BANJARMASIN – Orang tua dulu pasti masih ingat yang namanya “gabang” (bahasa Banjar) yakni selimut tebal untuk tidur malam, karena era tahun 70-an hingga 80-an, cuaca masih dingin. Jika tak pakai selimut gabang pasti akan kedinginan dan sulit tidur.
Bahkan di beberapa kampung kawasan pedalaman Kalimantan Selatan, semisalnya Kampung Inan, Kecamatan Paringin Selatan, Kabupaten Balangan, dulu minyak goreng yang terbuat dari minyak kelapa itu mulai membeku saat tengah malam hingga pagi bahkan mendekati siang, karena cuaca sangat dingin, sulit digunakan untuk menggoreng.
Begitu juga jika bernapas, terlihat uap di mulut warga kawasan tersebut saat itu lantaran cuaca dingin. Bahkan, untuk menghangatkan badan saat pagi hari banyak warga yang membuat “parapin” (tempat pengapian, kayu kayu yang dibakar) kemudian “badadang” (mendekatkan badan ke tumpukan api).
Cerita tersebut hanya tinggal kenangan, karena perubahan cuaca di bumi begitu drastis dari yang dulu dingin menjadi begitu panas.
Anak muda sekarang nyaris tak mengenal lagi yang namanya selimut gabang, karena mereka sudah terbiasa menggunakan kipas angin, bahkan menggunakan mesin pendingin rumah seperti AC.
Masalahnya sekarang kalau tidak pakai kipas angin atau AC sudah pasti juga sulit tidur lantaran kepanasan, cuaca sangat gerah.
Nah, begitulah perubahan alam yang dirasakan antara tahun 70-an hingga era tahun 2000-an ini, terjadi perubahan alam yang sangat luar biasa, dari yang dulu dingin menjadi panas.
Pelaksana tugas Kepala Badan Lingkungan Hidup Daerah (BLHD) Wahyu Yons saat acara peringatan Hari Bumi 2022 tingkat Kota Banjarmasin tidak membantah terjadi perubahan iklim yang sangat signifikan tersebut.
Menurut Wahyu Yons pada acara yang dihadiri sebagian besar para penggiat lingkungan dari Forum Komunitas Hijau (FKH), Perkumpulan Hijau Daun (PHD), Masyarakat Peduli Sungai (Melingai) dan Komunitas Teratai tersebut, perubahan iklim tersebut dampak dari perubahan secara global.
Perubahan secara global disebutkan sebagai efek rumah kaca, sehingga begitu banyak karbon yang dihasilkan ke udara. Akibatnya, lapisan ozon menipis dan sinar matahari begitu mudah menghantam bumi.
Belum lagi menjamur kawasan industri, khususnya di negara negara maju, yang melahirkan banyak moncong cerobong asap pabrik yang juga melahirkan sekian banyak karbon ke udara.
Ditambah terjadinya kerusakan alam yang luar biasa, hutan-hutan digunduli akibat penebangan kayu, pertambangan, dan kegiatan lainnya yang semuanya menimbulkan persoalan alam yang menyebabkan bumi yang satu-satunya bagi tempat tinggal manusia tersebut rusak.
Oleh karena itu, tidak ada pilihan lain untuk mengimbangi panas bumi tersebut tentu harus dilakukan penanaman pohon secara besar besaran bukan saja di Indonesia tetapi seharusnya di seluruh negara di dunia, katanya.
Senada dengan hal tersebut, ketua FKH Banjarmasin Mohammad Ary mengakui sudah mencermati perubahan alam tersebut, makanya ia bersama kawan-kawan mencoba membangun berbagai organisasi yang berorientasi penyelamatan lingkungan, seperti Forum Komunitas Hijau (FKH), Perkumpulan Hijau Daun (PHD), dan Malingai (Masyarakat Peduli Sungai).
Pendirian oragnisasi tersebut memang terkesan kecil atau seakan tak punya arti melawan lajunya kerusakan alam sekarang. Tetapi setidaknya organisasi yang menghimpun para penggiat lingkungan ini mencoba mengajak atau memberikan edukasi tentang penyelamatan hutan lalu menanam pohon sebanyak-banyaknya untuk kembali melakukan penghijauan. Ant