mapan, akan terasa sangat berat jika mereka diharuskan membantu orang tua dan saat bersamaan juga harus menghidupi keluarga intinya, termasuk membiayai pendidikan anak-anaknya.
Generasi ini sangat rentan mengalami tekanan psikologis karena perannya sebagai penyokong hidup keluarga. Posisi mereka berada di tengah-tengah, ‘diimpit’ orang tua yang sudah tidak lagi punya penghasilan untuk membiayai hidup bulanan dan anak-anak yang harus dibesarkan dengan layak. Kondisi terjepit bak sandwich ini kerap menimbulkan stres pada generasi milenial yang kemudian berpengaruh besar pada kehidupan keluarga maupun sosialnya. Menurut studi di dunia Barat, 47% orang dewasa berusia 40-50 tahun terjebak generasi sandwich. 2 dari 5 pria, serta 40% wanita yang berada dalam generasi sandwich merasakan stress berat.
Memutus Mata Rantai Generasi Sandwich
Di sinilah sandwich generation dituntut memiliki literasi keuangan yang baik untuk mengatur keuangan keluarganya, baik untuk kepentingan keluarga inti maupun orang tua. Ada banyak alternatif bagi sandwich generation untuk membantu orang tuanya, seperti mengikutsertakan orang tua dalam asuransi kesehatan atau membantu keuangan orang tua tanpa mengorbankan keperluan dari anak-anaknya.
Literasi keuangan yang baik untuk mengatur keuangan keluarga merupakan tuntutan yang harus dimiliki oleh sandwich generation. Kewajiban untuk membantu orang tua tetap bisa dilakukan, misal dengan mengikutsertakan orang tua dalam program asuransi kesehatan atau membantu keuangan orang tua tanpa mengorbankan keperluan dari anak-anaknya. Namun yang lebih penting untuk dilakukan adalah upaya memutus mata rantai sandwich generation pada generasi berikutnya. Hal ini dilakukan agar di kemudian hari saat sandwich generation ‘menua’ tidak merepotkan anak-anaknya, terutama secara finansial. Dengan kata lain, sandwich generation tidak melahirkan sandwich generation berikutnya.
Sandwich generation harus mempersiapkan tabungan hari tuanya dengan ‘tidak berlebihan’ dalam kehidupannya, termasuk dalam membiayai anak-anaknya. Dana hari tua dapat dibangun dari kesadaran berinvestasi sedini mungkin. Investasi itu sendiri berarti menempatkan sejumlah dana pada waktu tertentu dengan harapan dana itu memberikan peningkatan nilai. Investasi pada instrumen investasi yang tepat menjadi pilihan agar sandwich generation di hari tuanya tidak membebani generasi sesudahnya atau anak-anaknya.
Data SP2020 menjadi peringatan dini bagi kita semua, seiring kesehatan masyarakat yang meningkat yang ditandai dengan angka harapan hidup semakin panjang, diikuti juga dengan semakin mahalnya biaya hidup menuntut setiap orang mengelola kehidupannya dengan baik, termasuk untuk masa tidak produktifnya.
Sebagai upaya memutus mata rantai sandwich generation, perlu dibangun literasi keuangan, kesadaran berinvestasi, dan pengetahuan investasi yang memadai akan membuat sandwich generation di masa tuanya mempunyai hidup layak dan mandiri, serta tidak menjadikan anak-anaknya sebagai sandwich generation baru.