BANJARMASIN – Majelis hakim yang dipimpin Yusriansyah yang menyidangkan sidang kasus OTT KPK dengan terdakwa Abdul Wahid, mengatakan semua pemenang tender tidak sesuai.
Hal tersebut dikatakannya ketika empat orang saksi yang merupakan pekerja atau yang mengerjakan proyek hingga memberikan fee, hadir dan memberikan keterangan pada sidang lanjutan yang digelar Senin (23/5).
Adapun keempat saksi tersebut, dua merupakan ASN di lingkungan Pemkab HSU yakni Dedi Buhari dan Taufik, dan dua lagi dari pihak swasta, Akhmad Syarif dan Mujib.
Keterangan keempat saksi ini sama seperti pada sidang-sidang sebelumnya, yang menyatakan kalau mereka pernah memberikan komitmen fee proyek dari 8 hingga 15 persen.
Saksi Dedi Buhari mengatakan, ada menyerahkan uang komitmen fee proyek sebesar Rp 210 juta, saksi Taufik ada menyerahkan uang fee proyek mulai Rp 450 juta, saksi Akhmad Syarif menyerahkan uang Rp 1,7 miliar, dan saksi Mujib mengaku menyerahkan uang Rp 2 miliar.
Ketika ditanya majelis hakim tujuan menyerahkan sejumlah uang, saksi mengatakan, kalau tidak memberikan fee proyek, maka tidak akan mendapatkan pekerjaan lagi.
Mendengar pernyataan para saksi ini, majelis hakim mengatakan, apa yang dilakukan para saksi untuk mendapatkan pekerjaan tidak sesuai.
“Kalian tahu tidak, bahwa semua ini sudah salah, apalagi ada yang meminta pekerjaan dan yang mengerjakan juga ASN. Itu tidak benar dan menyalahi apa pun alasannya,” tandasnya.
Menurutnya, karena cara mendapatkan pekerjaannya saja sudah salah, maka semuanya salah.
Menanggapi pernyataan majelis hakim, Jaksa Penuntut Umum (JPU) Roni Yusuf mengatakan, tidak menutup kemungkinan kasusnya akan dikembangkan lagi.
“Kasus ini tidak menutup kemungkinan dilakukan pengembangan. Namun kami JPU lebih fokus dulu pada persidangan, nanti dilihat bagaimana hasilnha,” jelasnya.
Diberitakan sebelumnya, mantan Bupati HSU Abdul Wahid diseret ke persidangan Pengadilan Tipikor karena diduga menerima uang fee proyek. JPU KPK Fahmi SH MH, mendakwa Abdul Wahid dengan sejumlah dakwaan alternatif.
Alternatif pertama, yakni Pasal 12 huruf a Undang Undang (UU) Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP jo Pasal 64 ayat (1) KUHP, dan Pasal 11 UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP jo Pasal 64 ayat (1) KUHP.
Alternatif kedua, yaitu Pasal 12B UU RI Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan UU RI Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 65 ayat (1) KUHP.
Kemudian dakwaan alternatif ketiga, yakni Pasal 3 Undang-Undang RI Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang jo Pasal 65 ayat (1) KUHP, dan Pasal 4 Undang Undang RI Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang jo Pasal 65 ayat (1) KUHP. Ris