
Pentingnya edukasi seksual yang humanis dari usia dini, dapat memberikan peluang yang besar untuk menjadikan suatu individu yang dapat menerima keberagaman dan keunikan antar manusia. Dengan kata lain, secara sederhana dari penerimaan terhadap keberagaman maupun keunikan antar manusia tersebut, dapat meminimalisir suatu individu menjadi bigot dan merangkul erat toleransi dalam napas kebhinnekaan. Walaupun dalam tarikan napas tersebut, juga kerap memunculkan individu atau kelompok sosial yang intoleransi, kita tetap harus menggunakan pendekatan yang humanis dengan mengedepankan dialog daripada penggunaan otot maupun senjata.
Di sisi lain, kita juga tidak boleh berkompromi dengan intoleransi tersebut. Memang cukup paradoks, namun Karl Popper telah mengetengahkan bahwa toleransi memiliki batas agar toleransi itu sendiri tidak hilang. Apa batas toleransi yang dimaksud? Ialah tidak toleran terhadap hal-hal yang intoleran (Popper, 1945:581). Namun sayangnya, hal ini masih menjadi pekerjaan yang cukup melelahkan dan berliku panjang, karena masih banyak stigma maupun kesesatan berpikir yang tidak hanya terjadi di kalangan masyarakat secara luas bahkan juga menyelimuti kalangan civitas akademika, khususnya di lingkungan kampus.
Berangkat dari beberapa tulisan mengenai doktrin mengenai “bahaya homoseksual”, “penolakan terhadap lesbian, gay, biseksual, transgender, interseks, queer, dan lain-lain/LGBTIQ+”, bahkan nada-nada sumbang lainnya yang menyerukan permusuhan atau pemusnahan minoritas kelompok rentan lainnya, yang jauh dari spirit kemanusiaan yang adil dan beradab. Dalam tulisan saya kali ini, ingin menawarkan sebuah sudut pandang mengenai pentingnya keberagaman dan keunikan manusia, agar napas toleransi tidak digembosi oleh para bigot yang tentu bahaya bagi nilai-nilai kemanusiaan. Karena sungguh, realitas penggembosan seperti itulah yang menguatkan dikotomi ketegangan politik identitas yang tentu saja sedang “tren” pada dasawarsa terakhir, akibat isu-isu elitis wabilkhusus mengenai wacana perebutan kekuasaan dalam politik elektoral atau pemilu.
Berangkat dari penelitian Calhoun mengenai eksperimen universe 25-nya, yang kerap disangkut-pautkan dengan “bencana” keberadaan LGBTIQ+, menunjukkan suatu kejanggalan dan kecenderungan yang tidak mendasar. Mengapa demikian? Karena penelitian tersebut ditujukan untuk menjawab pertanyaan mengenai isu geografi sosial (kependudukan) maupun sosiologi, bukan mengenai isu gender maupun orientasi seksual. Sebelumnya, saya tidak bermaksud melakukan pengotakan disiplin ilmu, saya sadar betul pentingnya lintas disiplin pada dewasa ini.
Maka upaya saya dalam tulisan kali ini sebagai menjernihkan, jika tidak, saya berupaya mendudukkan hal yang sebenarnya. Kembali dalam penelitian Calhoun, penelitian tersebut memperlihatkan adanya semacam validasi kekhawatiran Malthus (1798) bahwa akan ada ketidakseimbangan antara pertumbuhan penduduk yang terus bertambah di suatu tempat dengan ketersediaan pangan. Karena menurut Malthus, pertumbuhan penduduk mengikuti deret ukur (misal; 2 menjadi 4, 4 menjadi 8, 8 menjadi 16, dan seterusnya), tidak akan terdukung oleh kemampuan produksi pangan yang pertumbuhannya mengikuti deret hitung (misal; 1 menjadi 2, 2 menjadi 3, 3 menjadi 4, dan seterusnya).
Pembuktian dari penelitian Calhoun, berangkat dari sedikit (populasi) tikus hingga mengakibatkan banyaknya (populasi) tikus dalam suatu ruang yang mengakibatkan kondisi keos. Kondisi tersebut terjadi karena terciptanya kepadatan populasi. Sehingga kepadatan populasi tersebut memunculkan variabel, seperti terciptanya strata sosial (mungkin terkait ageism?) maupun klaim atas ruang hidup yang mengakibatkan kompetisi atau saling bunuh untuk mempertahankan atau merebut ruang dan pangan. Biasanya, dalam penelitian tersebut ditambahkan variabel lain, yaitu perilaku homoseksual sebagai suatu virus dalam populasi tersebut. Namun, virus seperti apakah yang dimaksud? Jika virus yang dimaksud adalah HIV, bukankah salah satu faktor resikonya berasal dari hubungan intim yang dilakukan tanpa pengaman (kondom) yang juga bisa terpapar pada pasangan heteroseksual? Lalu, apakah betul virus tersebut lebih ganas daripada bencana kepadatan penduduk yang mengakibatkan kelaparan massal dan terjadinya suatu “kiamat”? Atau katakanlah keberadaan kelompok LGBTIQ+ sebagai pembawa virus HIV, mengapa keberadaan LGBTIQ+ dari ratusan ribu tahun lalu hingga kini masih dapat berdampingan dengan kita, baik dalam realitas sosial yang plural, hingga realitas kebudayaan misalnya dalam keberagaman gender seperti di Bugis?
Maka dari itu, sebenarnya tidak mengherankan pula bahwa LGBTIQ+ sebagai suatu diskursus dalam kajian gender maupun kajian seksual, yang barang tentu sudah cukup banyak universitas di Indonesia yang menjadikan dua kajian tersebut sebagai konsentrasi bahkan prodi yang tersentralisasi. Tentu hal ini menampik bahkan mungkin upaya menetralisir stigma yang terus melekat hingga turun-temurun di kalangan akademis? Agar keluar dari kesesatan berpikir intelektual yang dikonsepsikan oleh Francis Bacon sebagai “manusia gua” (idol of the cave) yang berambisi menjadi “manusia suku” (idol of the tribe).
Contoh lainnya bahwa LGBTIQ+ bukanlah suatu penyimpangan atau tindakan yang menyimpang, datang dari pendekatan segi psikologis, medis, hukum, maupun hak asasi manusia (HAM). Hal ini telah dibuktikan sejak 17 Desember 1973, bahwa American Psychiatric Association (APA) menyatakan kalau homoseksual bukanlah penyakit mental dalam Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders (DSM-III), hingga DSM-IV (1994), dan DSM-IV TR (2000), yang menghapus homoseksual sebagai penyimpangan atau kelainan seksual. Begitupun pada 17 Mei 1990, World Health Organization (WHO), juga menghapus homoseksual dari klasifikasi internasional tentang penyakit. Bahkan di Indonesia sendiri mengakuinya, berdasarkan Pedoman Penggolongan dan Diagnosis Gangguan Jiwa edisi II (PPDGJ 1983) dan Pedoman Penggolongan dan Diagnosis Gangguan Jiwa edisi III (PPDGJ 1993), Departemen Kesehatan Republik Indonesia, pada point F66, bahwa orientasi seksual (homoseksual, heteroseksual, biseksual), bukan gangguan kejiwaan. Selain itu, landasan hukum dan HAM yang berlaku, termaktub dalam konstitusi di Indonesia, UUD 1945 Pasal 28I, Yogyakarta Principle (2007), sebagai panduan global bagi upaya penghapusan stigma dan diskriminasi bagi kelompok LGBTIQ+.
Dengan demikian, perlu ditekankan kembali, ketika bicara mengenai LGBTIQ+, tentu tidak terlepas dari orientasi seksual, identitas gender, dan ekspresi karakteristik seks. Tentu, di dalamnya juga meliputi; (i) identitas gender yang memiliki spektrum non-gendered hingga women-ness atau man-ness, (ii) ekspresi gender dari spektrum agender hingga masculine atau feminine, (iii) biologis seks dari asex hingga female-ness atau male-ness, dan (iv) daya tarik dari nobody hingga man/males/masculinity atau woman/females/femininity. Hal ini lagi-lagi membuktikan bahwa, identitas manusia sangat kompleks, unik, dan beragam. Tidak hanya terjebak dalam kebanalan biner yang jumud dan cenderung tidak terbuka terhadap keberagaman yang membawa pada arus konflik.
Maka seharusnya keberagaman dan keunikan individu manusia dapat dipahami sebagai kesadaran manusia sebagai makhluk yang mengada (exist). Alangkah baiknya, manusia dianggap sebagai subjek bukan objek yang dapat direduksi seperti benda mati; yang tidak memiliki pemikiran, emosi, perasaan, ketertarikan, kehendak, dan seterusnya, yang mendukung faktor-faktor prinsip-prinsip keutuhan manusia. Terlebih, bangsa ini dengan prinsip kebhinnekaan-nya, selalu dalam napas memanusiakan manusia. Jadi untuk apalagi kita takut terhadap keberagaman dan keunikan manusia lainnya? Bukankah Tuhan juga menciptakan manusia dalam keberagaman dan keunikan?