BANJARMASIN – Mantan Kepala Dinas ESDM Kabupaten Tanah Bumbu, Raden Dwidjono Putrihadi Sutopo yang menjadi terdakwa kasus dugaan suap terkait izin usaha pertambangan (IUP) dinyatakan terbukti bersalah.
Majelis hakim yang dipimpin Yusriansyah SH MH pada Pengadilan Tipikor Banjarmasin yang menyidangkan perkara pun, menjatuhkan vonis kepada Dwidjono 2 tahun penjara.
Pada sidang lanjutan dengan agenda putusan, yang digelar Rabu (22/6), majelis hakim menyatakan bahwa terdakwa secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana sebagaimana pasal 11 UU No 31 tahun 1999, tentang gratifikasi.
Selain itu, terdakwa yang mengikuti sidang secara daring dari Lapas Kelas IIA Banjarmasin, juga dijatuhi hukuman membayar denda sebesar Rp500 Juta atau subsidair 4 bulan kurungan.
“Menjatuhkan pidana terhadap terdakwa dengan pidana penjara selama 2 tahun dan denda sebesar Rp 500 juta. Dengan ketentuan apabila tidak dibayar maka diganti dengan penjara kurungan selama 4 bulan,” tegas Yusriansyah, yang juga mantan Ketua PN Nunukan ini.
Vonis yang dijatuhkan majelis hakim ini lebih rendah dibanding tuntutan jaksa penuntut umum (JPU). Jaksa menuntut terdakwa dipidana penjara 5 tahun dan denda Rp 1,3 miliar, subsider hukuman penjara satu tahun.
Majelis hakim juga berkeyakinan terdakwa Dwidjono bersalah melakukan tindak pidana korupsi dan tindak pidana pencucian uang (TPPU) sebagaimana dakwaan pertama kesatu dan dakwaan kedua primer.
Yakni, Pasal 12 huruf a jo Pasal 18 Undang-Undang (UU) Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dan ditambah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Selanjutnya, Pasal 3 UU Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang. Dalam pertimbangannya, majelis hakim mengenyampingkan dalil pembelaan terdakwa bahwa uang senilai lebih dari Rp 13 miliar yang diserahkan almarhum Henry Soetio kepada terdakwa melalui perantara Yudi Aron merupakan utang-piutang.
Majelis hakim juga tidak sepakat dengan JPU yang dalam dalil tuntutannya menyebutkan terdakwa menerima uang Rp 27 miliar lebih, melainkan hanya Rp 13 miliar lebih.
Tak adanya bukti perjanjian utang-piutang dan rumitnya mekanisme penyerahan uang dinilai majelis hakim sebagai cara yang dilakukan untuk menyembunyikan perbuatan sesungguhnya yakni pemberian.
“Rangkaian kegiatan itu menyamarkan pemberian uang seolah-olah pinjam-meminjam,” ujar kata majelis hakim membacakan amar putusannya secara bergantian.
Tim Penasihat Hukum Terdakwa, Lucky Omega Hasan menyatakan, mengapresiasi kebijaksanaan Majelis Hakim dalam memutuskan perkara tersebut.
“Klien kami masih pikir-pikir, tapi intinya kami mengapresiasi putusan tersebut,” ujar Lucky.
Terkait vonis hakim tersebut, JPU Wendra Setiawan dari Kejari Tanah Bumbu tidak memberikan komentar banyak. “Karena ini perkara Kejaksaan Agung, silakan minta komentarnya dari Puspenkum,” ujarnya.
Menurutnya, kalau fakta hukum yang terungkap selama proses persidangan, terdakwa terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah sebagaimana pada pasal 12 KUHP No 31 tahun 1999 Jo pasal 3 tentang tindak pidana pencucian uang
JPU Wendra menuntut terdakwa Dwidjono Putrihadi Sutopo selama 5 tahun penjara denda Rp 1,3 miliar atau subsidair satu tahun kurangan.
Dalam dakwaan bermula Direktur Utama PT Prolindo Cipta Nusantara (PCN) yang dipimpin almarhum Henry Soetio tahun 2010 berencana melakukan kegiatan usaha pertambangan Batubara di Tanah Bumbu. Henry berencana memperoleh Izin Usaha Pertambangan (IUP).
Pada awal 2010, Henry bertemu dengan Mardani selaku Bupati Tanah Bumbu. Kemudian, pada pertengahan Tahun 2010, Mardani memperkenalkan Henry Soetio dengan terdakwa Dwidjono.
Sebagai tindak lanjut pertemuan tersebut, Kadis ESDM bertemu kembali dengan Henry untuk memproses pengurusan IUP dengan cara mengalihkan IUP milik PT Bangun Karya Pratama Lestari (BKPL) menjadi IUP PCN.
Dengan dalih melakukan pinjaman, Dwidjono meminjam uang kepada Henry Soetio guna keperluan modal kerja usaha pertambangan sebagai bekal penghasilan pada saat pensiun di tahun 2016.
Pada awal tahun 2021, pinjaman yang dilakukan oleh Dwidjono kepada Henry Soetio dilaporkan ke Kejaksaan Agung RI dimana pinjaman tersebut diduga sebagai penyamaran suap dan gratifikasi. ris