Oleh : Nor Faizah Rahmi, S.Pd.I (Praktisi Pendidikan & Pemerhati Remaja)
Ketua Komisi IV DPRD Provinsi Kalimantan Selatan H. M. Lutfi Saifudiin, S.Sos saat Sosialisasi Peraturan Daerah ( PERDA ) Nomor 11 tahun 2018 tentang Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak mengungkapkan terkhusus angka pernikahan dini masih tinggi. “Saya merasa bahwa upaya kita dalam melaksanakan perlindungan terhadap anak saat ini sangatlah kurang. Salah satunya perlindungan terkait dengan tingginya kasus pernikahan dini,” ungkapnya.
Dirinya menjelaskan bahwa bahaya pernikahan dini, bukan hanya membahayakan bagi ibunya tapi juga anak (bayi) yang belum saatnya mereka melahirkan. Puluhan peserta yang kebanyakan para pemuda dan pemudi ini terlihat sangat antusias dalam menyimak sosialisasi yang dilakukan oleh Politisi Partai Gerindra ini, “Harapan saya semoga upaya kita dalam melakukan sosialisasi perda perlindungan anak ini, bisa menurunkan angka pernikahan dini di Barito Kuala khususnya dan di Kalimantan Selatan pada umumnya,” imbuhnya.
Dijelaskannya, berdasarkan hasil survei Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2021 kesetaraan gender di kabupaten Barito Kuala (Batola) menempati nomor urut satu di provinsi Kalimantan Selatan. Bupati Barito Kuala, HJ. Noormiliyani, S.H. menuturkan, karena kita menurut survei tahun 2021 kita terbaik nomor satu, jadi tahun 2022 ini saya juga berharap kembali menjadi nomor satu di Kalsel. “Kita akan meminimalisir hal – hal yang terkait dengan kesenjangan perempuan baik itu yang berkiprah di dunia politik, budaya dan pemerintahan, hal itu agar bisa memotivasi dirinya dan orang lain agar bisa dikenal masyarakat secara luas,” pungkasnya.
“Hal tersebut agar bisa memotivasi diri sendiri dan bisa membuat dirinya dikenal orang secara luas,” lanjutnya. Sebelumnya kepada Antara Kalsel, Ibu Yayan yang juga “Srikandi” Partai Golkar asal Alai, Kabupaten Hulu Sungai Tengah (HST), Kalsel itu menyebutkan, dari 195 desa se-Batola, 12 di antaranya kepala desa (Kades) perempuan dan juga seorang Lurah. “Perempuan yang menjadi Kades dan Lurah relatif masih muda. Untuk Kades rata-rata meraih suara signifikan pada pemilihan kepala desa (Pilkades),” ungkapnya.
“Bahkan beberapa orang mengalahkan petahana yang laki-laki,” ujar alumnus Fakultas Hukum Universitas Lambung Mangkurat Banjarmasin itu. Begitu juga anggota Badan Permusyawatan Desa (BPD) hampir 40 persen perempuan yang pemilihannya juga secara langsung sebagaimana Pilkades, lanjutnya. Ia menambahkan, dari 35 keanggotaan DPRD Batola periode 2019 – 2024, ada delapan orang di antaranya perempuan
“Hal lain ada lima orang pimpinan Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) jajaran Pemkab Batola dari pemerintah dan ditambah seorang pelaksana tugas (Plt). Kesemua itu unggulan kabupaten setempat,” tegasnya. Putri almarhum Kolonel Inf. H Aberani Sulaiman/mantan Gubernur Kalsel itu, baik secara langsung maupun tidak langsung mengapresiasi Biro Antara provinsi setempat mengadakan podcast/bapanderan santai dengan menampilkan perempuan-perempuan unggulan.
“Biar penampilan perempuan-perempuan unggulan bicara kepada publik untuk bisa memotivasi perempuan kabupaten/kota lainnya,” demikian Noomiliyani. Noomiliyani sendiri lahir 21 April 1959 atau bertepatan tanggal kelahiran tokoh pejuang emansipasi perempuan RA Kartini yang lahir 143 tahun lalu, hingga saat ini baru satu-satunya perempuan Kalsel jadi Bupati dan pernah Ketua DPRD provinsi setempat.
Kemiskinan yang dialami kaum perempuan bukanlah kemiskinan yang berdiri sendiri. Faktor yang paling memengaruhi adalah kemiskinan struktural sebagai akibat penerapan sistem yang diterapkan. Jika kesejahteraan perempuan tak terurus itu bukan karena faktor ketidakadilan gender dan ketimpangan gender. Hal ini hanyalah mantra dan akal-akalan kaum gender untuk membuat para perempuan ikut berpartisipasi dalam ranah publik. Menganaktirikan peran domestiknya demi meningkatkan ekonomi negara.
Hasilnya, para perempuan terlena dan melupakan jati diri mereka sebagai ibu dan pengurus rumah tangga. Semua ini berawal dari sebuah paradigma. Paradigma kebebasan dan hak menuntut kesetaraan. Adanya ketimpangan sosial yang berimbas pada perempuan tidak lepas dari sistem ekonomi kapitalis yang tengah diterapkan dunia. Penjajahan suatu negeri atas nama kebebasan kepemilikan sumber daya alam adalah salah satu sebab kemiskinan. Penduduk asli tetap tidak sejahtera, sementara kaum kapitalislah yang paling banyak meraup untungnya.
Tampak jelas bahwa program pemulihan ekonomi ini menyandarkan pada program pemberdayaan ekonomi perempuan. Tampak jelas pula isu gender dan perlindungan terhadap perempuan terus digaungkan untuk mendukung program ini. Sepintas, program ini terlihat sangat bagus dan peduli, serta membela nasib perempuan. Akan tetapi, jika kita perhatikan dengan saksama, di balik program pemberdayaan perempuan disadari atau tidak kental dengan upaya mengalihkan perempuan dari tugas utamanya sebagai ummu wa rabbatul bayt (ibu dan pengelola rumah suaminya).
Tidak hanya itu, program ini terlihat memberi peluang pengalihan tugas utama negara (dalam menjamin kesejahteraan seluruh rakyat) kepada rakyatnya. Sebab, seharusnya negaralah yang bertanggung jawab memulihkan ekonomi dan menjamin kesejahteraan rakyat, bukan malah membebankan hal tersebut di pundak rakyat, terlebih kaum perempuan.
Sesungguhnya, program pemberdayaan ekonomi perempuan merupakan perpanjangan tangan dari sistem sekuler kapitalisme. Sistem ini mengukur produktivitas seseorang berdasarkan materi, termasuk kaum perempuan. Perempuan produktif dihargai atau dihormati dengan sejumlah nominal. Makin produktif, makin tinggi insentifnya. Makin besar penghasilannya, perempuan dianggap lebih mulia, lebih tinggi derajatnya. Sedangkan seorang ibu rumah tangga biasa jelas dipandang tidak produktif oleh program ini.
Tidak heran bila kemudian marak kekerasan dalam rumah tangga. Perceraian, terutama kasus cerai gugat, terus meningkat dan kerusakan generasi makin masif. Tawuran, narkoba, kejahatan anak, kecanduan games online, seks bebas, dan sebagainya. Lebih jauh lagi, telah sangat nyata bahwa sistem sekuler kapitalisme tidak mampu menyelesaikan permasalahan kemiskinan. Sebaliknya, justru makin memperlebar jurang pemisah antara yang kaya dan miskin, serta memunculkan berbagai permasalahan baru.
Jadi, tak ada korelasi antara kemiskinan dengan pemberdayaan perempuan. Justru derasnya arus pemberdayaan perempuan menimbulkan masalah baru. Angka gugat cerai meningkat. Ketahanan keluarga rapuh. Anak-anak kurang mendapat perhatian dan kasih sayang. Semua itu terjadi akibat kaum ibu yang keluar bekerja. Memang benar, berdaya bagi perekonomian, namun tak berdaya menghadapi konflik keluarga yang juga berimbas pada kualitas generasi.
Program pemberdayaan perempuan ala kapitalisme ini nyata-nyata berpeluang besar menggiring perempuan menjadi pemutar roda industri kapitalisme, sekaligus target pasar dengan dalih mengentaskan kemiskinan atau pemulihan ekonomi pascapandemi. Padahal, hakikatnya, program ini adalah alat melanggengkan hegemoni kapitalisme dunia, serta menjauhkan umat Islam dari pemahaman dan aturan-aturan Islam. Tentu saja hal ini tidak boleh dibiarkan, harus kita bendung agar tidak terjadi kerusakan yang lebih besar.
Sudah waktunya kita meninggalkan konsep pemberdayaan perempuan ala kapitalisme dan kembali pada Islam. Islam tegak di atas keyakinan bahwa Allah Swt. adalah Pencipta sekaligus Pengatur kehidupan. Oleh karenanya, dari aspek syariat bagi pengaturan kehidupan, termasuk relasi perempuan dan laki-laki, serta pembagian peran dan fungsi keduanya, Islam memiliki konsep ideal, lurus, dan komprehensif karena berasal dari Zat Yang Maha Pencipta, Mahasempurna, dan Mahaadil.
Ini terbukti dari keberadaan masyarakat Islam yang senantiasa muncul sebagai masyarakat ideal dan gemilang, salah satunya adalah kaum perempuan mendapat tempat sempurna dan selayaknya. Dalam perspektif Islam, pemberdayaan perempuan adalah upaya pencerdasan muslimah hingga mampu berperan menyempurnakan seluruh perintah Allah Swt., baik sebagai ummun wa rabbatul bayt maupun bagian dari masyarakat. Ke sanalah aktivitas pemberdayaan perempuan mengarah.
Dengan demikian, Islam tidak hanya mengatur peran perempuan, melainkan juga menjamin peran tersebut dapat terealisasi sempurna melalui serangkaian hukum praktis. Kelebihan semacam ini tidak mungkin ada kecuali pada ad-diin yang bersumber dari Sang Pencipta manusia, sebaik-baik Sang Pembuat Hukum. Lebih dari itu, Khalifah sebagai raa’in akan menjalankan tanggung jawabnya dan menjamin hak-hak dan kesejahteraan rakyat sesuai tuntunan syariat. Kewajiban ini tidak akan terbebankan pada rakyat, terlebih pada perempuan.
Negara akan mengentaskan kemiskinan sehingga lahir kesejahteraan bagi rakyat. Ini karena kesejahteraan merupakan konsekuensi logis dari keadilan ekonomi Islam yang dijalankan oleh Khilafah, yaitu ketika terpenuhinya semua kebutuhan pokok (primer) setiap individu masyarakat, disertai jaminan yang memungkinkan setiap individu memenuhi kebutuhan pelengkap (sekunder dan tersier) sesuai kemampuan mereka.
Sangat jelas, kaum muslim akan mulia hanya dengan penerapan syariat Islam. Oleh sebab itu, harus ada upaya mengembalikan kaum muslim pada tegaknya aturan-aturan Islam secara keseluruhan dalam kancah kehidupan. Kebangkitan dan kemajuan masyarakat tidak akan terwujud kecuali dengan hadirnya satu sistem aturan berdasarkan akidah Islam agar terwujud masyarakat yang damai, tenteram, dan sejahtera. Upaya ini akan dapat terlaksana melalui pemberdayaan atau pencerdasan umat dengan tsaqafah Islam.
Ketika membahas pemberdayaan perempuan, kita tidak boleh memandang perempuan sebagai masyarakat yang terpisah dari laki-laki. Keduanya merupakan bagian dari masyarakat yang hidup berdampingan, dalam keluarga maupun masyarakat. Oleh karenanya, upaya pemberdayaan keduanya tidak boleh lepas dari upaya pemberdayaan masyarakat secara keseluruhan sesuai sudut pandang Islam. Langkah yang harus dilakukan keduanya tidaklah berbeda.
Langkah awal adalah mengubah pola pikir umat dengan tsaqafah Islam sehingga umat akan berpikir dan berbuat dengan cara dan landasan yang benar, yaitu akidah Islam. Caranya adalah membina umat dengan Islam. Pemikiran dan hukum-hukum Islam ini tidak boleh dipandang sebagai sekadar informasi, tetapi harus sebagai pijakan menyikapi fakta dengan tepat dan benar sesuai perspektif Islam.
Pembinaan ini kemudian membentuk pemahaman Islam di tengah umat. Selanjutnya, akan berpengaruh pada tingkah laku, mendorong umat untuk siap bergerak menyampaikan dakwah Islam, rida diatur hukum Islam, dan senantiasa mengupayakan agar aturan Allah dan Rasul-Nya tegak secara kafah. Sebab, dengan sistem Islamlah umat akan mampu meraih kemajuan, yaitu sebagai khairu ummah, umat terbaik di muka bumi.
Telah sangat jelas ke arah mana seharusnya pemberdayaan perempuan menuju, yaitu pada pemberdayaan seluruh masyarakat dengan pembinaan tsaqafah Islam. Dari pembinaan ini terwujud kepribadian Islam di tengah umat sehingga seluruh elemen masyarakat akan menjalankan perannya sesuai tuntunan hukum syarak. Dengan demikian, pemberdayaan perempuan harus mengarah pada upaya kaum perempuan mengoptimalkan seluruh peran sesuai Islam dan demi kepentingan perjuangan menegakkan Islam.