Oleh: Nur Atika Rizki, M.Pd (Praktisi pendidikan)
Islamofobia bisa menjangkiti siapa saja, tak terkecuali di kalangan intelektual. Seperti tulisan yang dibuat oleh seorang professor, rektor salah satu perguruan tinggi di Indonesia beberapa hari lalu yang dinilai oleh netizen rasis karena memuat unsur SARA. Ia menyinggung perihal kalimat yang kerap digunakan dalam ajaran Islam dan pakaian Muslimah.
Menurutnya mahasiswa yang cerdas dinilai dari keunggulan dalam prestasi akademik. Tidak bicara soal langit atau kehidupan sesudah mati. Pilihan kata-katanya juga jauh dari kata-kata langit: inshaallah, barakallah, syiar, qadarullah, dsb. Mahasiswi yang ia wawancarai, tidak satu pun menutup kepala ala manusia gurun. Otaknya benar-benar openmind. Mereka mencari Tuhan ke negara-negara maju seperti Korea, Eropa Barat dan US, bukan ke negara yang orang-orangnya pandai bercerita karya teknologi. (Republika.co.id, 4 Mei 2022).
Sontak saja tulisannya ini menjadi sorotan dan kritikan. Founder of Drone Emprit and Media Kernels Indonesia, Ismail Fahmi menilai tulisan tersebut bisa masuk kategori rasis dan xenophobic (Fajar.co.id, 1 Mei 2022). Kemendikbudristek akan mengevaluasi dan memberhentikan tugas professor tersebut sebagai reviewer Dikti/LPDP yang tidak bisa menjaga kode etik dan pakta integritas (Republika.co.id, 4 Mei 2022).
Menganggap para intelektual jauh lebih hebat dan tidak memerlukan agama menandakan bahwa mereka menjadi angkuh. Para pemikir itu merasa hebat dengan sekolah di kampus negara AS, Eropa Barat atau Korea, yang memiliki teknologi mutakhir. Kesombongan ini sebenarnya adalah sifat manusia. Mereka menganggap prestasi akademik di atas segalanya. Tanpa perlu berpikir dari mana manusia berasal, mau ke mana, dan untuk apa. Rasulullah SAW. Bersabda:
“Sombong adalah menolak kebenaran dan meremehkan manusia.” (HR Muslim).
Bahkan, Allah SWT juga memperingatkan manusia agar tidak berlaku sombong dalam firmanNya: “Dan janganlah engkau berjalan di bumi dengan berlagak sombong, karena sesungguhnya engkau tidak akan dapat menembus bumi, dan engkau tidak akan dapat menyamai setinggi gunung-gunung.” (TQS Al-Isra: 37).
Tingkah laku maupun ucapan manusia sangat dipengaruhi oleh pemikirannya sesuai dengan pemahamannya. Ketika seseorang menganggap bahwa urusan kehidupan dunia ini harus dipisahkan dari agama, maka orang tersebut memiliki pemahaman sekuler. Paham sekularisme mengajarkan manusia untuk percaya dan yakin akan kemampuannya tanpa menyandarkannya kepada Tuhan. Mereka merasa bisa hidup nyaman dengan mengatur kehidupannya sendiri tanpa campur tangan agama. Enggan membicarakan tentang sebelum dan sesudah kehidupan.
Melihat latar pendidikan guru besar tersebut yang merupakan tamatan universitas di Amerika Serikat (AS), memperlihatkan bahwa cara pandangnya mengikuti pola pendidikan sistem kapitalis. Di mana AS dikenal sebagai negara pengusung kapitalisme dunia. Negara ini berhasil mengekspor sekularisme ke seluruh pelosok bumi, termasuk Indonesia. AS dengan paham sekuler juga berusaha menularkan virus Islamofobia terhadap non muslim maupun kalangan muslim. Akhirnya sekulerisme telah merusak mentalitas kaum intelektual bahkan yang sudah memiliki gelar akademis yang tinggi. Sehingga tidak dapat lagi mengontrol etis tidaknya kata dan kalimat yang ditulisnya.
Pandangan yang nyeleneh tersebut merupakan akibat dari diterapkannya kebebasan berpendapat ‘ala demokrasi. Mengagungkan kebebasan yang membolehkan seseorang menyampaikan sesuatu selama tidak ada pihak yang merasa dirugikan maka sah-sah saja. Menurut pandangan manusia sendiri tanpa memperhatikan rambu-rambu, apalagi standar boleh atau tidak menurut agama.
Padahal Islam dengan aturannya yang sempurna berhasil melahirkan intelektual berkualitas. Selama 13 abad Islam berhasil memimpin dunia. Dalam kurun waktu itu, Bukan hanya jago dalam masalah ilmu pengetahuan dan teknologi, tetapi juga jago dalam ilmu agama.
Contohnya Al Farabi, seorang cendikiawan ahli filsafat. Selain itu, ilmuwan ini juga menguasai berbagai cabang ilmu, diantaranya logika, fisika, ilmu alam, kedokteran, kimia, ilmu perkotaan, ilmu lingkungan, fikih, ilmu militer, sampai musik. Selain al Farabi, masih banyak ilmuwan lain seperti Jabir Ibn Hayyan, Avicena, Al Khawarizmi, dan lain-lain. Ilmu mereka masih digunakan dalam mengembangkan teknologi modern saat ini
Mereka semua lahir dari sistem Islam, yang memiliki aturan sempurna, yang menyandarkan akidahnya pada Islam, bukan yang lain. Sistem pendidikan Islam memiliki tujuan membentuk pribadi yang ber-syakhsiyah Islam. Mereka memiliki pola pikir Islam dan pola sikap Islam. Semua pemikiran dan aktivitasnya mengikuti cara pandang Islam. Senantiasa merasa lemah tanpa bantuan Allah SWT.
Sistem pendidikan Islam ini hanya akan berjalan dengan bantuan sistem lainnya. Seperti sistem pemerintahan Islam, ekonomi Islam, pergaulan hingga sistem sanksi. Semuanya itu diterapkan dalam satu naungan, yaitu negara Islam, yang menerapkan Islam kaffah. Jadi, kalau ingin memiliki intelektual yang tangguh, cerdas, tangkas, taat, dan cinta Islam hanya sistem Islam solusinya. Wallahu’alam.