Oleh : Zayanti Mandasari, Asisten Pemeriksaan Laporan Ombudsman RI Prov. Kalsel
Gembar-gembor agenda reformasi birokrasi mengharuskan seluruh instansi pemerintah melakukan berbagai transformasi layanan, di instansinya masing-masing. Terlebih lagi salah satu agenda reformasi birokrasi adalah melakukan transformasi layanan menjadi berbasis digital, dengan tujuan memudahkan proses layanan, mewujudkan transparansi, dan efisiensi dalam layanan pemerintahan. Proses transformasi layanan bukan hanya masuk dalam agenda reformasi birokrasi hingga tahun 2025 mendatang, namun menjadi amanah Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 Tentang Keterbukaan Informasi Publik, yang telah disahkan sejak April 2008 silam.
Salah satu mandat dari UU No.14 Tahun 2008 tersebut adalah mewajibkan badan publik/pemerintah untuk menyediakan informasi publik yang dikelolanya kepada masyarakat, secara transparan. UU tersebut juga menjamin bahwa informasi publik yang dikelola oleh pemerintah, harus dapat diperoleh setiap pemohon informasi dengan cepat dan tepat waktu, biaya ringan, dan cara sederhana, karena pada prinsipnya setiap orang berhak untuk memperoleh (mengetahui dan melihat) informasi publik.Tentunya informasi yang disediakan adalah informasi yang akurat, benar, dan tidak menyesatkan, sebagaimana Pasal 7 ayat (2). Tujuannya adalah untuk mewujudkan penyelenggaraan negara yang baik, yaitu yang transparan, efektif dan efisien, akuntabel serta dapat dipertanggungjawabkan. Serta meningkatkan pengelolaan dan pelayanan informasi di lingkungan Badan Publik untuk menghasilkan layanan informasi yang berkualitas.
Setiap perubahan, memang membutuhkan waktu yang tak sedikit, karena akan berbenturan dengan banyak hal yang sudah mendarah daging di birokrasi, seperti mind set, culture (birokrasi), atau hal-hal lain yang sering kali menjadi faktor penghambat suksesnya reformasi birokrasi dalam pemerintahnya. Salah satunya adalah sulitnya mewujudkan transformasi digital dalam rangka penyediaan informasi pada layanan publik. Hal ini seringkali terjadi. Misalnya tentang informasi layanan kamar di rumah sakit, khususnya bagi pasien yang menggunakan BPJS Kesehatan.
Dalam aplikasinya, tak jarang ditemukan informasi yang tak valid tentang ketersediaan akamr rawat inap di beberapa rumah sakit yang menjadi rujukan BPJS Kesehatan. Seperti, tidak ditemukan data ketersediaan kamar, dikarenakan pihak rumah sakit belum meupdate jumlah kamar yang tersedia, sehingga masyarakat yang hendak meangakses layanan/rujukan, harus datang langsung ke rumah sakit yang dituju untuk menanyakan ketersediaan kamar. Pernah juga terjadi ketidaksinkronan data antara aplikasi mobile JKN dengan data rumah sakit, terkait ketersediaan kamar rawat inap.
Pada data mobile JKN dituliskan masih tersedia sekitar beberapa kamar Kelas 1, namun saat keluarga pasien menanyakan ke bagian administrasi rumah sakit, disampikan bahwa kamar kelas 1 penuh, sehingga pasien diarahkan untuk masuk ke kelas 2, atau jika hendak naik kelas ke kamar VIP, maka dengan konsekuensi membayar biaya pelayanan selama dirawat sebesar 75% dari total biaya perawatan. Padahal setiap bulannya masyarakat (dengan kelas 1 misalnya) membayar iuan BPJS sesuai jumlah iuran kelas 1, namun ketika hendak dipakai, ‘dipaksa’ untuk turun kelas, dengan alasan tidak tersedia ruang kamar inap kelas yang ditujunya. Ketidakjelasan informasi publik tersebut menyebabkan tidak ada jaminan kepastian informasi dalam layanan publik, padahal sudah semestinya penyelenggara menyediakan informasi dimaksud, sebagaimana Pasal 7 UU No.14 Tahun 2008, bahkan penyelenggara telah mengingkari amanah undang-undang tersebut, dengan memberikan informasi yang tidak akurat dan tidak benar, sehingga berpotensi terjadi kesalahpahaman bahkan konflik pada layanan tersebut.
Tak hanya pada layanan kesehatan, keterbukaan informasi masih setengah hati, juga terjadi pada layanan penentuan zona nilai tanah yang sempat di tampilkan secara terbuka di website kementerian agraria, namun sekarang tak lagi tersedia, sehingga masyarakat agak kesulitan untuk menaksir nilai tanah. Bahkan dalam aplikasi yang dapat diakses oleh pemohon pengajuan penerbitan SHM yang dimiliki oleh kantor pertanahan, jejak rekam keterangan setiap prosesnya tidak berjalan sesuai dengan ketentuan/SOP yang telah ditetapkan, bahkan tidak ada update informasi (melalui aplikasi) kepada pemohon telah sampai mana proses permohonan yang diajukannya, misalnya untuk penerbitan SHM yang dialami oleh salah satu Pelapor di Ombudsman Kalsel, yang memakan waktu 1 tahun lebih, padahal dalam ketentuan jangka waktu penyelesaian sebagaimana SOP kantor pertanahan, tidak lebih dari 38 hari.
Dalam layanan distribusi air juga kerap terjadi ketidakterbukaan informasi, bahwa tidak ada informasi baik mengenai lokasi/titik perbaikan pipa, pengumuman terhentinya distribusi air, hingga tak ada kepastian terhadap penanganan pengaduan yang disampaikan konsumennya, sehingga konsumen yang menyampaikan pengaduan tidak dapat ‘menagih’ kapan akan menadpat informasi tindak lanjut atas pengaduannya. Padahal sebagaimana UU No. 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik, penyelenggara layanan wajib memberitahukan jangka waktu layanan sehingga terwujud kepastian layanan bagi masyarakat. Ketidakterbukaan jangka waktu proses layanan ini menjadi ruang tumbuh suburnya pungutan liar, jika seseorang ingin prosesnya cepat, maka memberikan biaya lebih kepada oknum pelasksana layanan. Bahkan membuka ruang untuk pelaksana menjadi aktif menawarkan ‘jasa’ layanan cepat dan berbiaya, yang seharusnya gratis.
Pada dasarnya, memang tak semua informasi publik boleh diketahui oleh masyarakat, dalam UU No.14 Tahun 2008, dijabarkan informasi yang bersifat rahasia meliputi, informasi yang dapat menghambat proses penyelidikan dan penyidikan suatu tindak pidana; mengungkapkan identitas informan, pelapor, saksi, dan/atau korban yang mengetahui adanya tindak pidana; mengungkapkan data intelijen kriminal dan rencana-rencana yang berhubungan dengan pencegahan dan penanganan segala bentuk kejahatan transnasional; membahayakan keselamatan dan kehidupan penegak hukum dan/atau keluarganya; dan/atau membahayakan keamanan peralatan, sarana, dan/atau prasarana penegak hukum, tidak dapat dibuka untuk umum atau disebut dengan informasi publik yang dikecualikan. Dengan kata lain, informasi-informasi umum seperti yang dijabarkan diatas, harusnya bukan menjadi barang sulit didapatkan oleh masyarakat pengguna layanan.
Fenomena di atas, menunjukkan terjadinya ‘macet’ transformasi keterbukaan informasi dalam tubuh penyelenggara layanan publik tentu membuat proses reformasi birokrasi menjadi birokrasi berkelas dunia, menjadi semakin sulit. Tak hanya itu, macetnya transformasi keterbukaan informasi tersebut juga menunjukkan tingkat keseriusan pemerintah dalam menerapkan zona integritas, wilayah bebas korupsi (WBK) dan wilayah birokrasi bersih dan melayani (WBBM), yang dapat dikatakan masih terbilang rendah. Terlebih lagi jika yang gagal mentransformasikan keterbukaan informasi adalah instansi pemerintah yang telah meraih predikat WBK dan/atau WBBM, tentunya hal ini tak sejalan dengan salah satu acuan penilaian terhadap predikat tersebut, yakni kualitas pelayanan publik dan penerapan sistem pemerintah berbasis elektronik.
Sehingga tak salah jika muncul pemikiran, bagaimana bisa instansi tersebut meraih predikat WBK dan/atau WBBM, jika pada tataran informasi dasar pelayanan publiknya saja masih semi tertutup, bahkan tertutup sama sekali. Oleh karena itu, perlu komitmen bersama untuk mewujudkan transformasi keterbukaan informasi secara masih, dan sungguh-sungguh di setiap lapisan instansi penyelenggaraan pelayanan publik, agar tak menjadi bahan gembar-gembor transformasi pada instansi level atas saja, dan level pemerintahan/penyelenggara terendah luput dari implementasi transformasi keterbukaan informasi tersebut.