JAKARTA – PT Pertamina Patra Niaga akan menyesuaikan STNK dan nomor polisi pengguna dengan data yang didaftarkan di MyPertamina saat membeli bahan bakar minyak (BBM) jenis pertalite dan solar per 1 Juli 2022.
Pjs Corporate Secretary PT Pertamina Patra Niaga Sub Holding Commercial & Trading Pertamina Irto Ginting mengatakan saat ini pendaftaran untuk pembelian Pertalite juga masih terbuka umum.
“Untuk Pertalite memang masih terbuka, sehingga pencocokan data melihat data nopol (nomor polisi) yang didaftarkan, dengan nopol pada gambar dan STNK nya,” ungkap Irto.
Sementara kriteria pembeli solar akan disesuaikan dengan Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 191 Tahun 214 Tentang Penyediaan, Pendistribusian dan Harga Jual Eceran Bahan Bakar Minyak .
Irto juga mengatakan infrastruktur MyPertamina juga sudah siap untuk melayani pembeli pertalite atau solar yang wajib daftar mulai 1 Juli 2022. “Infrastruktur sudah siap,” ujar Irto.
Dalam hal ini Pertamina akan mewajibkan masyarakat mendaftar terlebih dahulu sebelum membeli pertalite dan solar mulai 1 Juli 2022.
Masyarakat bisa mendaftar di aplikasi atau website MyPertamina. Setelah itu, manajemen akan mengkonfirmasi apakah kendaraan yang didaftarkan berhak untuk mendapatkan pertalite atau solar.
Jika sudah terkonfirmasi, pengguna akan mendapatkan QR code khusus yang menunjukkan bahwa data mereka cocok. Dengan demikian, pengguna bisa membeli pertalite dan solar.
Sementara itu, Pengamat Minyak dan Gas (Migas) Komaidi Notonegoro mengatakan bahwa untuk jangka pendek langkah yang diambil Pertamina paling rasional, tetapi bukan berarti yang paling tepat.
Pasalnya, ia menilai skema yang paling pas untuk menyalurkan subsidi tepat sasaran adalah subsidi langsung. “Namun sebelum ke sana mekanisme yang dipilih Pertamina tersebut dapat menjadi jembatan,” kata dia.
Meski demikian, ia melihat bahwa implementasi pembelian BBM subsidi di lapangan tidak akan mudah diterapkan. Sebab, kebijakan itu bisa menimbulkan antrean yang panjang, terutama jika pembeli yang datang masih gagap teknologi atau bahkan tidak memiliki smartphone.
Kemudian, lanjut Komaidi, mereka yang tidak memiliki smartphone maka akan menambah beban pengeluaran. Padahal, mereka adalah kelompok miskin yang sangat membutuhkan bantuan.
“Ini juga menjadi perhatian bahwa pembatasan berpotensi menimbulkan masalah turunan di lapangan. Apalagi ini pembatasan ini juga pernah dilakukan di pemerintahan sebelumnya namun tidak berhasil. Jadi kalau bertolak dari sebelum-sebelumnya efektivitasnya perlu menurut saya perlu dikaji ulang,” jelasnya.
Selain itu, masalah lain yang bisa ditimbulkan adalah konflik di SPBU antara petugas dan calon pembeli. Sebab, tak semua masyarakat membeli mau diberikan pengertian bahwa ia bukan sasaran penerima BBM subsidi. cnn/mb06