JAKARTA – Pemerintah memutuskan untuk menaikkan tarif listrik mulai 1 Juli 2022. Penyesuaian tarif listrik dilakukan pada lima golongan pelanggan non subsidi.
Adapun pelanggan yang mengalami kenaikan tarif yakni golongan R2 (3.500-5.500 VA), R3 (6.600 VA ke atas), P1 (6.600VA sampai 200kVA), P2 (200 kVA ke atas), dan P3.
Pelaku usaha kecil dan menengah (UMKM) mengeluhkan kenaikan tarif listrik ini. Sekjen Asosiasi UMKM Indonesia Edy Misero menilai masih banyak pelaku UMKM yang menggunakan listrik golongan rumah tangga. Maka dari itu, bila tarif listrik naik maka pengusaha kecil dan menengah akan terdampak juga.
“Memang masih banyak. Dari 100% pelaku UMKM, yang middle to low dan gunakan 3.500 itu juga banyak banget. Ini akan berdampak ke kenaikan hasil produksi,” ungkap Edy Senin.
Edy menjelaskan listrik adalah salah satu komponen biaya yang mempengaruhi hasil akhir produksi. Baik itu jasa ataukah produk. “Otomatis kalau bahan baku kita sebut saja itu naik, maka otomatis ganggu biaya kita,” katanya.
Ujungnya, kalau biaya produksi meningkat harga barang juga akan meningkat. Yang jadi masalah adalah bila harga barang meningkat pelaku UMKM berpotensi kehilangan pelanggan.
“Permasalahan inti adalah kalau kita sesuaikan harga, pasar mau terima nggak? Kalau saya naikkan harga itu produk saya masih terserap pasar nggak? Pasar mau ambil nggak, kalau pasar jadi berkurang itu yang jadi masalah,” kata Edy.
Di tengah kondisi ekonomi seperti ini, Edy menyatakpelaku UMKM meminta kenaikan tarif listrik ditinjau kembali. Menurutnya, lonkakan-lonjakan harga akan sangat sensitif mempengaruhi pelaku usaha kecil dan menengah. “Kalau dimungkinkan nggak berubah ya nggak berubah dulu deh. Bahan baku yang kami pakai jangan dinaikin dulu,” kata Edy.
Direktur Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira menyatakan dampak inflasi pada kebijakan kenaikan listrik kali ini dinilai akan sangat kecil. Pasalnya target kenaikan tarif listrik menyasar golongan mampu.
Hanya saja, menurutnya penyesuaian tarif harus dilakukan perlahan-lahan. Dia khawatir penyesuaian tarif yang terlalu tinggi bisa mempengaruhi percanaan pelaku usaha. “Tapi tarif adjustment untuk golongan 3.500 VA, 6.600 VA idealnya bertahap. Jangan langsung naik terlalu tinggi karena dapat mempengaruhi perencanaan pelaku usaha yang terkait,” ungkap Bhima.
Seperti Edy, Bhima membenarkan bila masih banyak pelaku usaha yang menggunakan listrik golongan rumah tangga. Dia mencontohkan usaha kontrakan atau kos-kosan.
Bila ada kenaikan harga listrik maka harga hunian bisa terkerek naik. Padahal, pengguna kontrakan juga banyak dari kalangan pekerja, bahkan yang gajinya di sekitar level upah minimum daerah.
“Memang banyak pelaku usaha juga, jadi tidak semua untuk rumah tinggal. Kalau pun rumah tinggal kadang dijadikan kosan atau kontrakan yang disewakan kepada pekerja. Jadi harus hati-hati dan bersiap menerima aduan, karena pekerja yang upahnya hanya UMP ikut menanggung beban listrik apabila rumah kontrakan sementara naik tarif listriknya,” papar Bhima. dtc/mb06