JAKARTA – Belakangan ini banyak perusahaan rintisan atau startup di tanah air yang telah melakukan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) bagi karyawannya.
Setidaknya ada 6 startup yang melakukan PHK. PHK yang terjadi pada startup ini bukan hanya terjadi di Indonesia. Beberapa startup internasional juga melakukan PHK besar-besaran tahun ini seperti Netflix dan Robinhood.
“Fenomena yang dihadapi startup saat ini bukanlah semata permasalahan tidak adanya pendanaan,bahkan kondisi ekonomi masyarakat pun terbilang cukup baik dan kondisi pasar semakin pulih. Kendala justru terletak dari penggunaan dana operasional masing – masing startup,” kata CEO Grant Thornton Indonesia Johanna Gani, Selasa.
Sejumlah perusahaan teknologi rintisan (startup) Indonesia juga tengah menghadapi permasalahan yang dikenal sebagai fenomena bubble burst.
Mengutip laman Investopedia, fenomena ini merupakan kondisi bisnis yang cepat mengalami kenaikan namun cepat juga mengalami penurunan.
Adanya fenomena pecahnya gelembung tersebut dikarenakan saat ini perusahaan startup sulit untuk mendapatkan pendanaan serta tidak mempunyai aset.
Padahal, untuk meraih pengguna kebanyakan dari startup harus melakukan strategi bakar uang seperti promosi melalui televisi, baliho, digital, program cashback, hingga diskon besar – besaran.
Sementara itu, pakar hukum ketenagakerjaan Fakultas Hukum Universitas Airlangga (Unair) Hadi Subhan menanggapi pemutusan hubungan kerja (PHK) massal oleh beberapa startup di Indonesia dalam menghadapi fase bubble burst.
Bubble burst adalah fase pertumbuhan ekonomi yang ditandai dengan naiknya nilai pasar dengan cepat, namun diikuti dengan penurunan nilai yang cepat juga.
Hadi mengingatkan, Undang-Undang Cipta Kerja sudah mengatur hal-hal mengenai PHK oleh perusahaan terhadap pekerjanya. Oleh karena itu, kata dia, PHK yang dilakukan oleh perusahaan terhadap karyawannya tidak boleh dilakukan sewenang-wenang.
Hadi mengatakan, untuk menghindari PHK massal bagi perusahaan yang masih baru dan uji coba terhadap produknya, maka dapat menerapkan PKWT (Perjanjian Kerja Waktu Tertentu) atau yang biasa disebut dengan kerja kontrak. “Sehingga ketika produknya gagal, maka PKWT tersebut dapat berakhir,” kata Hadi, Selasa (21/6).
Hadi menerangkan, PHK memang dapat dilakukan perusahaan terhadap pekerjanya jika terjadi efisiensi karena merugi. Namun, kata dia, perusahaan wajib memberikan pesangon kepada pekerjanya yang terkena PHK sebesar 0,5 kali dari ketentuan.
“Pekerja yang terkena PHK harus mendapatkan pesangon atau kompensasi. Kalau itu pekerja tetap, maka wajib mendapat pesangon. Kalau itu pekerja kontrak, maka wajib mendapat kompensasi,” ujarnya.
Menurutnya, banyak faktor yang menyebabkan PHK massal dilakukan oleh perusahaan.lp6/mb06